Dingin yang Melingkupi
Oleh : Fathiyya Rahma
Saat terdiam, aku selalu terlempar ke masa lalu. Masa di mana, kami berdiri di balik jendela kamar memandang hujan dengan tubuh menempel. Jemari pun terpaut erat. Hangat tubuh itu mencipta rasa nyaman. Rasa yang begitu kurindukan saat ini. Hal itu membuat kenangan lain muncul tumpang tindih. Dua memori yang saling terkait satu sama lain.
Aku tak ingat dengan jelas kapan kali pertama bertemu dengan Andito, hingga akhirnya begitu dekat. Satu kejadian yang masih membekas dalam hati adalah malam itu. Malam terpanjang dalam hidupku, ketika kami membuka topeng masing-masing. Menyingkap tabir rahasia masa lalu.
Dia dengan kecanduannya terhadap bubuk setan dan alkohol. Sedangkan aku dengan seks bebas dan rokok. Kami sama-sama bejat, punya masa lalu buruk, dan begitu hina jika dilihat dari kacamata banyak orang. Terlebih aku yang seorang wanita, ketika keperawanan masih dianggap begitu penting dalam perihal mencari jodoh.
Awalnya ada ketakutan saat harus mengatakan hal yang sejujurnya. Bimbang dan ragu menguasai lidah ketika akan berucap. Bagaimana jika dia menolak, bagaimana jika dia memandang jijik. Lebih parah lagi, bagaimana jika iba dan rasa kasihan terarah padaku. Sebab, bukan rasa itu yang kuinginkan, melainkan penerimaan dan cinta tulus.
Namun, segala pertanyaan itu lindap ketika kuketahui masa lalu kelamnya juga. Bolehkah kukatakan bahwa ada rasa lega saat mendengar dia pun memililiki sisi buruk yang lain?
“Kita hanya dua orang bodoh yang tersesat di jalannya masing-masing. Aku bukan Tuhan yang akan menghakimi dirimu dengan cap buruk. Begitu pun kamu, Sayang. Tidak boleh menilai buruk seutuhnya diriku,” ucapnya sambil memeluk tubuh ini di atas ranjang, dengan pakaian lengkap. Selanjutnya, kami memejamkan mata dan tertidur dengan saling mendekap hangat.
Aku mengiyakan saat itu. Harapan dan impian akan masa depan muncul begitu intens di dalam otak. Kelebat indahnya pernikahan dengan saling menerima hadir bak dongeng pengantar tidur.
Waktu berjalan begitu cepat dan akhirnya masa depan indah itu terjadi. Sungguh-sungguh menjadi nyata. 18-08-2018 adalah tanggal cantik yang dipilih untuk ijab kabul kami. Tepat dua bulan setelah malam panjang itu terjadi.
Masih jelas dalam ingatan bagaimana Andito mengucap ijab-kabul di depan penghulu dan wali serta para saksi yang terdiri dari beberapa kerabat jauh. Orangtuaku telah lama berpulang ke Rahmatullah. Kami sepasang anak manusia yatim piatu mengucap janji satu sama lain untuk saling melengkapi kekurangan diri.
“Mulai hari ini, aku akan menjadi imam untukmu dan untuk calon anak-anak kita, Tiara,” ucapnya sesaat setelah mengucap janji pada Sang Pemilik Takdir.
“Hanya saling menerima dan memberi yang aku inginkan, Bang Dito,” ucapku dengan haru. Pandangan mataku seketika buram oleh kaca-kaca tipis di sudut mata yang luruh ke pipi. Tak kupedulikan riasan yang mungkin saja hancur. Persetan dengan tamu undangan yang menatap. Satu yang pasti, hari itu aku begitu bahagia. Resmi sudah diri ini menyandang status seorang istri. Doa dan harapan dari para tamu mengiringi langkah kami. Mencipta haru dan perasaan membuncah. Berharap ini untuk selamanya.
Kata bahagia, kurasa tak cukup mewakilkan perasaan yang dirasa sejak saat itu. Bibirku tak berhenti menampilkan senyum terkembang, saat sarapan dengan telur atau roti. Saat malam-malam yang dilewati dengan saling mendekap. Atau ketika hujan turun, kami akan menikmatinya berdua, menghidu aroma petrikor yang menyeruak dari tanah basah di halaman. Begitu pun dengan dirinya. Wajah itu memancarkan mimik bahagia, binar mata itu tak lagi sendu–seperti saat awal-awal bertemu. Kejora yang menjadi sumber kerinduan ini. Mendung yang melingkupi hidup kami seakan terbawa angin Selatan, pergi menjauh membawa hujan air mata pertanda kesedihan. Berganti dengan arunika dan pelangi yang cerah penuh warna.
Semingu, dua minggu, dan beberapa bulan awal pernikahan kami itu, hanya diwarnai dengan riuh canda tawa, dengan senyum terkembang di kala pagi, dengan sarapan penuh obrolan hangat, juga kecupan sayang di pucuk kepala sesaat sebelum memejamkan mata. Indah, bukan? Seperti dongeng pengantar ke mimpi paling istimewa.
Ya, istemewa. Mimpi yang istimewa. Kenapa kukatakan mimpi, karena itu hanya seperti potongan harapan. Gambaran kisah yang semu, tidak bisa berlangsung lama, bahkan menjadi abadi. Sebuah ketidakmungkinan.
Musabab sebuah tragedi membangunkanku dari alam mimpi nan indah itu. Sebuah kecelakan maut merenggut nyama Andito, suamiku. Tubuh dingin dan tak lagi berbentuk di atas ranjang hitam rumah sakit menjadi dekapan terdingin dalam hubungan kami.
Menangis, meraung, dan menghujat Tuhan menjadi menu wajib yang kulakuan setelahnya.
“Kenapa secepat ini memberiku kebahagiaan? Kenapa secepat ini merenggutnya kembali? Kenapa Kau tega melakukan itu? Kenapa, kenapa, kenapa!” teriakku entah yang keberapa setelahnya.
Di atas tanah merah yang masih basah, di bawah langit mendung kelabu, bersama dekut buruk gagak, serta angin kencang yang membawa udara lembap, aku bersimpuh. Air mataku masih terus menetes.
“Ajak aku bersamamu, Bang.” Kupeluk erat nisannya, sungguh tak rela dengan kepergian suamiku. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu berkumpul dengan dirinya. Setidaknya anak dalam kandungan ini tidak akan menjalani hidup tanpa seorang ayah.
Taichung City, 29 September 2019
Fathiyya Rahma adalah seorang perempuan yang meyukai kopi dan hujan. Mulai menyukai tulis menulis sejak setahun terakhir. Bisa kenal lebih dekat di akun FB dengan nama yang sama atas hubungi di alamat e-mail: fainayya3@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata