Die Alive
Oleh: Devin
Terbaik ke-6 Tantangan Lokit 7
Io sudah mati—Ai mengulangi itu berkali-kali sampai terbawa mimpi. Kabar burung mengatakan ia mati menabrak batas dirinya sendiri; lainnya berkata ia menimbun diri dalam nestapa hingga lupa cara bernapas.
Ketika kabar itu sampai, Ai tengah merombak ulang jemari salah seorang pasiennya yang sempat dijadikan alat untuk menyakiti diri sendiri. Tidak ada yang berbeda hari itu. Ruangan putih minim perabotan miliknya masih juga menguarkan atmosfer kematian serta keputusasaan yang pekat, jadi ia nyaris tidak menyadari bahwa warta yang masuk ponselnya adalah sebuah fakta: Io sudah mati ditindas renjana.
Ia sendiri tidak merasakan apa-apa. Tidak menangis, cuma melanjutkan merombak jemari penuh bekas sayatan. Barangkali, itu karena ia terlampau kerap berjibaku dengan kematian atau bahkan lantaran perjumpaannya dengan Io yang serupa dengan kematian itu sendiri.
Io tidak berbeda dengan kebanyakan pengunjung rumah mungilnya. Ia berperawakan tinggi besar. Senyumnya kentara optimis. Dalam kaca mata wanita normal, ia pastilah membuat banyak wanita jatuh cinta, andai saja memiliki kepaduan yang apik antara kulit cokelat dengan rambut mencoloknya. Namun, seperti kebanyakan manusia lain, Ai tahu bussiness man di hadapannya memendam sebuah luka.
“Coretan Anda bagus. Artistik. Mengapa tidak jadi seniman?”
Io tertawa hingga guci pertahanannya retak. “Kebutuhan lebih penting daripada apa yang kita sukai.” Setelah Io mengatakan hal itu, seketika saja sanseviera di sudut ruangan layu, nyaris mati. Mungkin, terlalu mendalami kisah Io, seorang genius yang mesti menumbalkan diri demi menyelamatkan perusahaan keluarganya dari kebangkrutan dengan menikahi Tuan Putri yang punya sistem imun tubuh rendah. “Orangtuaku butuh uang. Keluarga mereka butuh peliharaan. Itu korelasi yang hebat, ‘kan?”
Mereka hidup damai-damai saja. Io pintar berpura-pura sampai ia meraih posisi tertinggi dan dikarunia seorang malaikat. Ia diberitakan di mana-mana sebagai salah satu eksekutif yang sukses di bidang pekerjaan serta keluarga. Akan tetapi, setelah beberapa tahun, hatinya masih juga memendam dendam. Tipikal pengagum subjektivitas.
“Mengesalkan juga ketika kau dipaksa mengerjakan apa yang tidak kausukai; menuruti permintaan orangtuamu agar tidak kehilangan sponsor terbesar; bahkan menggadaikan kisah romansamu demi ‘kebahagiaan orang lain.” Io mengacak surai mencoloknya. “Kalau ini sinema televisi, aku pasti sudah melampiaskannya pada Ao dan memintanya buat diam, tetapi aku manusia rasional. Kau tidak bisa marah pada perempuan yang sedang sakit. Tidak akan bisa.”
“Oleh karena itu, Anda memilih membunuh diri Anda sendiri.”
Io tidak menjawab. Maniknya meredup. Ai menggerakkan jemarinya, menggenggam tangan Io yang ternyata cukup lembut. “Tidak apa-apa sesekali menjadi diri sendiri. Tangan ini bisa menyembuhkan Anda berkali-kali.” Sanseviera di sudut ruangan kembali bernapas ketika dua manik berbeda warna itu bertumbukan. “Anda berhasil hidup sampai sekarang, jadi seharusnya semua akan baik-baik saja.”
Saat itu, Ai hanya bertugas mengobati, sedangkan Io mesti diobati—bersama campur tangan takdir, hubungan mereka berkembang lebih intens. Beberapa minggu sekali, Io datang ke kubah putih Ai untuk berkonsultasi, menceritakan depresi atas displacemenet yang ia alami. Makin lama, makin sering. Setiap Io memiliki masalah atau ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berontak, ia bakal pergi ke sana, menyesap teh chamomile yang selalu Ai siapkan. Meninggalkan Ao yang mulai bertanya keberadaan Io lantaran mendapati tempat tidur sang suami diisi kehampaan.
Io ingin egois setelah sekian lama. Ia hanya ingin menggenggam tangan Ai. Ia hanya ingin pelukan Ai untuk menenangkan tremornya akibat sesuatu yang tidak ia mengerti. Ia hanya ingin Ai mengusap rambutnya dan mengatakan beberapa motivasi yang sering-sering terdengar acuh sekaligus bermakna.
Io hanya ingin mengabaikan keluarga cerewetnya serta Ao, meninggalkan pasokan kasih sayang yang mesti ia sumbangkan pada Tuan Putri. Io hanya ingin Ai, Ai, dan Ai, sebagai narkoba atas semua masalahnya … penyembuhnya, alasannya untuk hidup.
Lantas, pada satu waktu, ia tersadar dari mimpi.
“Hei,” panggil Io ketika ia demam di rumah Ai, “kau tidak merasa aku sangat berengsek?” Ai meletakkan baskom dan handuk kecilnya. “Datang padamu saat butuh … padahal aku punya ‘obat’ lain di rumah. Kau tentunya tahu aku bukan pria yang pantas untuk dikasihani. Iya, ‘kan?”
Ai terdiam. Atmosfer rumahnya menjadi gelap.
Ia membuka mulut, “Kau suka anyelir—saking sukanya, kau memilih memasangnya sebagai ‘background’ ponsel daripada fotomu dengan Alienna. Kau suka kopi, tetapi tidak suka efeknya yang membuatmu insomnia, sebab itu membuatmu berpikir hal-hal yang menyebalkan saat malam hari. Kau tidak tahan dingin, karena itu selalu menekankan berlapis pakaian hangat bahkan saat musim gugur.” Manik Io mengarah ke atas dengan lemah, berusaha mencerna maksud perkataan Ai. “Kau sering menggambar di buku jurnalmu—pernah menggambar wanita telanjang juga, iya, ‘kan? Ah, kau juga sangat suka menceritakan Ui sampai aku khawatir kau seorang daughter-complex sekaligus pedofil.”
“Kau dianugerahi kontur wajah lembut, ramah … karena itu tidak ada yang tahu kau menderita.”
“Karena itu, jangan berpikir kau menggunakanku sebagai obat … sebab pada dasarnya aku adalah penyembuh, iya, ‘kan?”
Io memalingkan wajah. Menatap langit-langit. Memejamkan mata, lalu tertawa. “Kau benar. Jadi, apakah itu tawaran untuk selalu lari padamu tiap aku ada masalah?”
Ai tidak tertawa. Dunia terlalu luas untuk meloloskan satu-dua tawanya.
*
Io sudah mati—dan butuh waktu lama bagi Ai untuk beranjak dari ruangan berbau lili itu, membaur bersama kerumunan berbaju gelap. Di ruangan berdinding kayu mengilap yang dihias dengan lili putih, ia melihat gadis berambut legam yang acap Io ceritakan, tengah menangis memeluk seorang perempuan bertubuh ringkih. Ai mengeja nama keduanya dalam hati—Ui dan Ao—sebelum menyapa, “Saya teman baiknya.”
Ao tersenyum, mempersilakan Ai memberikan penghormatan terakhir.
Setelah itu, Tuan Putri mengajaknya serta Ui ke ruangan yang lebih sepi. Ia menyuguhkan teh chamomile sembari berkata, “Io suka teh ini. Menyedihkan sekali saat tahu saya tidak akan membuat teh ini di sore hari, seperti dulu.”
“Ya, Io memang suka chamomile. Namun, akan lebih baik kalau sesekali Anda membuatkannya kopi agar ia begadang dan kalian bisa berbicara banyak hal di malam hari.”
Jeda sejenak. Mereka berpandangan.
Ah, bukankah sangat lucu ketika menyadari kau tahu lebih banyak daripada keluarganya sendiri?
Ui menggamit lengan Ai. Bocah berusia delapan tahun itu memandang Ai dengan mata bulatnya yang menyerupai tokoh ‘anime’—persis seperti yang Io ceritakan—lalu bertanya dengan terisak, “Apa … apa Papa mengeluhkan Ui yang suka berulah? Apa Papa pergi karena marah pada Ui? Tante teman Papa, ‘kan?”
Ai memandang sang gadis cengeng. “Ui anak baik. Papamu selalu bercerita bahwa kau sering mengitari rumah untuk bertanya pada orang-orang. Kau suka menanyakan kekurangan dirinu sendiri pada mereka. Itu bagus, tetapi ada saatnya kau mendengarkan kata hatimu.”
Tangis Ui nyaris pecah, membuat Ao merengkuhnya seketika. Dengan bergetar, ia bertanya, “Apa … yang Io ceritakan tentangku? Tentang ‘keluarganya’?”
Ai memandangkan lorong di rumah duka yang kembali penuh oleh orang-orang. “Katanya, dia mencintai kalian dan dapat melakukan apa saja untuk kebahagiaan kalian.”
Termasuk mengorbankan kebahagiaannya sendiri. (*)
Ponorogo, 8 Oktober 2018
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata