Diary Ibu Bumi

Diary Ibu Bumi

“Dia sudah tidur.”

Suamiku merangkul bahuku, mengajakku kembali ke kamar kami.

Sepanjang jalan menuju kamar, aku memegang erat ujung bajunya seraya menghapus sisa-sisa air mataku sendiri dengan menggunakan tangan yang satunya lagi.

Sekembalinya ke tempat tidur, aku masih enggan membaringkan tubuhku. Suamiku pun mengerti apa yang sedang aku pikir dan rasakan. Ia duduk di sebelahku. Untuk beberapa saat kami hanya sama-sama terdiam. Mula-mula hanya suara embusan angin mengetuk-ngetuk daun jendela yang terdengar, lalu suara jam dinding, lalu suara embusan napas kami, lalu suara detak jantung kami sendiri.

“Dia akan baik-baik saja kan?” ujarku memecah keheningan.

Suamiku menatapku dan bibirnya sedikit melengkung seraya mengangguk pelan.

“Ini sudah hari ke berapa….”

Ia merangkulku. Kepalaku bersandar di bahunya.

Air mataku mengalir lagi.

“Mengapa dia belum juga bicara kepada kita?”

“Barangkali dia masih butuh waktu.”

“Berapa lama lagi?”

“Bersabarlah….”

***

“Pagi.”

Ia hanya melihat ke arahku sebentar dan fokus kembali dengan apa yang ia kerjakan saat itu.

“Sudah, tidak perlu dibersihkan mejanya.”

Dia mengangguk.

Dia berhenti mengelap meja dan berlalu tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Dan begitulah setiap hari. Ia selalu menjadi yang pertama bangun dan lalu membersihkan ruang tamu dan dapur. Ia berhenti ketika aku menegurnya namun keesokannya ia kembali melakukan rutinitasnya seperti kemarin.

Sesaat setelah sarapan di meja siap. Aku melihat ia baru turun dari tangga. Seperti biasa ia harus selalu aku panggil dahulu agar menghampiri meja makan. Di meja makan bila ditanya pun ia akan selalu menjawabnya dengan mengangguk dan menggeleng.

“Hari ini mulai sekolah lagi, Nak?”

Ia mengangguk.

“Buku-bukumu sudah siap?

Ia mengangguk lagi.

“Mau makan roti pakai selai cokelat?”

Ia menggeleng.

“Nanti pulangnya mau dijemput sama Ayah atau Ibu?”

Ia tidak menggeleng dan menggangguk melainkan menunjukkan ibu jarinya saja padaku.

Jika sudah demikian, aku berhenti menanyainya. Aku tidak punya lagi bahan untuk berbicara dengannya.

Jika suamiku menanyainya pun sama saja.

“Kamu terlihat lesu. Sakit…?”

Ia menggeleng.

“Kamu mau Ayah bawakan apa untuk makan malam?”

Ia menggeleng lagi.

“Bicaralah, Nak. Tidak apa-apa.”

Ia menggeleng lagi. Lebih pelan dari semua gelengannya.

Melihatnya demikian, ia sama tidak teganya denganku. Akhirnya kami hanya meneruskan makan dalam diam hingga akhirnya ia terlihat beranjak dari tempat duduknya, membereskan piring makannya dan mengambil tasnya. Ia menyalami kami berdua dan pergi juga tanpa mengucapkan apa pun.

Begitu pula ketika sekembalinya ia dari sekolahnya. Ia hanya masuk dan jika berjumpa denganku atau dengan suamiku, ia akan menyalami kami lagi-lagi dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah berganti pakaian, ia biasanya akan turun dan mulai menyapu seluruh ruangan dan setelahnya ia akan mencuci piring-piring yang kotor meskipun tidak pernah diminta meskipun kami telah memintanya berhenti melakukannya sebab di rumah sudah ada asisten rumah tangga yang telah mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Di akhir pekan, aku dan suami sering mengajaknya berlibur ke tempat-tempat wisata. Ia selalu duduk di kursi belakang. Sepanjang perjalanan ia selalu melihat ke luar jendela. Aku selalu memperhatikannya melalui kaca spion dalam mobil yang memantulkan bayangan dirinya. Suamiku menyetel radio untuk memecah keheningan di antara kami.

Tidak peduli ke mana pun kami bepergian, ia selalu mengangguk dan menggeleng pada semua pertanyaan yang kami ajukan. Aku tidak tahu lagi pertanyaan macam apa yang bisa memancingnya bicara.

Karena tidak tahu harus bagaimana lagi, suatu kali aku mencari-cari informasi secara acak di internet dari ponsel tentang bagaimana melakukan pendekatan dengan anak-anak. Beberapa artikel kugulirkan saja karena hampir semuanya serupa dan sudah pernah aku lakukan. Aku mencoba beberapa kata kunci lainnya seperti anak-anak korban gempa, psikologi anak-anak korban bencana alam, depresi pada anak-anak dan sebagainya.

Ada sebuah artikel yang isinya tentang bagaimana mengatasi depresi. Dari semua poin yang dijabarkan penulisnya, ada satu gagasan yang menarik minatku. Ia memberikan gagasan untuk memberikannya diary. Meskipun ini saja bagiku pribadi terdengar menggelikan apalagi jika bagi Bumi—bagaimana mungkin anak laki-laki zaman sekarang disuruh menulis diary. Namun aku memutuskan mengikuti sarannya itu. Dia belum menemukan teman bicara yang tepat baginya maka satu-satunya cara barangkali memang dengan menulis. Jadi, sepulang dari kantor aku menghampiri toko buku dan berusaha memilih-milih sebuah diary yang maskulin—semaskulin mungkin yang bisa kutemui di seantero toko.

Malam itu, aku menghampiri kamarnya. Pintunya terbuka sedikit dan dari celah itu aku melihat dirinya sedang duduk di kursi sedang menatap jauh ke luar jendela. Ia selalu begitu—setiap kali aku memperhatikannya melalui celah pintu di jam-jam seperti sekarang.

“Halo.”

Ia menoleh ke arahku.

Aku duduk di atas kasurnya yang berseprai abu-abu. Ia merapikan tempat tidurnya itu dengan sangat baik.

Ia membetulkan posisi duduknya saat melihatku duduk di atas kasurnya.

“Ibu membelikanmu ini.”

Ia menerima pemberianku dengan sopan. Sekali lagi dengan tanpa mengucapkan apa pun.

“Kamu bisa menuliskan apa pun yang kamu inginkan di buku ini.”

Ia mengangguk.

“Apakah kamu senang menulis?”

Ia diam saja seraya menatapku dengan tatapan yang nyaris kosong ke arahku.

“Apakah aku seharusnya membelikanmu sesuatu yang lain?”

Ia diam saja.

Aku tidak bisa menahan diri untuk meraih bahunya dan menatap kedua matanya yang nyaris kosong itu.

“Kamu bisa mengatakan apa pun kepada Ibu.”

“Kalau perlu apa-apa, minta saja, Nak.”

“Kamu sekarang anak ibu.”

Aku memeluknya sambil tidak bisa menahan derasnya air mata.

Ia masih diam di tempatnya. Ia tidak balik memelukku.

Untuk beberapa saat, hanya isak tangisku saja yang terdengar.

Setelah itu, seraya menghapus air mataku, aku menatapnya sekali lagi, menggenggam kedua lengannya.

“Kamu sekarang anak ibu.”

Ia tidak mengangguk maupun menggeleng.

Sambil menatap lamat-lamat kedua matanya, aku berusaha meyakini bahwa akan ada sesuatu yang lain di kedua matanya itu selain pantulan diriku sendiri.

Aku mencoba menyunggingkan senyuman dan menepuk-nepuk pundaknya lalu berlalu dari hadapannya.

Saat menutup pintu, aku melihat ke arahnya sekali lagi. Ia kembali melihat ke luar jendela. Tangan kananku memegang dadaku yang tiba-tiba saja terasa terikat erat. Ia sudah melalui banyak hal yang berat.

Di depan pintu kamarnya aku duduk bersila sambil mengenang kurang lebih satu bulanan yang lalu, aku dan suami membawa Bumi ke rumah. Setelah sebelumnya kami memutuskan mengadopsi seorang anak karena aku tak kunjung hamil setelah hampir lima tahun menikah. Setelah berkunjung ke berbagai tempat dan masih bimbang tentang siapa yang hendak kami adopsi, kami mendapatkan informasi tentang gempa yang terjadi di kota sebelah. Ada kerabat kami yang sedang bekerja di sana. Jadi, setelah mendengar berita kami bertolak menuju kota itu untuk memastikan bahwa mereka selamat.

Sesampainya di sana, kami menjumpai semua anggota keluarga kerabat dalam keadaan baik-baik saja. Rumah yang ditinggalinya rusak parah. Namun mereka mengatakan akan pindah ke rumah mereka yang dulu lagi di kota lain seminggu setelah kami berkunjung setelah menyelesaikan semua urusan di kota itu.

Selama di pengungsian kerabatku itu, aku membantu sebisaku. Selama beberapa hari di sana ada seorang anak laki-laki yang menarik perhatianku. Ia selalu berada di tempat yang sama kapan pun. Ia duduk sendirian di sebuah gunungan reruntuhan. Aku bertanya pada kerabatku tentang apakah ia mengenal atau paling tidak tahu sesuatu mengenai anak laki-laki itu.

Dari mereka aku mengetahui bahwa anak laki-laki itu bernama Bumi. Dia telah kehilangan seluruh anggota keluarga dan juga teman-temannya. Gunungan reruntuhan yang selalu ia kunjungi itu dulunya adalah sebuah rumah tempat seseorang yang ia panggil kakak. Bukan hanya ia yang memanggilnya kakak namun juga bagi setiap anak-anak di lingkungan itu yang juga adalah teman-teman sepermainannya.

Aku berdiskusi dengan suami tentang anak laki-laki itu dan tidak lama kami akhirnya memutuskan untuk mengadopsinya.

Masih di depan pintu kamar Bumi, aku mendengar langkah kaki suamiku menaiki tangga. Aku segera mengelap air mata dan merapikan diriku sendiri agar ia tidak terlalu cemas padaku. Ia sudah sangat sering menyaksikanku menangis belakangan ini.

***

Suatu pagi, aku merasa sekujur badanku menggigil. Suamiku pergi ke luar kota untuk urusan kantor sejak dua hari yang lalu. Aku hendak meminta izin kepada atasan melalui pesan singkat namun tanganku terlalu lunglai untuk meraih ponsel yang berada di atas meja. Tenggorokanku terasa sangat kering dan pandanganku berkunang-kunang. Aku berada di tengah-tengah antara sadar dan tidak sadar.

Belum ada tanda-tanda kehadiran asisten rumah tanggaku datang ke rumah. Tidak ada suara sedikit pun di luar ruangan. Bumi barangkali sudah berangkat ke sekolah. Dan saat itu aku benar-benar merasa sendirian. Pagi itu terasa kian dingin dan muram.

Sesaat kemudian, pintu kamarku diketuk dan muncul suara berderit ketika pintu dibuka. Kukira ia adalah asisten rumah tanggaku yang hendak membersihkan kamar. Namun mengetuk pintu adalah sesuatu yang tidak biasanya ia lakukan. Atau barangkali ia menyadari bahwa aku sedang berada di rumah bukannya di kantor.

Ketika ia mendekat, samar-samar yang kulihat ternyata adalah Bumi. Apakah ia tidak bersekolah pikirku. Ia menyentuh keningku. Ia menyuapiku air sesendok demi sesendok. Masih dalam keadaan setengah sadar, kudengar ia berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa.

Tunggu … ia bicara?

Aku ingin memeluknya, aku yang ingin berbicara dengannya untuk pertama kalinya, namun aku terlalu lunglai dan itu adalah saat-saat terakhir yang dapat kuingat sebelum semuanya menjadi gelap.(*)

Bagian satu: Diceritakan Angin…
Bagian dua: Aku Bulan dan Kau Awan

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply