Diorama Terakhir

Diorama Terakhir

Diorama Terakhir

Oleh: Tina Situmorang

 


Seorang lelaki menatap diorama di atas meja berukuran 3×3 meter. Meja yang sangat kecil untuk corak tiga dimensi yang dia mau. Namun, apa boleh buat. Itu satu-satunya meja kosong yang tersisa di rumah mereka.

Lelaki kurus berjenggot kusam itu menatap hasil tangannya yang hampir selesai. Jari-jarinya bergetar meraba satu persatu patung manusia yang dia ciptakan. Ada tiga patung berdiri di depan rumah bercat biru laut mirip rumah yang dia tempati saat ini. Satu wanita dewasa dan dua anak kembar yang usianya kelihatan masih belia.

Berulang kali jemarinya menyentuh dan mengelus lembut patung-patung itu. Merasakan setiap permukaan halus. Mengamati dan menghayati tiap sentuhan seolah sedang menumpahkan segala kerinduan yang terpendam.

Kepala yang penuh dengan rambut berwarna abu-abu miring bergantian. Kadang ke kiri, kadang ke kanan melawan arah sentuhan jarinya.

Tulang-tulang wajahnya semakin terlihat menonjol seakan ingin keluar dari kulit yang semakin hari semakin keriput dan usang. Senyuman yang terukir di garis bibirnya tidak jelas lagi sedang menggambarkan rasa apa.
Laki-laki itu tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di sana mengagumi apa yang dikerjakannya tiga hari belakangan. Ya, dia terus mengukir diorama yang akan menjadi kebanggaannya itu terus menerus. Berhenti hanya jika mata dan perut tidak bisa lagi berkompromi.

“Kita akan terus bersama,” lirihnya ketika matanya menekuri patung si Wanita Dewasa.

Mata yang tadi begitu jernih tiba-tiba memproyeksikan sebuah gambar yang ingin sekali dia lupakan. Potongan demi potongan yang terekam jelas kini bermain menjadi adegan demi adegan pertengkaran.

“Aku ingin bercerai!” teriak wanita itu lagi dan lagi seakan-akan dia sedang kesurupan.

“Tenanglah. Kita tidak bisa menyelesaikan apa pun jika kita terus marah.”

“Tidak. Satu-satunya penyelesaian yang kumau hanya cerai!”

“Kita bisa memulainya dari awal.”

“Sudah cukup kuberikan awal yang selalu kau minta. Kau tidak pernah menepati apa yang kau katakan. Awal itu akan tetap berakhir sama. Pengabaian darimu!” Meski suara wanita itu tidak lagi setinggi tadi tetapi kata yang keluar semakin menyakiti. Laki-laki itu hanya terdiam menatap mengiba.

“Kau lebih mencintai diorama itu daripada kami, keluargamu. Kau lebih memilih berlama-lama sendiri di ruang kerjamu daripada bermain dengan si Kembar, anak kita. Kau lebih sibuk berbincang dengan yang kau katakan seni itu ketimbang berbagi canda dengan kami. Lalu, apa arti kehadiran kami sebenarnya?”

Laki-laki itu masih bergeming. Apa yang dikatakan istrinya memang benar. Keluarga kecilnya menuntut perhatian tetapi dia tidak bisa berikan. Dia merasa gagal menjadi sosok kepala keluarga. Dia ingin berubah dan memberikan apa yang menjadi keinginan keluarganya. Namun, pesona miniatur dan tantangan-tantangan untuk menghasilkan sesuatu yang unik selalu berhasil menggagalkan niatnya. Memandang dunia nyata dari perspektif kecil membuatnya seolah menjadi Tuhan yang mencipta. Dia merasa menjadi mahabesar atas benda-benda kecil kreasinya. Mengubah, merangkai, mewarnai dan meletakkan sesuai bentukan asli membuatnya menahbiskan diri sendiri sebagai raja tanpa mahkota.

“Jangan kau salahkan jika kami memilih orang yang bisa memberikan kami perhatian yang lebih.”

Sekarang laki-laki itu sadar. Permasalahannya bukan lagi seputaran antara keluarga atau diorama. Ini sudah menjurus ke sosok lain yang siap menggantikan posisinya di rumah itu.

Laki-laki itu berang. Dia tidak bisa begitu saja memberikan apa yang sudah menjadi miliknya ke orang lain. Pada amarah yang menggebu dalam diam, laki-laki itu mewujudkan perjamuan makan malam terakhir untuk keluarga kecilnya. Dan sebelum benar-benar berakhir, dia pun menyusun diorama terakhir persembahan untuk tiga orang yang begitu dia cintai.

“Kita akan menjadi keluarga bahagia,” lanjutnya saat matanya beralih ke patung si Anak Kembar.

“Ayah akan membahagiakan kalian.”

Sementara angin yang berembus membawa bau busuk yang menyengat hidung dari dapur.

“Sudah tiba waktunya. Aku akan menyusul kalian.” Laki-laki itu meraih sebuah patung laki-laki dewasa. Bertubuh jangkung dan kurus kering. Rambut abu-abu panjang sebahu yang terurai tidak beraturan. Patung itu mengenakan kaos yang tidak jelas lagi warnanya persis seperti apa yang dia pakai saat ini.

Laki-laki itu meletakkan patung tadi tepat di sebelah patung wanita dewasa yang sedang tersenyum kecut.

“Sempurna. Kita telah menjadi kelurga yang benar-benar sempurna.”

Dia kemudian bangkit dan berjalan ke dapur. Tiga bangkai yang telah membusuk tergeletak tepat di samping wastafel dan rak kompor. Laki-laki itu terus berjalan hingga sampai di depan rak setinggi dadanya. Dia meraih sebuah botol kecil bergambar tengkorak dengan dua tulang disilang. Dia kemudian duduk di samping bangkai paling kecil.

“Ayah datang, Nak. Ayah akan memberi perhatian ke kalian. Ayah akan selalu bermain dengan kalian.” Ditenggaknya cairan dalam botol tadi. Sembari tersenyum, dia bersandar ke dinding wastafel dan menunduk, mencium kepala bangkai terkecil. (*)


Medan, 19 Mei 2021

Tina Situmorang seorang perempuan kelahiran Pematang Siantar dan kini berdomisili di Medan sedang giat-giatnya belajar menulis. Beberapa kali ikut menulis antologi kini ia memiliki impian untuk mempunyai novel dengan namanya sendiri. Menulis baginya adalah sebuah ajang refleksi dan penyalur pikiran liar yang sering hinggap di kepala.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply