Doa

Doa

Doa
Oleh : Cokelat

Aku menarik rambutku sendiri dengan kasar. Berengsek! Ramalan mimpi yang aku dan teman-teman tafsirkan dan menjadi sederet angka-angka yang dapat mengubah hidup kami, meleset pada ekornya. Bayangkan jika empat angka itu semuanya tepat. Benar-benar sialan!

“Berhenti, Nak. Berhenti berjudi dan mencoba peruntunganmu dengan angka-angka setan itu. Berhenti meramal mimpi, itu perbuatan iblis.” Seperti biasa, Ibu datang di saat yang tidak tepat.

Lebih baik meninggalkannya, dari pada terlibat dalam perdebatan yang pasti terjadi jika aku tak segera beranjak. Ibu tiba-tiba menarik bajuku dari belakang, memaksaku berbalik dan berhadapan dengannya.

“Tolong, Nak. Sekali ini saja, dengarkan kata Ibu. Ibu sudah tua, ajal Ibu tak akan lama lagi. Kamu anak Ibu satu-satunya.” Mata tua yang berkaca-kaca itu menatapku lekat. Sesaat … ada yang berdesir di dadaku.

Tangan kurus Ibu meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya di depan dada. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang seperti berkejar-kejaran. Aku menarik napas. Ibu sedang terbawa emosi. Akhir-akhir ini dia tak berhenti bicara soal kematian. Sebaiknya aku diam saja dan mengikuti permainannya. Ya, aku merasa ini semua sandiwara Ibu, agar aku berhenti berjudi.

“Kamu satu-satunya yang bisa mendoakan Ibu kelak. Doamulah yang Ibu butuhkan ketika kematian tiba. Doa anak saleh, bukan doa seorang penjudi. “ Air mata kini mengalir di pipi yang kulitnya mulai kering dan keriput. Ya, ampun … apakah kali ini aku akan luluh? Tidak! Jangan sampai!

“Ayolah, Bu. Aku tetap akan mendoakan Ibu, tak peduli aku ini apa.”

“Tidak mungkin, Nak. Kau hanya akan sibuk dengan angka-angka peruntunganmu itu. Kau akan segera melupakan Ibumu yang sudah mati.” Kepala yang hampir seluruhnya tertutupi uban itu menggeleng lemah.

Aku melepas genggeman tangan Ibu dan berbalik. Aku bisa kalah dan mengiyakan keinginan Ibu jika terus berhadapan dengannya. Baru selangkah menjauh, terdengar suara berdebum diiringi isakan Ibu.

Astaga … Ibu jatuh tersungkur ke lantai. Aku terpaku sesaat. Apakah ini masih bagian dari sandiwaranya?

“Nak ….” Tangan ringkih itu terjulur ke arahku.

Aku mendekat dan berlutut di samping Ibu.

“Janji … kamu harus janji sama Ibu.” Suaranya melemah, tapi genggemannya pada tanganku mengerat.

Seumur hidupku, ini pertama kalinya aku merasa kurang beruntung dilahirkan sebagai anak tunggal.

“Nak?”

“Iya, Bu.” Aku mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Iyakan saja biar Ibu tenang. Dan sebelum Ibu membuka mulut, aku segera menggendong dan membawanya ke kamar.

Semenjak permintaan Ibu dua pekan lalu, aku tak pernah lagi ikut bertaruh dan memasang beberapa angka seperti biasanya. Aku berusaha keras mengabaikan ajakan teman-teman. Pun cerita mimpi yang berseliweran dan menjadi bahan obrolan di grup kami. Aku menahan diri untuk tak membacanya, padahal biasanya aku adalah salah satu yang paling bersemangat menafsirkan mimpi-mimpi itu. Tentu saja berbekal buku tafsir mimpi yang kini teronggok di atas nakas samping tempat tidurku.

Entah sampai kapan aku mampu memegang janji pada Ibu. Baru dua pekan, dan godaannya terasa begitu berat.

Ah, Ibu. Hanya karena doa, aku harus meninggalkan kesenanganku. Mengapa Ibu tak percaya kalau aku akan tetap mendoakannya, walau aku seorang penjudi. Apakah karena doa itu harus berasal dari seorang anak yang saleh? Sepenting itukah doaku untuk Ibu?

Aku terus berusaha menahan diri. Namun, akhirnya aku kalah. Tepat dua bulan setelah janji yang kuucapkan, aku bermimpi. Seharian aku dilanda keraguan. Mimpi itu … sangat jelas. Aku bisa menafsirkannya dan menjadikannya empat angka jitu yang bisa mengubah hidupku dalam sekejap. Tapi, bagaimana dengan janjiku pada Ibu?

Aku benar-benar kalut. Jika saja ini bukan mimpiku sendiri, aku tak akan peduli. Arghh …. Aku meremas-remas rambutku.

Ah, sekali ini saja. Ini yang terakhir dan Ibu tak akan tahu. Aku menarik napas panjang. Ya, sekali ini saja dan setelahnya aku akan benar-benar berhenti.

Aku kembali bertaruh dan memasang empat angka secara diam-diam. Lalu kemudian … mimpi itu pun menjadi kenyataan. Empat angka yang membuat ratusan juta rupiah mengalir ke rekeningku. Aku bersorak kegirangan, seolah tak percaya dengan keberuntunganku ini.

Malamnya, kuutarakan pada Ibu niat untuk memiliki mobil yang sejak lama menjadi impianku.

“Beli mobil baru? Uang dari mana?” Ibu membelalak dan aku tak mungkin jujur mengatakan padanya bahwa aku baru saja menang berjudi.

“Aku ada sedikit simpanan. Sisanya dicicil.” Maaf, Bu, aku terpaksa berbohong.

Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya aku bisa memiliki mobil yang sejak lama kuidam-idamkan. Aku mengendarainya untuk pertama kali dengan perasaan berdebar. Kuinjak pedal gas hingga jarum pada alat penunjuk kecepatan berada di atas angka seratus dua puluh. Yes! Mobil ini benar-benar menakjubkan.

Tiba-tiba suara klakson dari arah depan membuyarkan konsentrasiku. Sial! Dari mana sepeda motor itu muncul? Bisa-bisanya dia tiba-tiba menyalip truk yang berlawanan arah denganku dan sekarang berada tepat di depanku. Jarak kami tersisa beberapa meter. Tanpa pikir panjang, aku membanting setir ke kiri.

Aku menabrak besi pembatas jalan, dan terjun bebas ke jurang yang ada di bagian kiri jalan. Tuhan … selamatkan aku. Mobilku terus meluncur dan berhenti setelah menghantam sebuah pohon besar yang tumbuh miring di lereng jurang dengan keras. Sangat keras.

Aku terjepit di antara kursi dan kemudi. Rasa sakit yang luar biasa di bagian dada tak dapat kutahan. Serpihan dari pecahan kaca depan mobil memenuhi wajahku, sangat perih. Kedua kaki dan tanganku mati rasa, tak dapat kugerakkan lagi. Tiba-tiba pandanganku mengabur, napasku sesak.

Lalu, sesosok besar tiba-tiba berdiri di hadapanku. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Siapa dia? Hawa dingin menerpaku. Aku sangat takut.

Ibu … sekarang, akulah yang butuh doa Ibu.(*)

Kamar Cokelat, 28 April 2021

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply