Diary
Oleh: Triandira
“Terima kasih,” ucapmu sedikit gugup.
“Ya, sama-sama.”
“Baiklah, aku harus pergi sekarang.”
Aku mengangguk, mempersilakanmu pergi dengan tumpukan buku di tangan. Saat itu untuk pertama kalinya kita bertatap muka dengan jarak yang cukup dekat. Membuatku senang sekaligus bingung harus bersikap seperti apa.
Bagiku yang telah lama mengagumimu, pertemuan kita menjadi hal yang membahagiakan hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin karena itulah aku hanya bisa menatap kepergianmu dengan seuntai senyum di bibir. Sebelum akhirnya menyadari ada yang terlewat di antara kita.
“Tunggu!” teriakku keras. Kau menghentikan langkah, lantas menoleh ke belakang. “Siapa namamu?”
Sambil merapikan rambut yang tertiup angin, kau tersenyum, “Reyna.”
“Aku—”
“Deva?”
Aku terkejut. Bagaimana kau mengetahui namaku? Namun belum sempat pertanyaan itu kulontarkan, kau sudah melangkahkan kaki kembali. Meninggalkanku yang masih termangu dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.
Tak berapa lama kemudian, aku pergi. Berjalan melewati gedung perpustakaan dengan hati berbunga-bunga. Tentu saja, karena sekarang aku sudah tahu kata apa yang akan kuucapkan untuk menyapamu, saat kita kembali bertemu di lain waktu.
“Reyna,” bisikku dalam hati. “Reyna Sasmita.”
Mungkin bukan hal yang sulit bagimu untuk mengetahui namaku, pun sebaliknya. Tapi aku yakin, kau tidak akan pernah menyangka bahwa pertemuan di antara kita bukanlah sebuah kebetulan belaka. Itu… adalah hal yang telah kurencanakan, bahkan jauh dari sekadar yang bisa kau bayangkan.
Setahun yang lalu kita masih menjalani aktivitas seperti biasa. Kau disibukkan dengan berbagai kegiatan di kampus begitu juga diriku. Hanya saja, aku memiliki rutinitas lain yang tidak pernah kau sadari.
Aku selalu memerhatikanmu dari kejauhan. Mengamati setiap gerak-gerikmu ketika kita berada di tempat yang sama namun dalam suasana yang berbeda. Tak jarang aku melihatmu tertawa saat berbincang dengan teman-teman, sedangkan aku hanya bisa tersenyum sendirian sambil terus mengamatimu.
“Kau tidak bosan melakukannya?” tegur Luna, sahabatku.
Semenjak itulah aku mulai memikirkan cara untuk menghentikan kebodohanku. Karena akhirnya aku takkan sanggup memendam perasaan ini lebih lama lagi. Pagi hari ketika kau keluar dari perpustakaan kampus, aku sengaja menghampirimu. Tidak! Lebih tepatnya aku sengaja menabrakmu. Dan apa yang kuharapkan akhirnya terjadi.
Kita berkenalan, lalu kau sering menyapaku saat kita berpapasan. Perlahan tapi pasti, keakraban di antara kita mulai terjalin.
“Aku kira selama ini kau sudah tahu namaku.”
Aku tersenyum geli. Bagaimana mungkin aku tidak mengenal orang yang kusukai, hanya saja aku harus memastikan agar semuanya terlihat normal, bukan? Karena bagaimanapun juga aku sedang mendekati seorang gadis yang telah membuatku tersiksa. Setiap waktu, dan di setiap malamku.
“Kau penyuka fiksi?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Ya.”
“Penggila romance?”
Kau menundukkan kepala dengan senyum yang tersungging di bibir. Terlihat manis hingga aku tidak pernah bosan melihatnya. Tak lama kemudian, kita terhanyut dalam obrolan seputar judul-judul buku yang pernah kau baca. Dan benar saja, kau adalah orang yang memiliki ketertarikan lebih pada bacaan dengan kisah yang romantis.
Melihatmu yang begitu antusias saat bercerita, aku bisa menebak bahwa kau juga menginginkan hal yang sama terjadi di hidupmu—kisah cinta dengan akhir bahagia.
“Tunggulah sebentar lagi dan aku akan mewujudkan impian kita,” bisikku dalam hati. Menatap kepergianmu usai kita berjanji untuk bertemu. Esok lusa, di tempat yang sama.
***
Aku tidak akan menunggu jika kau terlambat datang.
Kalimat yang kemarin lusa kau ucapkan terus saja muncul di benakku. Aku tahu ini adalah hal yang pertama kali kita rencanakan bersama, dan tentu saja aku tidak berniat untuk merusaknya.
“Semoga kau masih di sana,” gumamku dalam hati. Menatap jendela bus yang sudah basah oleh gerimis. Tak sampai dua puluh menit, bus berhenti tepat di sebuah halte yang kutuju. Aku turun, lalu bergegas pergi. Berjalan di tengah-tengah keramaian orang yang berlalu lalang sambil terus mengitarkan pandangan. Namun sosokmu belum juga kutemukan.
Apa kau tahu apa yang kurasakan saat itu?
Seperti orang yang kehilangan arah, aku berjalan mondar-mandir dengan kegelisahan yang semakin menyiksa. Aku takut dengan semua hal yang mungkin saja terjadi setelah aku mengecewakanmu.
Hubungan di antara kita memang baru saja terjalin, tapi apa yang sudah tertanam kuat di hatiku bukanlah hal yang mudah untuk diabaikan. Setelah aku berhasil membuka ruang di hatimu, mana mungkin kubiarkan tertutup begitu saja. Sekalipun kehadiranku belum begitu berarti, tapi kehilanganmu adalah risiko yang paling mengerikan bagiku.
“Reyna…,” bisikku dalam keputusasaan. Sudah cukup lama aku berdiri, berjalan ke sana kemari hanya untuk memastikan bahwa kau masih setia menunggu. Tapi tidak, pada kenyataannya kau memang tak berada di tempat yang sudah kita janjikan.
Tak ingin menyerah, aku mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. Menghubungimu untuk kesekian kalinya seperti saat aku masih duduk di dalam bus tadi. Namun sia-sia. Sesering apa pun aku mencoba, kau tak kunjung mengangkat teleponku.
“Maafkan aku.” Aku berjalan gontai. Menjauh dari tempat yang seharusnya menjadi saksi kebersamaan kita, di bawah rintik hujan dengan penyesalan yang mendalam. Maaf.
***
Aku menghela napas sambil menyunggingkan senyum, rasanya sangat lega usai mendengar ucapanmu. Terlebih saat kau percaya dengan alasan yang kulontarkan barusan—perihal keterlambatanku hingga membuatmu menunggu cukup lama.
“Maafkan aku, ya.” Kau mengangguk pelan sebagai isyarat telah memaafkanku.
“Kemarin sebenarnya aku sedang menunggumu. Tapi, mendadak ada kepentingan yang harus kuselesaikan, jadi—”
“Aku mengerti,” ucapku cepat. Kegagalan kita untuk menghabiskan waktu bersama memang membuatku sedih, tapi senang rasanya bisa melihatmu tersenyum kembali.
Tak lama setelah kau berpamitan untuk menghampiri Meta, tiba-tiba saja Luna datang. Ia mengajakku pergi ke suatu tempat yang belum pernah ia datangi. Merasa khawatir jika ia tersesat, aku menyetujui ajakannya. Mungkin di saat itulah kau mulai menyadari sesuatu. Ada yang membuatmu gelisah, dan aku bisa melihatnya dari sikap yang kau tunjukkan. Kau masih berbincang dengan Meta, tapi pandanganmu terus tertuju padaku dan Luna.
Cemburu?
Aku benar-benar berharap demikian. Karena jika sampai hal itu benar, maka aku sangat bahagia. Bukankah berarti kau menaruh hati padaku?
“Kita berangkat sekarang?” usul Luna. Aku mengangguk, lantas pergi bersamanya. Namun karena cemas, akhirnya aku mengirim pesan singkat padamu begitu sampai di tempat tujuan.
Kau tidak membalas dan aku tidak ambil pusing dengan hal itu. Kupikir kau cukup dewasa untuk mengerti bahwa aku hanya ingin menolong Luna karena kami sudah lama bersahabat. Tapi ternyata aku salah.
Keesokan harinya kau menunjukkan sikap yang berbeda. Aku bisa merasakannya meskipun kau mengatakan hal yang sebaliknya. Bahkan semakin hari kau semakin menjauhiku, benar-benar membuatku frustrasi.
“Baiklah, aku akan mengaturnya nanti.” Aku bergegas menghubungimu setelah Luna bersedia membantuku untuk memperbaiki hubungan di antara kita.
“Terima kasih,” ucapku pada Luna dengan wajah bahagia, sebab tak lama lagi semuanya akan kembali seperti dulu. Kita akan mengukir kisah dengan warna yang lebih indah.
***
Malam itu kau tampak cantik. Gaun merah, sepasang sepatu berhak tinggi dengan warna senada, juga pita kecil yang menghiasi rambut panjangmu, tak luput dari perhatianku. Kita duduk berhadapan. Menikmati makan malam berdua di sebuah restoran yang sudah tak asing lagi bagimu.
“Apa ini tidak berlebihan?” ucapmu di tengah-tengah obrolan kita. Aku menggeleng pelan, memastikan bahwa apa yang kulakukan adalah hal yang tepat. Meski kekhawatiran masih terlihat jelas di wajahmu, tapi aku tahu kau sangat bahagia. Binar matamu yang indah tak dapat menutupi hal itu.
“Aku tidak akan bangkrut hanya karena mengajakmu ke sini,” godaku. Seketika terdengar tawa di antara kita. Untuk bisa menikmati makan malam di restoran ini, aku memang harus merogok kocek cukup dalam. Tapi tidak masalah, jika dengan demikian hubungan kita bisa membaik. Lagi pula, aku juga ingin melakukan hal romantis seperti pasangan kekasih pada umumnya.
Kekasih?
Aku bahkan sudah memikirkan hal itu sejak lama. Dan kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatiku padamu.
“Apa kita bisa memulainya lagi dari awal?” aku memberanikan diri mengucapkannya. Tentu saja karena aku juga tidak ingin mengecewakan Luna. Ia sudah membantuku untuk mengatur pertemuan kita.
Meskipun telah terjadi kesalahpahaman di antara kalian, tapi ia tidak membencimu. Aku pun yakin kau juga berpikir demikian.
“Tidak seharusnya aku berprasangka buruk pada Luna,” sesalmu dengan wajah muram sambil berulang kali meminta maaf padaku.
“Jadi?”
“Iya, aku bersedia.”
Kau tersenyum lebar, dan itu semakin membuatku merasa bahagia. Kita menikmati makan malam dengan hidangan istimewa yang sudah kupesan sambil sesekali bertatapan tanpa banyak bicara. Barulah ketika kau menyadari ada sebuah cincin di gelas minumanmu, aku mengungkapkan perasaanku.
“A—aku tidak,” ucapmu dengan mata berkaca-kaca. “Tidak bisa melakukannya.”
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak saat itu juga. Aku terpatung dengan mulut yang tertutup rapat, sedangkan kau masih duduk sambil menatap cincin itu. Beberapa detik kemudian—saat aku hendak membuka mulut—kau membuatku terkejut.
“Apa aku harus memakainya sendiri?” Aku tersenyum, menghela napas panjang sebelum akhirnya mengambil cincin tersebut lantas memakaikannya di jari manismu.
Ditemani alunan musik romantis, kita mengikat janji berdua. Mengukir kisah sejati dengan cinta di dalam hati.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira
Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita