Diary Pelita
Oleh : Siti Nuraliah
Ibu selalu bercerita tentang buruknya tempat ini. Meski sekarang sudah lengang dan tidak lagi sekumuh saat aku belum terlahir. Kata Ibu, dulu di sini tempat pembuangan sampah dari mana-mana. Bagi Ibu, sampah adalah harta karun. Para pemulung sepertinya, berebut datang lebih pagi untuk mengais puing-puing yang mungkin masih bisa dijual kembali. Bahkan Ibu pernah bercerita, beberapa kali para pemulung dibuat kaget saat menemukan bayi dengan ari-arinya yang masih basah tergeletak tidak bernyawa di atas tumpukkan sampah di dalam kardus yang ditutupi kain.
Pernah pula sembilan tahun yang lalu, katanya, saat hari masih gelap, matahari belum menampakkan dirinya, Ibu keluar gubuk lebih pagi dari biasanya. Ia melihat seseorang membawa kotak hitam di tangannya.
“Hei, siapa itu?” Ibu berteriak, kemudian berlari menghampirinya. seorang perempuan belasan tahun tergesa-gesa meletakan benda di tumpukkan sampah. Seperti maling yang ketahuan aksinya, perempuan itu terlihat buru-buru memalingkan wajah dan menutupinya dengan selendang yang dilingkarkan di pundaknya.
Perempuan itu tidak jelas melihat Ibu, tapi Ibu bisa merekam jelas wajah perempuan muda itu. Ia berlari menikung gang dan menghilang di balik dinding tua tempat anak-anak muda berpesta. Ibu penasaran dengan kotak yang dibuang perempuan tadi, lalu Ibu membuka penutupnya.
Bayi perempuan yang masih merah matanya terpejam. Ibu memastikan bayi malang itu masih bernapas. Ia membawanya masuk ke dalam gubuk dan mengutuk perempuan muda yang tega membuangnya.
“Sekarang gimana nasibnya bayi itu, Bu?” Aku bertanya. Sekarang dia sudah besar, katanya.
Di lain waktu, Ibu bercerita tentang buruknya para pejabat yang haus uang. Wakil rakyat yang berebut kursi kekuasaan yang tidak lagi peduli pada rakyat kecil yang telah memilihnya. janji-janji manisnya menguap, mengepul bersama udara. Semuanya diceritakan Ibu agar aku bisa mengambil banyak pelajaran penting.
Di gubuk ini, Ibu mengajariku tentang mengenal siapa yang menciptakan kita dengan bahasa yang sederhana. Aku tahu, Ibu hanya sedikit paham tentang ilmu agama, mengajariku salat dengan bacaan yang dihafalnya meski kadang ia pun masih sering meninggalkannya, dan mengajariku mengeja aksara dari Al-Qur’an yang tidak lagi lengkap halamannya. Katanya lagi, aku harus mencari tahu sendiri selepas nanti lulus sekolah.
Bagiku, itu cukup. Aku bisa belajar dari kerasnya kehidupan. Belajar ikhlas dan sabar yang kata Ibu itu kunci kebahagiaan, hingga lupa rasanya menangis karena mengeluh. Membuatku semangat menyongsong masa depan meski sebagai gadis kecil penjaja asongan.
Hari ini terik, langit bersih tanpa awan. Sinar matahari menyengat kulitku yang kusam. Aku mengusap keringat di dahi dengan tangan. Tapi aku senang, hari minggu dengan cuaca panas seperti ini, itu artinya aku akan mendapat lebih banyak uang, bila biasanya aku berdagang sore hari sepulang sekolah, hari ini bisa lebih lama menjanjakan asongan. Ibu sudah berpesan agar pulang pada saat matahari mulai tenggelam.
Di taman ini, aku berlari dari satu tempat ke tempat lain. Menawarkan berbagai minuman botol dan tisu yang kususun di dalam kardus yang disekat-sekat dan dipotong miring. Kardus ini bekas mi instan yang diambil Ibu dari tumpukkan barang bekas di samping tempat tinggal kami.
Seseorang memanggilku. Aku berlari menghampiri perempuan berkaus longgar dan bercelana training. Tubuhnya wangi, wajah putihnya memerah tersengat panasnya matahari. Ia terseyum menyipitkan mata, kemudian meminta air mineral daganganku.
“Biasa dagang di sekitar sini, ya, Dek?” tanyanya padaku. Sambil menyapukan pandangan ke sekeliling taman. Ia terlihat mengatur napas, aku sibuk mencari kembalian. “Iya, Mba!” jawabku.
Kemudian perempuan ini menahan tanganku yang masih sibuk mencari recehan di dalam tas kecil yang ku-cangkol-kan di pundak kiri. Tidak perlu kembalian, katanya, ia memintaku agar didoakan segera diberi keturunan. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku dengannya terasa sangat akrab. Ia mengajakku mengobrol dan aku merasa punya teman, saat tidak ada seorang pun teman sekolah yang ingin berteman dengan gadis kumal anak seorang pemulung sepertiku. Ia ikut menawarkan daganganku pada setiap orang yang ada di taman itu. Saat aku tanya kenapa ia baik padaku, bibirnya hanya tersenyum, aku menangkap sesuatu yang disembunyikan dari sorot matanya. Dia mengenalkan namanya padaku. Lina.
“Namamu siapa?” ia bertanya.
“Namaku Pelita, Mbak.” jawabku.
Kemudian kami meneruskan perbincangan. Ia bertanya tentang cita-citaku, bertanya tempat tinggalku, dan bertanya mengapa aku mau jadi tukang asongan. Katanya, ia kagum padaku. Saat di mana seusiaku seharusnya masih menikmati indahnya bermain. Aku sudah banyak mengalami pahitnya bertahan hidup dari uang recehan. Lalu ia pamit dan berjanji bertemu lagi.
Matahari mulai turun mengejar barat, kardus asonganku mulai kosong. Aku bergegas menuju rumah, sebelumnya mampir di kios Bu Arum tempatku mengambil barang-barang untuk dijajakan esok hari. Membeli satu liter beras dan dua butir telur.
***
Sore ini, aku kembali bertemu Mbak Lina, dia menawarkan diri mengantarkanku pulang. Setelah setengah hari tadi ia menemaniku berjualan. Katanya, ia sengaja tinggal sementara di daerah sini untuk menenangkan diri. Hidupnya tertekan, pernikahannya selama lima tahun dengan pengusaha kaya tidak membuatnya bahagia. Suaminya menginginkan anak darinya, ia juga mengaku menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa memiliki anak. Itulah sebabnya, ia mulai membiasakan diri pola hidup sehat. Tiba-tiba aku merasa sangat dekat dengannya.
“Kenapa, Mbak mau bercerita sama aku? Padahal kita baru beberapa hari kenal?” tanyaku, kami berjalan bersisian.
“Eggak tahu, ngerasa enak aja ngobrol sama gadis polos sepertimu.” jawabnya, sambil tersenyum. Angin sore meniup anak rambutnya yang terawat.
“Eh, rumah kamu yang mana?”
Ia berjinjit memilih jalan, melewati puing-puing barang bekas. Sesekali mengibaskan tangannya di depan hidung. Aku tahu dia meghirup aroma tidak sedap dari tumpukkan sampah.
“Itu …!”
Aku menunjuk gubuk paling ujung. Ibu masih membereskan botol-botol plastik yang menumpuk di sana. Kami mempercepat langkah.
Aku mencium tangan Ibu, dan Mbak Lina mengulurkan tangan. Ibu masih belum menyambut uluran tangan Mbak Lina. Wajah Ibu berubah, ia memicingkan mata, menatap Mbak Lina dari ujung kaki sampai kepala. Aku tidak mengerti maksud tatapan Ibu. Lama Ibu tertegun memperhatikan wajah Mbak Lina.
“Kamu …?”
Tangan Ibu menunjuk-nunjuk wajah Mbak Lina. Menarik lenganku agar menjauh. Wajah Mbak Lina terlihat bingung.
“Maaf, Bu. Selamat sore, saya Lina.” Mbak Lina sedikit membungkukkan badan sambil menarik kembali tanganya yang lama terulur tanpa disambut oleh Ibu, ia salah tingkah.
“Kamu … perempuan jalang!”
Aku tidak paham maksud Ibu. Kutatap wajah Mbak Lina dan Ibu bergantian. Mbak Lina terlihat kaget, mengerutkan kening. Wajah Ibu terlihat sangat marah, aku takut, memeluk lengan Ibu erat, memintanya tenang.
Kemudian Ibu memintaku masuk, aku menurut. Ibu masih menatap Mbak Lina tajam. Aku mengintip dari balik jendela yang kayunya mulai lapuk dimakan rayap.
“Apa kamu masih ingat beberapa tahun lalu, kamu pernah membuang sesuatu di tempat sampah itu, hah?” Telunjuk Ibu menununjuk entah ke mana.
Dadaku terasa sesak, mataku mulai panas. Aku tidak tahu, tiba-tiba saja merasa takut mendengar keributan. Aku melihat Mbak Lina menutup mulutnya yang menganga, matanya berkaca-kaca.
“Jangan pernah kembali lagi, dan berniat mendekati sesuatu yang sudah kamu buang.” Tubuh Ibu berguncang, menahan amarah.
“Jadi … maksud Ibu … Pelita itu …?” Air mata Mbak Lina terurai membasahi pipinya yang tirus.
Aku mendengar jelas kelanjutan percakapan mereka. Kemudian lututku lemas, aku luruh ke tanah memeluk tiang kayu. Dadaku nyeri menahan tangis. Akhirnya aku kalah, untuk yang kedua kalinya dalam hidup aku menangis. Pertama, saat Bapak meninggal. Kedua, saat akhirnya aku tahu dan paham, bayi yang diambil Ibu sembilan tahun yang lalu itu, adalah aku. (*)
Banjarsari, 10 April 2020
Siti Nuraliah perempuan sederhana punya hobi membaca, suka menulis apa saja yang disebut sebagai puisi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata