Dipasung Janji

Dipasung Janji

Dipasung Janji

Oleh : Cahaya Fadillah

Udara Kota Pasundan masih saja dingin walau sudah pukul satu siang. Matahari seakan enggan muncul karena langit masih dirajai awan hitam sejak subuh.

Ini Senin ke-28 yang dinanti Aish untuk menunggu sang pujaan hati menunaikan janji di depan pintu bercat putih. Tidak ada ekspresi yang jelas diperlihatkan gadis itu melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya sejak Dean menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Dulu.

***

Aish dan Dean terjebak di pondok kopi favorit mereka. Tidak  banyak yang mereka lakukan selain duduk bersebelahan, menatap air yang jatuh perlahan dari langit sendu, dan saling menghangatkan dengan menautkan genggaman.

“Kalau suatu saat nanti kita tidak berjodoh, aku harap kita akan terus bisa begini. Duduk berdua, memperhatikan hujan yang turun dan bercerita tentang apa saja.”

Aish menatap Dean dengan wajah penuh tanya. Ada rasa aneh yang muncul di dalam hati Aish, saat tiba-tiba Dean mengungkapkan hal yang membuat Aish takut kehilangan lelaki terkasihnya. Namun, secepat mungkin Aish mengusir pikiran-pikiran buruk itu dan berusaha  tersenyum menatap Dean.

“Jodoh, memang tidak ada yang tahu, Mas. Tapi, aku berharap bisa bersamamu sampai akhir hayat. Terlepas dari baik atau tidaknya aku untukmu dan kamu baik atau tidak untukku.  Kamu orang yang selalu kusemogakan dalam harap, dan nama yang selalu kusebut dalam doa.”

Dean balas menatap Aish. Tatapan mata itu terlihat teduh dan menenangkan. Dean tersenyum lalu mengusap puncak kepala Aish dengan hati-hati. Aish beringsut mendekat, merebahkan kepalanya di pundak Dean perlahan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka.

“Hujannya awet, Mas. Sampai kapan kita menunggu?”

“Sampai kamu dan aku sudah tidak punya kesabaran, kita berlari saja untuk pulang. Basah-basahan sedikit tidak apa. Nikmati saja, bagaimana?”

Dean tersenyum menggoda menatap Aish yang sibuk memikirkan apakah hal itu yang terbaik untuk mereka. Namun, belum sempat Aish memberi keputusan, Dean sudah menarik tangan Aish untuk berdiri dan melangkah.

Awalnya Aish merasa kaku, takut kalau-kalau penampilannya akan rusak dan Dean tidak suka. Lama-lama Aish mulai menikmati hujan yang jatuh, dingin yang menusuk-nusuk perlahan jadi biasa . Lalu, kenyamanan dan tawa datang kemudian.

“Kita pulang, ya. Mas antar.”

“Tapi, Mas. Ibu pasti marah kalau pulang basah-basahan begini.”

“Tidak, Sayang. Di depan sana ada toko pakaian wanita, kamu boleh memilih baju apa saja untuk berganti. Sembari Mas cari jas hujan, ya. Sudah terlalu lama kita keluar, nanti ndak enak sama keluargamu, bawa anak gadis berjam-jam. Lebih baik kita jaga sekarang agar nanti setelah menikah, kebersamaan menjadi kebahagiaan yang tidak akan bisa diganti dengan uang.”

Aish mengangguk tersenyum. Manut saja pada ucapan lelaki terkasihnya itu, laki-laki yang sangat menjaga martabatnya sebagai seorang wanita. Laki-laki yang sangat paham keadaan dan hati Aish melebihi siapa saja.

Hujan turun lebih deras. Buru-buru mereka menaiki kuda besi milik Dean yang terparkir agak jauh dari pondok kopi “Sayonara”. Dean menaikkan kecepatan motornya untuk bisa sampai ke toko baju dengan segera. Takut, kalau wanita terkasihnya masuk angin dan jatuh sakit padahal tanggal pernikahan sudah di depan mata.

Nahas, dibalik helm yang tertutup air hujan, Dean tidak melihat sebuah truk pengangkut kayu tepat menghadang mereka. Dengan kesadaran yang tersisa Dean memutar motor agar Aish terhindar dari bahaya di depannya.

Aish terlempar jauh dan terbentur pagar pembatas jalan. Sedangkan helm Dean terlepas dan kepalanya membentur mulut truk dan  terlempar ke sisi yang berseberangan dengan Aish. Mereka terpisah cukup jauh.

Hujan turun menyirami darah yang mengalir deras dari kedua kepala pasangan kekasih yang sangat saling mencintai itu. Pemandangan yang teramat mengerikan serta menyedihkan.

***

Aish duduk diam di depan pintu bercat putih. Udara dingin yang menusuk kulit tidak membuatnya ingin beranjak sedikit pun. Sesekali samar terlukis senyum di wajahnya yang pucat. Lalu, ekspresi itu menghilang, berubah dengan air mata. Detik kemudian bibirnya menarik senyum, lalu tawa tak lama merajai suasana.

Hujan berhenti, Aish terkesiap. Memanggil Dean dengan berteriak. Sang ibu yang menatap dari jauh di belakang Aish hanya bisa mengelus dada dan menangis menatap punggung putrinya yang disebut-sebut “wanita gila”. (*)

Cahaya Fadillah, perempuan keturunan Minang yang menyukai dunia literasi sejak kecil ini baru aktif pada tahun 2017.

Karyanya sudah ada di beberapa antologi cerpen dan puisi. Tulisan lain bisa ditemukan di blog dan page pribadi atau Wattpad @CahayaFadillahStory dan Ig @catatancahayafadillah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply