Diskusi tentang Laki-laki Setia dan Laki-laki Baik Hati

Diskusi tentang Laki-laki Setia dan Laki-laki Baik Hati

Diskusi tentang Laki-laki Setia dan Laki-laki Baik Hati
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Sebagai sesama gadis, mereka telah mendiskusikan banyak hal, seperti merek cat kuku terbaru; pelembap yang aman bagi kulit; rekomendasi film atau drama romantis; serta perilaku menyebalkan salah satu kawan. Ini menjadi semacam rutinitas yang wajib dilakukan dan haram ditinggalkan—kau dapat menemukan mereka bergerombol dengan berisik di trotoar, kantin, atau sudut-sudut kelas saat jam pelajaran berlangsung. Tidak ada yang tahu pasti kapan rutinitas itu bermula—jarang pula yang peduli. Akan tetapi, minoritas yang terganggu akan mencicit rendah, bertanya apakah itu diskusi dan bukan bergosip, yang tentu saja dibalas oleh kerlingan tidak bersahabat; sindiran bernada melengking; atau pengabaian.

Lalu, mereka akan berlalu, melanjutkan diskusi yang sempat tertunda: tentang parfum, idola, kekasih, dan segala sesuatu yang pantas didiskusikan.

“Cuacanya cerah. Cocok banget buat ngajak si dia ke taman bermain.”

“Rekomendasi tempat facial yang bagus, dong! Yang nggak murahan, gitu!”

“Hei, kalau ada laki-laki setia sama laki-laki baik hati, kalian bakal milih yang mana, sih?”

Itu adalah Agustus yang terik dan Ghea kembali menemukan dirinya dalam diskusi mereka. Yah, bukannya bermaksud mendaftar sebagai anggota tetap, sih. Ia hanya suka mendengarkan pembicaraan mereka—yang meski sering dicela oleh kaum Adam, tetapi punya sisi menyenangkan tersendiri. Melihat teman-temannya begitu hidup kala membicarakan wewangian serta busana sudah cukup untuk membebaskannya dari sangkar-buku keluarga … juga kekhawatiran terhadap pemuda itu—yang rambutnya lepek karena jarang keramas; yang punya mata panda karena begadang tiap hari; yang kulitnya cokelat karena suka travelling sana-sini.

“Kalau aku, sih, pasti milih yang setia! Secara, orang setia itu langka banget zaman sekarang! Harus dilestariin; kalau dapet, harus dijaga betul-betul.”

Bicara perihal pria setia, Ghea ingat sebuah pernyataan bahwa mata Rhean, pemuda itu, tidak pernah sedemikian fokus kecuali ia menatap Ghea. Kendati kerap berinteraksi dengan banyak gadis—yah, tipikal pemuda badung macam Rhean punya relasi yang lumayan mengerikan—matanya hanya bersinar dan tertambat pada satu titik ketika berhadapan dengan Ghea; melenyapkan semua ingar-bingar dunianya sendiri. Mendengarnya, gadis berambut cokelat kayu itu tertawa, dan berkata bahwa Rhean telah selingkuh lebih banyak dari yang teman-temannya kira.

Ironisnya, pemuda dengan tinggi di atas rata-rata itu menduakan Ghea untuk sesuatu yang amat manusiawi: kebebasan.

Ini menyedihkan mengetahui Ghea tidak dapat menyalahkan siapa pun ketika Rhean kecelakaan; atau diskors akibat bolos; atau kesulitan lain demi hal abstrak bernama kebebasan. Lebih menyedihkan lagi saat tahu bahwa Ghea pun tidak bisa sepenuhnya mengekang dan justru menyimpan kekhawatiran itu dalam hati. Berkali-kali.

“Dasar. Laki-laki setia belum tentu baik hati. Sebaliknya, laki-laki baik hati sudah tentu setia. Simply like that. No doubt.” Ada beberapa perdebatan kecil hingga sangkalan itu berlanjut, “Dan, lagi, kalau berpacaran dengan pria baik hati, kalian akan merasa aman. Tidak perlu memikirkan permasalahan yang bisa diakibatkan pacar kalian.”

Bukan sekali-dua kali ini Ghea memikirkan keadaan Rhean.  Apakah ia makan dengan benar? Apakah paru-parunya masih berfungsi normal kendati dijejali nikotin tiap hari? Apakah Izrail masih berbaik hati, mendiamkannya, kendati berkali-kali terlibat kecelakaan lalu lintas?

Ada kalanya Ghea menyesal terlahir sebagai seorang perempuan, sebab mesti dihadapkan oleh prasangka, suara-suara, yang naik-timbul tanpa henti. Ada kalanya gadis itu ingin bertukar peran, sebentar saja, sehingga ia dapat menenggak kafein di malam hari dan baru pulang saat azan Subuh, tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Dan, ada kalanya, pemuda bergaris wajah tegas itu mengerti, lantas kembali pergi—sebab dunianya bukanlah sangkar larangan ini-itu.

“Ah, orang-orang cupu itu nggak seru diajak pacaran! Mereka terlalu baik hati, makanya nggak bisa diajak bersenang-senang!” Ada koor mendukung serta menentang sebelum sanggahan itu diteruskan, “Kalau laki-laki setia …. tidak masalah ia dari geng motor, jarang beribadah, atau semacamnya. Satu, mereka bisa diajak bersenang-senang. Dua, mereka tidak selingkuh. Selesai.”

“Ah, dan karena setia, mereka pasti ngelakuin apa aja yang diminta pacarnya, termasuk buat tobat! Karena apa? They thought nobody is ever going to be able to replace their lover.”

“Ah, yang kalian itu utopis! Cuma buat kesenangan sesaat aja! Kalau mau pikir panjang, udah tentulah pilih pria baik-baik. Dia bisa jaga diri dia sendiri. Dia bisa jadi panutan kita. Dia bisa jadi jaminan masa depan kita. We’re not children again, Girls.”

Ya, ya, mereka sudah dewasa … dan mestinya Ghea mencari laki-laki yang baik—dari keluarga “sehat”; hanya kenal kitab suci; dan memenuhi kriteria “baik” yang dipakemkan masyarakat. Ini akan berjalan mudah. Ia tidak perlu menghabiskan pasokan emosinya untuk memikirkan Rhean yang mungkin saja kerap melupakannya. Ia tidak perlu memikirkan orangtuanya yang pasti menentang habis-habisan bila tahu sedikit hal tentang Rhean. Ia tidak perlu menjadi orang linglung, atau orang naif, yang membayangkan masa depannya kelak tanpa Rhean.

Ghea hanya perlu memikirkan dirinya sendiri. Sesederhana itu. Namun, tiap pikiran itu datang, Ghea selalu ingat sosok Rhean yang duduk di warung kopi depan tempat kursusnya—menunggu ia pulang; yang melarangnya mengerjakan tugas kelompok sendirian … yang mengajaknya berkeliling kota, berhenti di sebuah lapangan terbengkalai, kemudian mengajarinya cara mengumpat—ketika beberapa nilainya turun di semester pertama.

Saat itu, Rhean berkata, “Gua nggak bisa kasih banyak hal ke lu—gua bahkan nggak bisa menyanggupi permintaan lu buat berhenti merokok. Palingan, gua cuma bisa jadi tameng kalau lu kenapa-napa, atau jadi pelarian kalau lu lagi bosen sama kehidupan lu. Lu tau sendiri kalau gua nggak suka belajar.”

Rhean jarang membicarakan hal-hal melankolis. November yang mendung waktu itu pun ia masih berbicara dengan logat kasarnya. Namun, bagi Ghea, pembicaraan waktu itu sama mendungnya dengan kanopi menggantung di cakrawala.

“Masalah orangtua lu, gua juga nggak bisa kasih jaminan. Gua nggak bisa janji bakal seterusnya ada di samping lu, atau bahkan ngajak kawin lari kalau kita udah dewasa,” Mata arang Rhean menerawang ilalang tinggi yang memenuhi lapangan tersebut, “kehidupan gua nggak kenal namanya berandai-andai, apalagi menyesali masa lalu, karena kita hidup di masa sekarang. Jadi, yang bisa gua kasih, ya, cuma perasaan gua yang sekarang.”

Rhean bukan tipikal pasangan romantis. Ia pun bukan orang yang dapat dengan mudah menuruti perkataan Ghea. Namun, ada keanehan tersendiri yang membuat Ghea betah, bahkan ingin, terus bersamanya.

“Hari ini, lu nomor satu, dan bagi gua itu absolut. Udah.”

Perenungan Ghea usai ketika suara berat itu menyambangi gendang telinganya. Ada Rhean di depan kafe tempat mereka berdiskusi. Masih dengan tampilan berandalnya. Namun, Ghea cukup bersyukur karena pemuda beralis tebal itu mau menolerir permintaannya terkait motor yang nyaman diduduki.

Ada jeda diskusi ketika Ghea pamit dan berlari menuju Rhean. Ada hening mampir ketika mata gadis-gadis itu mengikuti langkah Ghea dan menemukan abnormalitas di depan mereka.

“Jadi, Ghea betulan pacaran sama Rhean?”

“Cuma deket, sih, tapi aneh banget, ‘kan? Aku malah takut dia sengaja pacaran sama Ghea gara-gara uang … atau semacamnya.”

Who knows. But, she appears to love Ghea immensely. Bukan tipe yang selalu balas chat, sih, tapi dia selalu ada kalau Ghea kena masalah. Itu yang kutahu.”

“Emang orangtuanya Ghea setuju?”

“Katanya, sih, dia juga udah tau bakal ditentang sama orangtuanya Ghea, tapi masih aja jalan sama Ghea. Cinta buta, kali, ya?”

“Apa itu namanya laki-laki setia belum tentu pria baik-baik?”

Hening sejenak. Semua berpandangan. Menyusun kalimat.

“Itu, mah, laki-laki tolol!”

Blind love!”

“Kalau bisa langgeng bukan masalah. Kalau memang tidak bisa bertahan juga bukan masalah.”

Ada beberapa dialog di luar topik lain yang terlontar hingga salah satu dari mereka berkata, “Eh, gimana, nih, tentang petisi yang jadi viral beberapa waktu lalu?”

“Ah, yang katanya buat nyelametin moral bangsa itu, ‘kan?”

Dan, mereka kembali berdiskusi tentang banyak hal: parfum, idola, kemudian … apa saja yang viral dan perlu didiskusikan. Kecuali, mungkin, segala sesuatu tentang laki-laki setia dan laki-laki baik hati. (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata