Dibagikan Akal Sehat secara Cuma-cuma
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Suatu hari yang amat gaduh, Lamron meminta bertemu denganku. Intonasinya riang, khas seorang Lamron, dan kali ini pun kuputuskan menyanggupi ajakan tersebut untuk kembali mendengar ide usaha naifnya, “Aku akan membagikan akal sehat secara cuma-cuma!”
Aku tersentak. Terjungkal. Keterkejutanku menarik atensi orang-orang. Aku dapat melihat beberapa Pedagang Kabar Burung mulai bergerak, menyebarkan beberapa spekulasi aneh yang entah kenapa selalu dipercaya masyarakat. Aku abaikan saja hal itu dan kembali menatap Lamron—yang justru kentara bahagia melihatku terkejut setengah mati—lalu menegaskan pernyataannya barusan, “Kau mau membagikan akal sehat? Membagikan? Lamron, apa sekarang kau ingin beralih profesi menjadi dermawan sungguhan?”
Lamron tertawa, memamerkan deretan gigi putihnya, sedangkan aku lagi-lagi memijit pelipis, mengumpati sifat naif kawan masa kecilku itu.
Sebenarnya, ide bisnis macam itu bukan sekali-dua kali kudengar darinya. Sepanjang karier sebagai pedagang, ia selalu menawarkan produk yang berbeda ketimbang kawan bisnisnya yang lain. Contoh saja, ketika Kenaikan Jabatan menjadi produk paling dicari abad ini, dia justru menjual Kebahagiaan; saat Berita Hoaks mengalami lonjakan permintaan, ia justru mulai berdagang Rasionalitas; kala Kekuatan dibeli besar-besaran atas nama keadilan dan sesuatu yang mesti diperjuangkan, ia dengan polosnya meluncurkan produk Kasih Sayang. Yah, itu berdampak positif pada banyak hal, sih, meski beberapa pihak acap mengecapnya sebagai orang yang mengeruk keuntungan besar dengan kedok kemanusiaan. Akan tetapi, berdagang tentu berbeda artinya dengan memberi. Terlebih, apa yang ia berikan merupakan sesuatu yang sangat sensitif bagi masyarakat.
Aku mengacak rambut, lalu menghardiknya yang tersenyum jenaka, “Jangan bilang kau melakukannya karena kota kita sedang kehilangan akal sehat secara besar-besaran?”
“Nah, kau tahu sendiri alasannya.”
Aku menggelengkan kepala. “Lamron, Lamron!”
“Tapi, kau pun juga setuju kalau keadaan seperti ini tidak bisa diteruskan, ‘kan?” balasnya tenang.
Aku menatap iris arangnya yang kentara mantap, lantas menghela napas.
Mengesampingkan segala pikiran serta justifikasi perihal betapa naifnya sahabat di depanku, aku mesti mengakui bahwa kota kami memang berada dalam kondisi siaga satu. Kondisi ini berawal pada dua-tiga tahun lalu, ketika kepolisian menerima banyak sekali laporan kehilangan Akal Sehat yang, entah kenapa, mayoritas justru dilaporkan oleh orang terdekat para korban. Mereka, para pelapor, mengaku melihat korban yang terus mengatakan hal-hal aneh hingga mulut berbuih dan mata memutih setelah bangun tidur, menonton televisi, atau berselancar di dunia maya. Seperti mendengar radio rusak yang siarannya membuat telinga berdenging, tambah para pelapor ketakutan, lantas, beberapa minggu kemudian, kota kami seketika digemparkan oleh bebunyian serupa dari arah barat daya.
Kejadian itu memicu kepanikan massal, menyadarkan kepolisian akan kasus luar biasa yang tengah mereka hadapi. Berbagai cara dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut, mulai dari melarang peredaran Berita Hoaks—yang ditengarai merupakan salah satu penyebab terbesar kejadian ini—hingga memasukkan para korban ke Klinik Jiwa. Kini, frekuensi laporan kehilangan Akal Sehat telah berkurang drastis ketimbang tahun pertama kasus tersebut merebak di kota kami. Akan tetapi, kekacauan tetap terjadi—justru makin besar—dan itu menimbulkan spekulasi bahwa persentase masyarakat yang kehilangan Akal Sehat masih berada dalam tahap waspada. Ini tentu saja buruk. Berita terbaru mengabarkan penurunan penanaman saham oleh para investor akibat kegilaan masyarakat.
“Iya, sih,” kataku akhirnya, “tapi Akal Sehat merupakan produk langka, ‘kan? Kudengar, ia sama langkanya dengan Rasionalitas—yang merupakan salah satu dagangan termahalmu. Jadi, di mana kau menemukannya? Lalu, masalah modal?”
“Yah, aku mendatangkannya dari luar kota. Dan, sesuai perkataanmu, nominalnya sangat besar, melebihi harga Rasionalitas. Tapi, memang itu yang harus kita bayar untuk sebuah kewarasan dan perdamaian, ‘kan?” Lamron memperhatikan permukaan kopi hitamnya seraya tersenyum tipis.
Kala itu, tanpa mengira-ngira pun aku sudah tahu apa yang tengah ia pikirkan: sesuatu seputar kebajikan dan bagaimana mengubah dunia menjadi lebih baik. Yah, isi kepalanya memang seidealis itu. Aku sendiri, sebagai teman masa kecilnya, sudah hafal alur semacam itu dan selalu memperhatikan ekspresinya tiap melihat kebobrokan yang terjadi di kota kami. Lamron tidak lahir di keluarga yang sepenuhnya bersih—dia mengakuinya—tetapi hatinya tumbuh bersih tanpa disangka. Ia sering mendiskusikan masalah manusiawi ini denganku, beserta ide bisnisnya yang didasari hal serupa, dan tidak ada kata-katanya yang berakhir sebagai omong kosong. Lamron selalu melakukan apa yang dia katakan, apa pun yang terjadi.
Aku sendiri sempat meragukan jiwa bisnisnya yang teramat putih itu. Namun, setelah beberapa puluh tahun berlalu dan ia masih baik-baik saja, justru berkembang menjadi Pedagang Kemanusiaan, kupikir tidak ada salahnya membiarkan Lamron dengan sekian ide naifnya. Toh, laranganku tidak pernah dia dengarkan.
Akan tetapi, pertanyaannya, sampai kapan niat baiknya itu diterima dengan baik pula oleh masyarakat?
“Akal Sehat itu akan kubagikan dengan jumlah yang sedikit, pada awalnya. Kalau memang prospeknya baik—dan seharusnya memang baik—aku akan mendapat subsidi dari Pemerintah.”
“Hei, aku tidak mau sok tahu, tapi apa kau benar-benar sudah memikirkan hal ini?” Lamron hendak membalas, yang lekas kusela, “Bukan pada apakah Pemerintah betulan memberikan subsidi padamu, tetapi tanggapan masyarakat. Kau tahu, mungkin saja ini berbeda dengan ketika kau menjual Rasionalitas. Mungkin saja masyarakat tidak terima dan beranggapan bahwa kau telah merendahkan mereka … maksudku, ini Akal Sehat, dan membagikannya secara cuma-cuma sama saja mengatakan bahwa mereka telah gila.”
Aku menahan tubuh dengan kedua tangan. “Coba pikirkan. Kenapa kegilaan tetap merebak padahal sedikit laporan yang masuk ke kepolisian? Apa kau tidak memikirkan kemungkinan bahwa masyarakat memang baik-baik saja dengan kondisi seperti ini?”
Lamron tersenyum.
“Ketika kecil, saat tahu hujan belum juga turun meski telah menginjak bulan November, akankah kau gelisah, memikirkan kemungkinan ada yang salah dengan iklim kita? Akankah kita memikirkan keterkaitannya dengan air yang semakin keruh, pepohonan yang kian jarang, atau gedung-gedung pencakar langit di mana-mana?” Ia memainkan bibir cangkir kopi. “Jawabannya tentu saja belum. Karena apa? Karena ketidaktahuan kita. Pada dasarnya, kita cuma makhluk yang tidak tahu apa-apa, dan ketidaktahuan itu yang menuntun kita pada sikap abai. Pasif. Sama seperti masyarakat yang sekarang.”Aku mengurut kening sambil mendengarkan perkataannya. “Tapi, apakah kita menolak saat diberi Pengetahuan secara gratis? Apa kita merasa direndahkan saat orang lain memberikan Pengetahuan secara cuma-cuma? Tidak, ‘kan?”
Lamron menengadah. “Orang-orang hanya tidak sadar bahwa mereka telah kehilangan sesuatu, sama seperti ketika mereka terkontaminasi Berita Hoaks dan melupakan Rasionalitas. Ini permasalahan yang sama dengan produk berbeda. Itu saja.”
“Tapi, semisal kita kehilangan sesuatu yang berharga—anggaplah Kenaikan Jabatan kita hilang, kita tentu akan melaporkannya, ‘kan? Dan, kalau sampai tidak ada laporan, bukankah berarti masyarakat memang menganggap Akal Sehat sebagai sesuatu yang remeh, yang tidak berharga?”
“Ketika kita membeli Kenaikan Jabatan atau Kekuatan, kita bisa saja kehilangan Kebahagiaan atau Kasih Sayang. Tapi, apakah kita melaporkannya? Apakah kita sepenuhnya sadar bahwa kita tidak bahagia, bahwa kasih sayang kita berkurang setengahnya? Kita baru bisa terbangun, mengetahui bahwa kita membutuhkannya, saat produk itu benar-benar nyata, ‘kan?”
Aku mengepalkan tangan, lantas mendengus kesal. “Dasar, kau ini!”
Lamron lagi-lagi tertawa jenaka, persis yang dilakukannya ketika aku mulai kehilangan kontrol, mengamuk. “Aku akan memikirkan hal ini, tapi aku sendiri percaya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau kehilangan Akal Sehat mereka. Dan, aku akan membantu mereka mendapatkan hal itu kembali.”
Aku menatap Lamron lekat. Lamron balik menatapku teduh. Mengetahui hal itu, aku menghela napas, mengatur gejolak serta sekian umpatanku.
Ada beberapa menit terlewat hingga aku menengadah, mengalah. Kusarankan beberapa hal agar usahanya cukup lancar serta beberapa pertanyaan retoris tentang siapakah dia untuk melakukan hal ini. Lamron lagi-lagi memasang muka positif sehingga aku mesti berkata, “Lamron, dengar … aku tahu bahwa kau orang baik. Terlalu baik, malah. Tapi, kau juga harus tahu bahwa dunia luar itu keras. Niat baik saja tidak menjamin kau akan diterima di masyarakat. Kau tetap harus hati-hati, oke?”
Pertemuan kami berakhir begitu saja. Aku pulang melewati kawasan dengan orang-orang yang kehilangan Akal Sehat mereka. Ide Lamron kembali terdengar dan aku seketika mengingat masa ketika orang-orang tidak berbicara hingga berbuih sambil merusak beberapa properti publik. Seorang anak kecil berdiri di seberang rumahku, kentara kebingungan lantaran orangtuanya membicarakan perdamaian dan keadilan sejati hingga mengeluarkan ludah. Kuabaikan saja hal itu, berdoa agar kawanku yang naif baik-baik saja.
Beberapa minggu kemudian, aku mendengar berita tentang kawasan barat daya yang memanas akibat pemberian Akal Sehat secara gratis. Sesuai dugaanku, mereka semakin menggila, bahkan menginjak-injak Akal Sehat atas dasar nama penghinaan besar atas umat manusia. Aku sendiri memijit kening, akhirnya, sambil sesekali menolak tawaran dari para Pedagang Kabar Burung.
Kenaifan serta senyum Lamron terbayang, membuatku berpikir, hah, padahal sudah kuperingatkan untuk tidak menawarkan akal sehat kepada orang-orang yang memang sepakat membuang akal sehat mereka. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata