Diceritakan Angin: Tentang Kota yang Hancur

Diceritakan Angin: Tentang Kota yang Hancur

Diceritakan angin:

Jam di kamarnya terus berdetik, jantungnya terus berdetak. Malam makin larut, orang-orang mulai menyelimuti dirinya masing-masing. Namun ia masih di beranda itu, sendirian dan berhitung: 1, 2, 3, 4 … berkali-kali. Cahaya merah itu masih berkedip-kedip dari kejauhan.

Angin berembus menyibak poninya yang sudah panjang melewati mata namun ia tak peduli, ia bersandar di balkon sambil memerhatikan cahaya merah yang berkedip-kedip dari kejauhan. Saat itu sudah pukul sepuluh malam.

Ia merasa tetes air mengalir dari pelupuk matanya, yang kemudian menjelma sungai. Wajah seseorang muncul dalam pikirannya kala itu. Ia ingat masa-masa ketika pertama kali kau mengetuk pintu. Ketika kau belajar menari. Ketika kau membaca puisi keras-keras. Ketika kau merengek ini itu. Dan seterusnya sampai ketika terakhir kalinya ia melihatmu dari dekat. Ia peluk kau ketika kalian sama berduka.

Kesedihan itu juga akan berlalu, Sayang. Ada yang bilang ia seperti sungai. Kita tidak akan menemukan air yang sama ketika kaki kita mencelup di sana. Air itu hanya singgah sedetik dan tinggal sebagai kenangan—yang suatu hari pun akan hilang.

Kenangan yang baru akan mengusir yang lama. Tak ubahnya fail dalam komputer. Fail baru akan muncul dalam recent file. Ketika datang satu yang baru, satu yang lama akan hilang, begitulah seterusnya.

Pada suatu malam, kota yang kalian tinggali  hancur oleh gempa bumi. Banyak yang mengatakan bahwa ini adalah kutukan, sebab di kota kalian tidak pernah terjadi gempa dengan kekuatan yang sehebat itu. Kota kalian tidak berada pada zona pertemuan lempeng dan tidak pula dekat dengan gunung berapi. Andaipun terasa getaran, sebabnya adalah gempa yang terjadi di kota lain yang berkilo-kilometer jauhnya.

Para wartawan dari TV ramai meliput; orang-orang berompi datang membawa dus-dus makanan instan dan mendirikan tenda-tenda. Tiba-tiba saja kota kalian menjadi terlalu ramai, terlalu diperhatikan dan terlalu menyedihkan.

Wajahmu yang terekam dalam ingatannya, bolak balik di pikiran seperti ombak. Ketabahan dan kekuatannya ternyata hanyalah benteng-benteng yang ia bangun dari pasir. Luluh lantak dengan mudahnya.

Bagaimanapun kau harus mengingatku lagi kelak ketika melihat rembulan, hujan, senja, mendengarkan lagu atau menemukan album foto lama secara tidak sengaja. Seperti beberapa fail yang akan muncul di recent files. Dan barangkali kau akan mulai menangis tatkala mengingatku kembali. Tidak apa. Sungguh aku berharap menjadi kenangan yang seperti itu. Kenangan yang tidak pernah pergi dari pikiranmu, tidak pernah hilang dari daftar fail terakhirmu.

Ia sudah tidak lagi menatap cahaya merah di kejauhan itu. Kini ia duduk termenung sembari memeluk kakinya sendiri. Lama ia bertahan pada posisi itu. Cahaya merah, angin, anak-anak tangga dan orang-orang masih sama—diam. Tidak ada suara dan tak ada yang mendengarkan. Satu-satunya suara yang mengusiknya datang dalam pikirannya sendiri.

Makanya kubilang, jangan mencintai orang lain melebihi cintamu kepada dirimu sendiri. Sebab orang lain dapat pergi kapan pun, tetapi dirimu tidak. Selepas kepergian, kau hanya akan merasa hampa, kosong, tercampakkan dan remuk seperti gelas-gelas air mineral yang tergeletak di samping tong sampah.

Sebagian dari dirinya percaya dan sudah menasihatinya beratus-ratus kali. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk mencintai seseorang. Ia pikir mencintai adalah sumber dari hasrat hidup. Apalah artinya kehidupan tanpa mencintai dan dicintai. Seperti apa yang dikatakan seorang penulis Jepang yang ia kagumi, orang-orang belajar mencintai dirinya dengan mencintai dan dicintai orang lain.

Tidak lama setelah mereka memulihkan kota, dinas sosial membawamu untuk menemui orang tua asuh. Kau bocah laki-laki yang masih dua belas tahun. Dan mereka pun membawamu pergi. Namun di dalam pikirannya, mereka telah memaksamu pergi. Tentu saja membawa dan memaksa sangatlah berbeda. Seumpama jarak antara dasar laut dan puncak gunung.

Hidup harus terus dijalani, kau harus bahagia, segetir apa pun perasaanmu ketika itu. Kau harus kuat, kau harus bertahan, selemah apa pun daya juangmu yang tersisa. Karena kita tak punya banyak pilihan, selain terus berpura-pura.

Pada hari kepergianmu, ia sungguh ingin berjumpa dan mengatakannya. Namun kau tidak menghampirinya. Tidak memberikannya ruang untuk perpisahan yang semestinya. Saat itu kau tidak menyadari bahwa ia ada di dekatmu. Tahukah kau bahwa itu menyakitinya. Ia mengingat adegan dalam Life of Pi. Ia ingat betapa sedihnya ia ketika Pi ditinggalkan oleh seekor harimau—yang telah menemaninya menyeberang samudera—tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hal yang paling menyedihkan adalah tidak adanya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal—dialog Pi yang paling ia sukai.

Baca juga:
Bagian ke-2 (Aku Bulan dan Kau Awan)

Setidaknya, seperti Pi kepada harimau, ia juga ingin berterima kasih kepadamu. Tanpa kehadiranmu setahun yang lalu, ia barangkali sudah mengiris urat nadinya—setidaknya itulah yang sering dipikirkannya waktu itu. Kuliah dan kehidupan sosial yang gagal, kedua orang tua yang tidak peduli, tidak ada tujuan, dan tidak ada keinginan. Ia telah “mati sebelum mati”.

Ia ingin berterima kasih padamu yang sudah memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana cara menikmati hidup—ketika ia hampir melupakan bahwa dirinya masih ada di dunia ini. Ia ingin berterima kasih padamu yang sudah mengajarkan cara bersyukur—ketika ia selalu merutuki diri. Ia ingin memberitahumu bahwa energi kanak-kanakmu itu telah menyembuhkan kesedihannya. Bahwa tanpa kehadiranmu setahun silam, ia tidak tahu apakah dapat bertahan hingga sekarang. Karenanya ia menyayangimu. Tetapi kau tidak pernah memberinya kesempatan. Kau hanya pergi begitu saja.

Bagaimanapun, kau dulu pernah berjanji bahwa tidak ada yang akan berubah. Orang-orang di sekeliling kalian meyakinkan bahwa melihat akrabnya hubungan kalian berdua, kalian seperti tidak dapat dipisahkan oleh apapun, tidak akan ada yang dapat berubah  walau apapun yang terjadi.

Namun belakangan ini ia merasa bahwa kau selalu mengabaikan kehadirannya. Bukan hanya kau, semua orang tidak dapat lagi menyadari kehadirannya.

Aku tahu tanpa kau dan mereka perlu memberi tahu. Pada setiap perpisahan, sering akan menjadi kadang-kadang, kadang-kadang akan menjadi tidak ada lagi waktu. Aku sedih karena sudah mengetahuinya, memikirkan dirimu ribuan kali sehari dan menyadari betapa sedikit–jarak dapat mengubah banyak hal. Ya, aku takut bahwa aku tidak akan melihatmu lagi, bahwa aku akan tergantikan.

Ia menyadari ketakutan terbesarnya ketika mencintai seseorang adalah kenyataan bahwa ternyata cinta yang ia punya bukanlah cinta yang seseorang itu butuhkan. Di dalam pikirannya ia bertanya-tanya apakah kau marah padanya? Tetapi kenapa? Apakah mereka membawamu karena usianya yang belum cukup untuk menjadi wali asuh? Apakah karena ia belum berpenghasilan? Apakah kau juga berpikir demikian? Ia bahkan memang tidak punya cukup uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia akui itu. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berputar-putar di pikirannya sendiri. Tidak peduli sebesar apa pun ia mencintaimu, kau memang lebih membutuhkan mereka.

Kini kota telah pulih. Orang-orang baru mulai meramaikan, memerhatikan sementara yang membangunnya telah pergi. Namun ia yang duduk balkon, yang memerhatikan cahaya merah yang berkedip-kedip dari kejauhan, masih tertinggal sebagai kota yang hancur lebur.

Tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Cahaya merah, tangga, dan orang-orang yang telah lelap di balik selimut. Sementara ia selalu di sana sepanjang malam, memperhatikan awan-awan yang belakangan selalu tampak seksi di pikirannya. Ia pernah mengatakannya padamu malam itu bahwa awan-awannya berpendar. Sangat cantik kelihatannya. Namun kau tidak pernah dapat menemukan awan-awan yang seksi itu di belahan langit mana pun.

Tidak ada yang tahu sebab terjadinya gempa itu. Orang-orang yang mempedulikannya pun semakin berkurang. Yang ia tahu hanyalah, ia datang begitu tiba-tiba dan menghancurkan—tak ubahnya kepergianmu.

Andai kau pada waktu itu menghampirinya, untuk mengucapkan perpisahan. Sekadar mengucapkan kata-kata yang menguatkan, sambil menitikkan air mata dan berpelukan. Barangkali ia akan lebih mudah merelakanmu pergi dan kau tidak perlu menangis sendirian—seperti yang didengarnya dari orang-orang.

Andai ia menyadari mengapa kau dan semua orang mengabaikan kehadirannya. Andai ia menerima semua tanda-tanda yang menunjukkan ketidakberadaannya itu. Ia barangkali tak perlu meratap sendirian di beranda itu.

Bukan salahmu, bukan salahnya. Sebab kau dan ia memang sudah tidak lagi hidup di dunia yang sama. Kau tidak bisa menemuinya pun sebaliknya, karena ia mati pada hari terjadinya gempa itu.(*)

*)Terinspirasi dari kisah yang dialami penulis.

Bagian ke-2 (Aku Bulan dan Kau Awan)
Bagian ke-3 (Diary Ibu Bumi)

Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Halaman FB kami.

Leave a Reply