Dilema Delima
Oleh : Respati
Terbaik ke-19 TL16
“Aku tahu Dimas anakmu, Mas. Tapi–“
“Tapi aku kangen dia.”
Kangen, adalah kata kunci bagi Mas Danen untuk meminta izin menemui Dimas. Aku hanya bergeming melihatnya keluar rumah dan pulang lima jam kemudian. Setelah seharian dia bersama Dimas, air mukanya berisi senyum.
Aku benci! Aku mengira ini hanya akal-akalan Danti supaya bisa bertemu Mas Danen, mantan suaminya, dengan menggunakan Dimas sebagai senjatanya.
“Aku mau ketemu Dimas, bukan Danti,” ucapnya sebelum kami mulai berdebat.
“Halah, ketemu anaknya pasti ketemu ibunya juga,” sindirku.
“Ya, itu logis. Dimas tinggal dengan Danti, ibunya.”
“Urus saja pemindahan hak walinya, biar kamu nggak perlu lagi ketemu si Danti!”
Mas Danen menghela napasnya. Ada sepotong diam sebelum dia menjawab.
“Berapa kali harus aku jelaskan? Perjanjiannya Dimas tetap dengan Danti.”
Dasar licik! Dengan begitu, Danti bisa memanfaatkan Dimas untuk bertemu Mas Danen. Aku menggeram pendek, ternyata pernikahannya dengan pria ini tak sebahagia perkiraannya. Dalam ingatannya, sebulan lalu saja Mas Danen sudah tiga kali meminta izin bertemu Dimas. Aku kesal karena waktunya–yang seharusnya milikku–terampas oleh anak tiga tahun itu.
“Makanya ayok ikut, biar kamu nggak selalu curiga.”
Api amarah mendidihkan nadiku ketika Sarah—sahabatku—mengirimkan foto Mas Danen bersama Dimas dan ibunya. Aku bertambah marah, saat teleponku diabaikannya. Mas Danen sengaja mematikan ponselnya setelah aku berulang kali menghubunginya.
Sesampainya di rumah, aku meradang dan menangis histeris melihat senyum dan tawa mereka bertiga di foto. Aku benci keakraban mereka setelah resmi berpisah. Aku kesal dengan perempuan bernama Danti itu. Aku iri mereka punya kesempatan jalan bertiga.
“Sudah marahnya?” tanya Mas Danen kemudian.
Mas Danen memberiku kecupan di pipi, lalu beranjak tidur. Pria itu meninggalkan aku yang masih terisak, dia tidak membujukku, tidak meredam cemburuku, dia juga tidak peduli seandainya aku merajuk dan pulang ke rumah Ibu seperti bulan lalu.
Setelah tiga hari aku pulang ke rumah Ibu, Mas Danen mengirimkan pesan:
Sudah tiga hari, udahan marahnya. Aku jemput nanti malam. Dandan yang cantik, ya.
Setelah itu, aku pun melupakan marah dan cemburuku. Terganti oleh perhatian dan kasih sayangnya padaku. Namun, itu tak berlangsung lama. Akhir minggu pertama bulan ini, Mas Danen kembali menghabiskan harinya bersama Dimas, mengajak anaknya itu mengunjungi mal baru di selatan kota.
Aku marah? Sudah pasti. Apalagi Sarah memergokinya lagi. Foto-foto itu menceritakan semua hal tentang mereka bertiga.
“Foto itu tidak menceritakan apa-apa, Ma. Jangan kamu simpulkan berlebihan. Kamu juga harus ingat, Dimas itu anaknya. Nggak ada mantan anak. Coba kalau kamu di posisi suamimu. Saat kamu kangen anak kamu dan suamimu melarang, gimana rasanya?”
Aku terdiam. “Aku nggak tahu,” jawabku tercekat.
Buru-buru Tania memelukku erat, sambil berbisik, “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ….”
***
Terdengar jelas di telingaku, gelak riuh kedua laki-laki yang saling berkejaran, bersama canda keduanya. Aku memperhatikan kedua laki-laki yang masih saling mengejar. Si pria dewasa dengan kemeja digulung sesikunya, tiba-tiba jatuh tersungkur karena kelelahan mengejar pria kecil itu. Pria kecil itu berhenti, dia berbalik arah. Dia melihat sang pria dewasa terjatuh. Dengan polosnya dia berteriak.
“Ayah!Ayah kenapa?”
“Kaki Ayah sakit, Nak.” Aksi dramanya dimulai demi mendapat perhatian si pria kecil.
“Mana yang sakit, Yah?” tanyanya polos. Tangan mungilnya lalu memijat kaki pria yang dipanggilnya Ayah tadi.
Si ayah mengatur napasnya yang memburu setelah lelah berlarian.
“Tarik napas, Yah. Ayah mau minum?”
Kembali si Ayah mengangguk. Pria kecil itu menghampiriku dan meminta air mineral di tanganku. Dengan sigap, dia berlari menghampiri si Ayah dan memberinya air mineral itu.
Sore itu, adalah sore pertama kami bertemu setelah aku dan ayahnya bercerai. Bukan perkara mudah menyanggupi hidup hanya berdua dengan Dimas—si pria kecilku itu. Bukan gampang pula ketika aku memilih bercerai setelah aku memberi izin Mas Danen menikahi Delima, adikku, atas dasar “tanggung jawab”.
“Bunda! Airnya habis sama Ayah. Kita beli lagi, yuk, Bun,” celotehannya membuyarkan lamunan yang telah menarikku pada sebuah masa sulit.
“Sudah sore, Nak. Kita pulang, yuk.”
Dimas mengangguk. “Yah, kita ketemu lagi minggu depan, ya,” pintanya. Permintaan polos Dimas mungkin akan sulit terwujud mengingat minggu ini mereka sudah bertemu. Mustahil Delima mengizinkannya lagi.
“Kita telponan, ya. Nanti Ayah kabari lagi.”
Tidak ada pembahasan selain tentang Dimas setiap aku bertemu Mas Danen. Aku selalu meminta pendapatnya tentang kebutuhan Dimas juga tentang sekolahnya. Mas Danen tidak banyak protes dengan pilihanku. Dia mempercayakan semuanya kepadaku. Aku juga selalu berusaha memberi yang terbaik untuk masa depan Dimas.
Sebenarnya, tanpa bantuan finansial dari Mas Danen, aku masih bisa. Aku memiliki beberapa toko batik peninggalan orangtuaku. Untuk Dimas, apa pun akan aku lakukan. Seperti menentukan sekolah Dimas yang uang pangkalnya sepuluh kali lipat sekolah negeri.
“Jangan ditolak. Kalian masih tanggung jawabku. Paling tidak untuk Dimas. Itu janjiku sendiri sebelum kita pisah.”
“Aku nggak mau ada salah paham dengan Delima,” jawabku.
Ada senyum hambar tergambar di wajahnya.
“Dia urusanku. Nggak perlu khawatir.”
Aku menunduk, memperhatikan lantai taman yang mulai retak.
“Jangan batasi aku dengan anakku sendiri, juga kamu.”
***
Tiupan angin lembut menerbangkan ujung hijabku sore itu. Aku hanya memandang kosong kumpulan air tanpa riak. Tenang. Barangkali ini juga bisa menggambarkan hati manusia. Kita tidak pernah menyangka, di balik ketenangannya ada gejolak.
Delima masih diam sejak sepuluh menit lalu aku datang. Aku duduk di bangku taman yang biasa aku, Dimas, dan Mas Danen datangi. Tidak ada sepatah kata pun yang bertukar. Aku biarkan waktu lenyap tanpa bicara.
Dengan ekor mataku, aku melihat dia mengeluarkan sebuah amplop dari tas kecilnya. Gerakan berikutnya dia memberikannya kepadaku.
“Ini, Mbak.”
Aku menoleh ke arahnya sebentar, sebelum mengalihkan mataku pada kertas putih dengan kop sebuah kantor pemerintah. Aku membukanya perlahan.
“Awalnya aku pilih Kutai, di ibu kota baru itu mungkin karier Mas Danen akan semakin baik. Selain berlainan pulau, akses bertemu Dimas dan Mbak juga akan berkurang, bukan?”
Dalam diam aku tersentak. Ternyata ini surat mutasi Mas Danen. Setelah tiga kali weekend-nya direbut Dimas, dia meneleponku. Suaranya membuat telingaku berdenging.
“Mbak! Cukup, ya, Mbak.”
“Maksud kamu apa?”
“Nggak usah sok polos, Mbak. Berhenti memanfaatkan Dimas untuk bertemu Mas Danen!”
“Masih ini masalah kamu? Setelah kamu ambil ayahnya, kamu juga mau merampas perhatian ayah sama anaknya. Begitu?”
“Kamu harusnya tahu diri, Mbak. Sekarang Mas Danen itu suamiku. Aku berhak membatasi dengan siapa dia berhubungan, termasuk dengan anaknya sendiri!”
“Nggak usah diajari, aku juga tahu batas itu, Ma. Dimas masih terlalu kecil untuk paham perceraian ayah bundanya. Biarkan dia memahami sendiri mengapa ayahnya hanya punya waktu terbatas untuknya. Bahwa dia akhirnya tahu, sekarang ayahnya tinggal dengan tantenya, bukan dengan bundanya. Begitu dia remaja, dia akan membuat batas sendiri dengan ayahnya.”
Delima tidak membantah setelah itu. Tidak ada lagi teleponnya yang penuh amarah setiap minggu, kecuali teleponnya kemarin. Begitu ramah dia mengajakku bertemu di taman ini.
“Aku minta maaf, Mbak. Aku mungkin sudah keterlaluan bersikap selama ini. Tapi … aku juga ingin ketenangan. A-aku nggak tahan setiap Minggu mendengar rencana-rencana Mas Danen bertemu Dimas. Aku bisa gila, Mbak!”
Aku mendengarkan ceritanya. Bukan pertama kalinya Delima mengeluhkan hal yang sama. Masalah yang sama. Aku masih menatap air danau yang tiba-tiba beriak setelah kedua pria itu melempar kerikil ke dalamnya. Lihatlah apa yang mereka perbuat. Mereka berhasil membuat gelombang pada permukaan air danau.
“Aku dilema, Mbak. Aku tahu Dimas anak Mas Danen. Tapi … apa salah aku membuat batasan supaya aku juga merasa diperhatikan?”
Delima menarik kursi rodanya menghadapku. Kini aku bisa melihat dengan jelas raut wajahnya. Aku menarik pandanganku darinya, beralih pada selembar kertas yang sedari tadi kupegang.
Nama: Danendra, M.H.
Tempat tugas: Konsulat Republik Indonesia di Tawau, Malaysia.(*)
Airmolek, 15 Agustus 2020.
Respati, perempuan gemini yang menyukai dunia lain.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata