Doa Sebelum Terlupa
Oleh: Dyah Diputri
Kesih menambahkan kayu tebu kering di antara dua kayu bakar agar nyala api di tungku cepat membesar. Musim paceklik begini ia harus menghemat kayu karena sama sekali tak ada pemasukan keuangan. Tak jarang ia manfaatkan pula bonggol jagung atau serbuk grajen pemberian tetangganya sebagai tambahan bahan bakar.
Lepas nyala api membesar, ia jerang empat gayung air—cukup untuk diminum sampai esok hari untuknya dan sang suami—di panci besar berpantat hitam. Lantas, ia berjalan meninggalkan pawon berdinding bambu, menuju kamar mandi dan berwudu. Meski tinggal di desa dan berdinding bambu, rumah Kesih lumayan luas. Untuk sampai ke kamar mandi, ia harus melewati sepetak tanah bekas kandang kambing—dulunya ia punya. Jika kembali ke kamar pun, ia masih harus melewati dua bilik kosong dan ruangan tengah.
Melewati ruang tengah rumahnya, Kesih sempat melirik Pande, suaminya, yang tertidur pulas di dipan bambu sempit. Lelaki tujuh puluh tahun itu agaknya mulai tercabut nikmat hidupnya. Ia bangun ketika subuh, tetapi sudah mengantuk lagi sekitar waktu duha. Selain salat semampu tubuhnya yang mulai ringkih, ia lebih banyak merebah dan sambat mengantuk. Nafsu makannya juga tak seperti saat muda dulu, manakala masih bekerja sebagai kuli pembuat batu bata dan angon sapi milik juragan desa. Setengah porsi makanan—untuk satu kali sehari—yang telah disiapkan Kesih pun ia tak mampu.
Tempo hari Pande mengeluh, ia rindu anak semata wayangnya yang sudah berbulan-bulan tak pulang. Ia berkata, ingin bertemu walau sekali sebelum ajalnya tiba. Namun, satu sisi hatinya entah kenapa begitu yakin kalau anaknya yang merantau ke kota telah lupa kepadanya.
“Anak ditunggu-tunggu hadirnya selama berpuluh tahun, saat dewasa malah tak ingat orangtua. Kalau tahu begitu, lebih baik dulu kamu mandul saja.”
Kesih tersenyum kecut. Dibantahnya ucapan sang suami. “Jangan begitu, kalau anak juga termasuk rejeki, Gusti Allah pun mendatangkan dan mengambilnya sesuai kehendak-Nya, Pak. Rejeki kita hanya sampai ia belum pergi ke kota. Ya, tho?”
Kesih mengenakan mukena, menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya. Mengingat kerinduan suaminya lewat obrolan waktu itu, ia jadi terjangkit rasa yang sama. Rindu. Namun, dengan cepatnya hasrat itu seakan-akan lebur dengan harap-harap yang lain. Benar, apa yang kau tanam adalah apa yang kau tuai, tetapi Kesih tak ingin mengharap muluk-muluk dari seorang manusia.
Kala kepulangan pertama Agil, anaknya, setelah berhasil di kota metropolitan, ia pernah bicara dengan pongahnya, “Kenapa Mak tak mengijinkan aku pergi jauh-jauh hari? Menyesal aku, Mak. Seharusnya sejak dulu aku sudah bekerja di gedung mewah, Mak. Gajiku di sana bisa sampai empat kali kerja ngarit di sawah tetangga selama sebulan, Mak. Lagi pula, anak bosku tertarik sama aku, Mak. Sebentar lagi, sebentar … lagi, aku pasti bisa menjadikannya istriku.” Ia tersenyum lebar sambil menatap awang-awang yang penuh sawang, sebab tak ada anak gadis membantu bersih-bersih gubuk kecil Kesih.
“Kalau sudah kaya, Mak. Tak perlu Mak-Bapak tinggal di sini. Kita ke kota saja. Di sana fasilitas memadai. Biar kurawat kalian,” tambah lelaki dua puluh tahun itu.
Namun, kata-kata tinggallah sebuah ruang yang terkunci di masa lalu. Seorang Agil telah lupa, bahkan mungkin melupa untuk membuka ruang itu lagi. Berdebu. Kotor. Tak pantas untuk kemeja bersih bersalut jas. Bertahun-tahun setelah itu, Agil hanya pulang dalam hitungan jari, memberi uang sekadarnya. Setelah mengabarkan pernikahannya—entah dengan siapa, Kesih tak paham—pun Agil tak mengajak istrinya ke desa orangtuanya.
Kesih menitikkan bertetes-tetes air dari matanya. Dari kosen jendela yang menghadap timur, tampak matahari naik sepenggalah. Hampir saja ia lupa akan salat Duha. Segera ia hapus jejak air mata, lalu menoleh sejenak ke belakang. Tak ada suara. Pande masih tertidur, pikirnya.
Dalam hati perempuan tua itu mengadu sejenak sebelum takbiratul ihram. Gusti Agung, lancarkan rejeki anak-anak hamba, muliakan namanya.
Dua kali empat rukuk Kesih terbungkuk-bungkuk, hingga akhirnya ia terduduk di antara dua sujud. Pada sujudnya yang terakhir, di dalam hatinya berucap lagi, Gusti Agung, jika boleh hamba meminta untuk diberi lupa. Biar hamba tak meminta hal buruk atas rasa sakit hati seorang ibu ….
Sekilas terbawa angin, terdengar suara Pande memanggil-manggil namanya. Namun, Kesih baru duduk tahiat akhir. Jari telunjuknya terbebas dari genggaman dan pandangannya masih lurus ke sajadah.
“Wabarik ala sayyidina Muhammad … wabarik ala sayyidina Muhammad ….”
Kesih mengulang-ulang selawat yang sama, tetapi ia tak kunjung meneruskan lanjutannya. Tiba-tiba ia terlupa bacaan itu, terlupa apa yang dilakukannya, terlupa akan salam terakhirnya. Ia mengangkat wajah, lalu seketika menjadi linglung akan apa yang dilakukannya.
“Sih, Kesih ….”
Pande memanggil-manggil Kesih berkali-kali dengan suara yang tak bersemangat. Karena tak mendapat jawaban, lelaki tua itu berpayah-payah bangkit untuk duduk. Rupanya, meski matanya terpejam, ia masih bisa mendengar suara ketukan pintu rumahnya.
Kesih masih terduduk di tahiat akhirnya. Tampak di belakangnya Pande mengangguk-angguk. Mungkin istrinya belum selesai berdoa, pikirnya. Maka, Pande berseloroh dengan sisa tenaganya sejurus berjalan mendekati pintu. “Sebentar ….”
Pande terkejut. Anak lelakinya pulang ke rumah. Beberapa detik ia mengucap syukur, seolah-olah Kesih telah berdoa agar anaknya pulang, dan Tuhan mengabulkannya detik itu juga.
“Pak, Mak mana? Aku, kan, sudah janji mau bawa kalian ke kota. Kupikir-pikir, kalian sudah tidak mungkin tinggal berdua di sini. Gimana, Pak?” Tanpa tedeng aling-aling Agil mengungkapkan kemauannya.
“Bapak manut makmu saja.”
Agil berjalan tergesa-gesa ke kamar ibunya. Di sana, wanita bermukena itu masih terduduk dengan pandangan kosong. Ia lupa dengan air yang dijerangnya di pawon, ia lupa belum membuat sarapan untuk Pande, ia lupa dengan wajah yang pernah dirindukannya berbulan-bulan.
“Mak, Mak, ini Agil. Ayo, kita ke kota, Mak!” seru Agil.
Namun, Kesih telanjur lupa. Benar-benar lupa dengan rencana anaknya.
***
Di halaman yang luas di sebuah rumah jompo, berbaris-baris lansia menghirup udara pagi. Betapa sinar matahari waktu naik sepenggalah itu dinanti-nanti penghuni tempat itu. Terutama Pande. Senyumnya merekah, meski di barisannya ia hanya bisa duduk di kursi roda. Setelah itu, ia sungguh-sungguh menanti pengurus panti menyuapkannya bubur sumsum lezat seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia tak peduli, apakah anak lelakinya sudah berhasil menjual rumah demi menutup utangnya kepada rentenir atau belum, tak peduli apakah menantunya jadi melayangkan gugatan cerai kepada Agil atau tidak, tak peduli apakah Kesih akan kembali mengingatnya atau tidak. Ia hanya butuh melihat pengurus panti yang cantik dan welas asih, yang mengarahkan banyak hal demi menjaga kondisinya tetap prima di usia tua.
Di sebelahnya pula berdiri Kesih. Wanita itu merentangkan tangannya lebar-lebar, walau tak mengerti betul apa dan untuk apa ia melakukan itu. Hatinya kosong. Memorinya kosong. Namun, ia sadar, sudah seharusnya ia tersenyum. Entah apa alasannya.(*)
Malang, 9 April 2021
Dyah Diputri. Pencinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata