Dindalion
Oleh: Hertiya
“Gimana, anak-anak udah kumpul?”
“Udah, Yon. Mereka di lapangan,” jawab Aldi sambil mengunci lokernya.
Kusimpan tas di loker nomor dua belas, lalu mengambil barang-barang seperlunya dan bergegas ke lapangan sekolah. Aku, Aldi, dan Raihan mulai membantu anggota OSIS sekaligus menjadi panitia pentas seni.
Siswa-siswi SMA Harapan Bangsa cukup banyak yang berkerumun di lapangan. Ada beberapa stand yang sudah disiapkan untuk makanan, minuman, dan hasil karya kerajinan tangan. Kemudian, aku teralihkan oleh Yuli yang bersiul kepadaku.
“Apa?” tanyaku kepadanya.
“Dinda,” bisiknya.
Aku langsung mengikuti arah mata Yuli. Oh, di sana rupanya!
Aku pamit kepada Yuli dan segera menghampiri Dinda. Dia sedang duduk di kursi dekat ring basket.
“Sendirian aja. Mau aku temenin?”
Seperti biasa, dia tidak pernah menyahut saat aku mengajaknya bicara.
“Kamu lagi apa?”
Wajahnya menatapku sekilas, lalu beralih melirik buku yang sedang dia pegang.
“Aku sayang sama kamu, Din,” ungkapku percaya diri. Namun, Dinda segera beranjak tanpa melihat ke arahku lagi.
Ok, belum menyerah. Hampir dua tahun ini aku menyukainya, dan hampir dua tahun itu pula Dinda tak menyukaiku. Bukan sekali–dua kali Dinda tak mengacuhkanku, tetapi sering sekali. Seperti sekarang, aku tak henti-hentinya mendapatkan hati gadis berambut pirang sepinggang itu. Aku mendapatkan info dari Yuli bahwa Dinda akan pergi ke toko buku. Tak ada salahnya, bukan, aku berusaha ingin mengantarnya?
“Kamu mau ke toko buku, ya? Aku antar, yuk!”
Dinda bungkam. Dia sibuk menengok ke kiri dan kanan mencari angkot.
“Kalau ada yang ngomong, tuh, disahutin, dong. Niat aku baik, lho, mau antar kamu,” lanjutku.
Kudengar ada embusan napas kasar darinya sebelum berkata, “Gak perlu. Gue bisa sendiri. Satu lagi, please, berhenti ngejar gue! Karena gue gak suka sama lo, Lion!”
“Kalau gitu, aku bakal bikin kamu suka sama aku. Bahkan jatuh cinta.”
“Terserah lo!”
Tiba-tiba satu angkot berhenti di depan kami, Dinda pun segera masuk. Namun, aku segera berteriak, “Awas nanti jatuh cinta, Din!”
Tatapan tajam Dinda terarah kepadaku seiring angkot yang bergerak maju.
***
Acara pentas seni sudah tiba. Aku selaku ketua panitia cukup sibuk. Sebisa mungkin aku membuat acaranya agar selalu bagus setiap tahunnya.
Acara mulai berlangsung. Penampilan siswa kelas X, XI, dan XII pun silih berganti. Ada penampilan paduan suara dari siswa kelas X, XI IPA, dan IPS yang tergabung dalam grup ekstrakurikuler paduan suara. Ada juga penampilan tari tradisional dan modern yang diiringi alat musik tradisional degung. Semua cukup mewakili acara hari ini dengan tema ‘Seni Budaya Indonesia”.
“Baiklah, teman-teman, kita istirahat sebentar,ya. Kita mulai lagi pukul satu siang. Sampai jumpa.”
Aku bersiap diri dan juga hati untuk tampil usai jam istirahat seperti yang baru saja dikatakan Yuli. Sambil beristirahat, aku mengambil gitar kesayangan dan sesekali memetik senar secara perlahan. Mengetes suara agar semakin maksimal di atas panggung sana.
“Lo udah siap, Yon?” tanya Raihan yang datang menghampiriku.
“Dia mah siap banget kalau urusannya soal Dinda,” timpal Aldi.
“Gue udah siap sejak dua tahun lalu, Han, Di,” kataku, “gue yakin, kali ini dia bakal jatuh cinta sama gue.” Sangat percaya diri sekali aku ini. Jelas saja, Lion Anggara. Laki-laki yang tak kenal menyerah!
Sudah satu jam tiga puluh menit kami beristirahat. Inilah saatnya aku segera tampil bersama Aldi dan Raihan.
“Baiklah, acara selanjutnya penampilan dari band hits sekolah kita. Kita sambut YoHanDi Band.” Begitulah mereka memanggil kami.
Nama band itu merupakan kepanjangan dari nama kami masing-masing. Biarlah, asal mereka senang, dan kami bisa berkarya. Aku memberi aba-aba kepada kedua sahabatku. Mereka pun mengangguk dan segera bersiap. Begitu juga dengan aku, hatiku, dan lagu ini yang kupersembahkan untuk Dinda. Aku tahu, dia tak ada di kerumunan para siswa-siswi di bawah lapangan sana. Namun, aku yakin dia pasti mendengarnya.
Aku punya niat yang baik
Coba kuungkapkan padamu
Berharap kamu ‘kan menjadi
Rencana besar di hidupku
Din, lagu ini buat kamu. Semoga hatimu bisa merasakan apa yang aku rasakan sejak dua tahun lalu.
Awas nanti jatuh cinta
Cinta kepada diriku
Jangan-jangan ku jodohmu
Kamu terlalu membenci
Membenci diriku ini
Awas nanti jatuh cinta
Padaku
Begitu lagu selesai, aku dikejutkan dengan sebuah teriakan. “Gue gak akan pernah suka sama lo, Lion!”
Semua mata tertuju pada Dinda yang tiba-tiba berada di keramaian. Aku terpaku menatapnya. Wajah itu jengkel karena tingkahku kali ini. Dia berbalik. Namun, aku segera berlari turun dari panggung dan mengungkapkan, “Gue sayang sama lo, Din. Sejak dua tahun lalu. Gue harap, lo bisa rasain semua niat baik gue buat lo. Gue cuma sayang sama lo, Dinda.”
Sorak siswa-siswi pun membuat suasana kembali riuh. Dinda berjalan, tetapi aku kembali mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Perjuangan gue sejak dua tahun seharusnya berbuah manis. Tapi, kalau–”
“Yon.” Dinda berbalik dan menatapku. “Bisa ulangi kalimat lo yang waktu gue nunggu angkot?”
Aku berpikir. Kalimat yang mana? Ah, aku ingat! “Awas nanti jatuh cinta, Din.”
Gadis bermata cokelat terang itu tersenyum dan menatapku lekat. “Gue jatuh cinta sama lo, Lion,” ungkapnya memelukku.
Demi apa, Tuhan? Oh, yes! Akhirnya.(*)
Hertiya. Perempuan yang sering dipanggil “Ya”.
Editor: Dyah Diputri