Disembunyikan Hantu

Disembunyikan Hantu

Dede Aah Humairoh

Ahmad menatap lurus lokasi pasar yang akan direkonstruksi. Dia adalah arsitek muda yang mendapatkan kepercayaan dari pemerintah desa setempat untuk membuat rancangan pasar yang lebih modern. Di tempatnya berdiri, dia memandang bangunan pasar. Masih berbekas dalam ingatannya, memori indah masa kanak-kanak dahulu. Sebuah pengalaman yang tanpa sadar membuat bibirnya mengulum senyum.

*

“Hompimpah alaihom gambreng, ” suara riuh bergema di sekitar pasar.

Delapan belas tahun silam, di sebuah pasar yang hanya buka hari Senin dan Kamis. Di hari lain pasar tutup dan tempat itu akan dipakai anak-anak untuk bermain. Seperti membaca mantra untuk menemukan pelaku kejahatan, mereka menyanyikan lagu hompimpah, hingga ada salah dari mereka yang menjadi kucing—berperan mencari temannya yang sembunyi– dalam permainan.

“Si Ahmad kena.” Yadi berucap sambil mengarahkan telunjuk tepat di depan wajah Ahmad.

“Sana pada sembunyi, kuhitung sampe sepuluh, ya!” kesal Ahmad pada teman-teman sepermainannya.

Semua anak segera mencari tempat persembunyian yang paling aman: Yuni bersembunyi di lapak penjual sayuran, Reni di lapak penjual pakaian, Anwar naik ke atas genting pasar, Romdon dan Yadi berlindung di dalam peti bekas makanan.

“Delapan …, Sembilan …, sepuluh.” Ahmad berteriak menghitung angka, memberi waktu mereka untuk bersembunyi.

“Udah ya … mau dicari nih ….” Ahmad berbicara, walaupun tahu pasti tidak akan ada jawaban dari teman-temannya.

10 menit berlalu, Ahmad masih terus mencari tempat persembunyian teman-temannya. Dia terus mencari tempat persembunyian mereka.

“Anwar, kamu di atas genting ya!” panggil Ahmad sambil menatap genting pasar.

“Yah … ketahuan, padahal sudah- susah naik gentingnya,” seru Anwar pada Ahmad dengan wajah lesu.

Pencarian kembali dilanjutkan, menelusuri jejak-jejak kebiasaan tempat persembunyian.

5 menit berikutnya …

“Don, kamu gak mandi yah?” Yadi bertanya pada Romdon dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Enak aja, kamu kali Di yang gak mandi,” Romdon menutup hidungnya, menunjukkan bau tak sedap yang tak enak untuk dihirup.

“Ini kepala apa, Don?” Yadi mengangkat benda dengan jari telunjuk dan jempolnya.

“Pantesan bau, ini tuh peti ikan asin ternyata, haha.” Romdon tertawa seraya membuka tutup peti yang sebenarnya tidak rapat.

“Pulang saja yuk, Di, bau nih baju,” Romdon melajutkan ucapannya dan merangkul Yadi untuk pulang.

Di sisi lain, anak perempuan yang sedang bersembunyi di balik lapak sayuran, gusar melihat jam doraemon di tangannya.

“Ren, sudah jam setengah lima, aku lupa tadi disuruh Ibu beli kecap ke warung Bi Anis,” Yuni berucap cemas pada Reni. Terbayang di fikirannya, wajah Ibu di dapur menunggu pesanan kecap yang tak kunjung datang.


“Ya sudah, yuk aku antar,” Reni menanggapi kecemasan Yuni.
Dua anak perempuan itu bergenggaman tangan menuju warung Bi Anis di ujung jalan simpang, dekat rumah pak RT.

Waktu menunjukkan pukul 04.50, Ahmad melihat jam tangan supermennya dengan raut khawatir. Romdon, Yadi, Yuni, dan Reni tak kunjung ditemukan.

“War, mereka kemana yah, dicari gak ketemu,” Ahmad berkata sambil terus melihat jam di tangan.

“Mad, tau cerita Erlan gak, tentang hantu pasar yang suka berkeliaran?” Anwar menatap Ahmad dengan wajah serius. Ahmad memutarkan bola mata, mengingat cerita Erlan di kelas tadi pagi.

“Bisa jadi mereka disembunyikan hantu, War.” Seru Ahmad melirik kiri dan kanan.

“Itu yang aku fikirkan Mad,” Anwar berkata sambil berdiri. Ahmad Reflek ikut berdiri mengikuti gerakan Anwar. Tanpa aba-aba, mereka berlari bersamaan menuju rumah mereka yang berdekatan, meninggalkan segenap ketakutan yang melingkupi fikiran mereka.

“Ayah … Bunda … teman-teman disembunyikan hantu!” Teriak Anwar dan Ahmad bersamaan, disela lari ketakutannya.

*

Seringai Ahmad tampak lebih jelas melihat tiang tempat ia menghitung angka menunggu teman-temannya sembunyi.
“Teman, kalian dimana? sudah lama tak bersua, atau kalian sekarang disembunyikan hantu?” tanya batin Ahmad menahan rindu pada teman sepermainannya yang sudah belasan tahun tak bertemu.

END

Dede Aah Humairoh anak ke 7 dari 9 bersaudara. Ia lahir dan besar di Tasikmalaya. Bergelut dalam dunia kepenulisan sejak 2019 dan beberapa karyanya telah dibukukan dalam bentuk antologi. Selain belajar menulis buku, ia juga sekarang belajar menjadi reviewer buku.
Penulis bisa dihubungi di:
Fb: Dede Aah Humairoh (Dee The Walk)
Ig: @dee_the_walk
Blog: http://deethewalk.blogspot.com/

Leave a Reply