Din
Oleh : Dhilaziya
Aku sedang teringat padamu, Din. Lelaki yang kusayangi selain ayah dan abang-abangku. Muda usia kita kala itu. Pemilik gigi gingsul yang selalu ramah menyapa setiap kali bertemu. Kamu adalah orang yang bekerja pada pamanku, di toko material miliknya. Kau mengerjakan apa saja yang disuruh. Tanpa bekal keahlian apa-apa, maka mengadu tenaga adalah jalanmu menjemput rezeki.
Kata bibi, kamu hanya tamat sekolah dasar. Tidak melanjutkan belajar karena tidak punya biaya. Sedang ayahmu, sudah semakin sering sakit kepala setelah istrinya meninggal, saat melahirkan adikmu satu-satunya, tujuh tahun silam.
Din, yang kuingat, kamu tak pernah membantah atau menolak perintah. Pun dari aku, bocah kelas lima SD yang selalu saja merepotkanmu dengan aneka permintaan akan mainan, juga tugas sekolah, sesekali. Baling-baling kertas, kemoceng, sapu lidi bahkan asbak dari tanah liat adalah bukti ketidakjujuranku, menerima nilai sempurna bukan atas hasil kerjaku. Aku lebih suka memintamu. Sebab bagiku, buah ketelatenanmu adalah yang terbaik. Juga senyum dan canda kita yang menemani saat berdua mereka-reka bentuk yang kumau, adalah kegembiraan tersendiri bagiku.
Aku pernah cemburu, saat kamu mengatakan kangen pada ibu, ibuku. Katamu, kau rindu pada suara dan renyah tawa ibuku. Aku tak rela berbagi lagi. Sebab tanpamu, Din, aku sudah bertarung dengan ketiga abangku agar selalu menjadi yang nomor satu. Rupanya aku keliru, Din. Waktu itu aku belum tahu bahwa kau tak lagi beribu, bahwa mungkin kehadiran ibuku sedikit menjeda kerinduanmu pada perempuan yang diam-diam masih kau simpan fotonya di dompetmu. Hari yang sungguh menyayat hati saat aku tahu kenyataan itu, ketika akhirnya aku membuka dompetmu.
Kamu Din, pernah dengan tak sengaja membuat abangku berprasangka tak elok, soal Yu Rah. Mengira wanita itu membuatkannya kopi sekadar panas saja, tanpa gula, pun tawar belaka tanpa aroma khas minuman pendongkrak tenaga kesukaannya. Ternyata, abangku yang keliru. Menuang air mendidih pada gelas kopimu, di mana padanya tersisa ampasnya saja. Ketika kenyataan tergelar, gerutuan berubah gelak, kusut muka berganti ceria, menertawakan kebodohan akibat enggan bertanya.
Din, hari itu bibiku bercerita. Tentangmu, Din. Perihal senyum yang tak pernah sirna dari parasmu. Paras yang berkilauan saat sang surya menimpakan cahayanya pada lelehan keringatmu. Bagi bibi, kamu adalah cerita sejuta derita. Hunian yang lebih rapuh dari kandang ayam di rumahku, pengisi perut yang tak pernah cukup mengganjal lapar, ayah yang keropos ditimpa kemalangan, juga digigiti rindu dendam tak berkesudahan, kakak perempuan beserta satu keponakan yang tersingkir dari rumah mertua karena kehadiran menantu baru yang lebih menawan, juga adik yang sepenuhnya, segalanya, selain yang telah kusebut sebelumnya, adalah beban di tulang punggungmu, yang belum lagi selesai bertumbuh.
Bocah empat belas tahun yang dipaksa menopang dunia, begitu bibi menggelari setiap kali menyebut namamu.
Kembali pada cerita bibiku, Din. Hari itu kau meminta gaji lebih awal, sebab robekan di ujung sepatu adikmu kian lebar, telah terlalu sering dijahit ulang, dan membuatnya kesulitan berjalan.
Katamu, “Biar dia senang, Bu. Kasihan adik saya.”
Din, tahukah kamu bagaimana wajah bibi saat membicarakan dirimu tanpa henti hari itu? Menangis, menebah dada, menggenggam erat siapa pun yang ada di dekatnya, siapa pun yang bersedia mendengarkan bisikan-bisikannya lalu terisak bersama. Hari di mana kabar kematianmu datang, hari di mana adikmu tidur dengan sepatu yang baru kamu belikan. Hari di mana rencanamu menonton bola tinggal kenangan, pupus dijerat ujung payung yang dengannya kamu mencoba meraih kabel listrik yang putus dihantam badai hujan malam sebelumnya. Hari di mana kedua teman yang berjalan bersamamu berulang kali pingsan, menyesal hanya sempat menyaksikanmu menggelepar. Itu yang mereka raungkan setiap kali siuman.
Kamu tahu, Din, mengapa kutulis tentangmu? Aku rindu.
Kemarin, aku dan seluruh keluargaku yang telah bertambah jumlah anggotanya, menyusuri setapak masa lalu, di mana kisahmu turut terjejak. Rumah bapakmu masih ada. Sedikit berubah, tidak lagi bocor aku kira. Sepengayun langkah dari rumah bapakmu, kami singgah di rumah abadimu. Di antara dengung doa dari bocah-bocah yang mewarisi rusuhku, aku membiarkan kenangan tentangmu membasahi hati, lebih deras dari gerimis yang memaksa kami beranjak pergi. Aku masih mencintaimu, semoga damai dan segala kebaikan memelukmu.
~Din, enam belas tahun silam.~[]
DZ. 31122020
Dhilaziya, Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker kata