Dia yang Istimewa

Dia yang Istimewa

Dia yang Istimewa
Oleh : Syania Azahra

Faizal Nerendra. Anak laki-lakiku yang ceria penyuka kartun Doraemon. Dulu ia anak yang aktif sebelum dokter memvonisnya dengan penyakit Japanese encephalitis. Penyakit yang disebarkan oleh gigitan nyamuk ini belum ada obatnya. Gejalanya dari demam dan sakit kepala hingga dapat menyebabkan kejang-kejang hingga koma, dan pada kasus berat bisa berujung kematian. Penderita juga dapat mengalami disabilitas seumur hidup, seperti kejang berulang, kemampuan intelektual menurun hingga ketidakmampuan bicara. Seperti yang diderita anakku.

“Aku tidak gila, Mas,” isakku di saat Mas Andi menyeretku keluar kamar Faizal sesaat setelah ia memergokiku kembali mencoba membungkam wajah anak samata wayang kami. Aku menyayanginya. Ya … aku begitu menyayangi anakku. Maka dari itu tidak akan kubiarkan dia menanggung malu karena ejekan serta bully-an oleh lingkungannya suatu hari nanti karena kekurangan yang ada pada dirinya.

Selain tidak ingin ia merasakan malu karena di-bully, aku juga takut Mas Andi akan menceraikanku atau mencari wanita lain. Mengingat ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang, akan menjadi momok memalukan untuk keluarga besarnya mempunyai keturunan yang cacat.

“Apa namanya kalau tidak gila? Dengan sengaja membekap anak kamu sendiri dengan bantal! Anak kamu! Darah daging kamu sendiri!” teriak Mas Andi sembari mengguncang bahuku.

“Aku tidak gila, Mas.” Tangisku pecah. Luruh badanku ke lantai. Tapi sepertinya Mas Andi sudah tidak lagi perduli denganku. Ia justru masuk ke kamar anakku, menggendongnya keluar dan meninggalkan aku sendiri yang masih menangis.

Malam telah beranjak larut, tapi belum ada tanda-tanda Mas Andi pulang. Ia pergi membawa serta buah hati kami. Rumah kubiarkan gelap tanpa penerangan seperti halnya hidupku sekarang. Orang-orang yang kusayangi satu per satu pergi meninggalkanku.

***

Sinar matahari yang menyusup masuk dan bunyi kokokan ayam tetangga membuatku terbangun. Ternyata semalam aku tertidur di lantai karena kelelahan menangis, dan masih belum beranjak dari depan kamar kami. Aku segera bangun untuk membersihkan diri, dan berniat untuk menyusul anak dan suamiku ke rumah Ibu Mertua. Mereka pasti berada di sana seperti biasa.

Jarak antara rumah kami dan rumah mertua tidak terlalu jauh, jadi masih bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar dua puluh menit. Hari ini cuaca tidak seterik biasanya. Di tengah perjalanan menuju tempat mertua, aku melihat motor yang tidak asing lagi di mataku. Ya … motor itu milik suamiku. Tapi sedang apa dia di toko kacamata itu?

Rasa penasaran yang akhirnya membuatku memutuskan untuk mencari tahu, ada urusan apa suamiku di sini? Di tempat yang notabene adalah tempat mantan kekasihnya dulu. Menurut berita yang santer terdengar, dia baru saja menyandang status janda, suaminya meninggal karena kecelakaan. Ia juga belum mempunyai keturunan.

Melihat senyum suamiku yang telah lama menghilang sejak anak kami sakit, dan sekarang ia bisa tertawa lepas bersama orang yang pernah mengisi masa lalunya. Rasanya seperti ada yang tersayat di dalam sini. Mereka terlihat begitu akrab. Sepertinya ketakutanku akan segera menjadi kenyataan. Mas Andi akan segera menceraikanku dan kembali ke pelukan wanita yang kini sudah berhijrah itu. Apalagi Diana–mantan Mas Andi–kini sudah menjadi orang sukses berkat usaha peninggalan suaminya, sudah pasti mertuaku akan lebih setuju jika anaknya bersanding dengannya dibanding aku yang hanya bisa memberi mereka keturunan yang cacat.

Niat untuk menemui anak dan suamiku kini kuurungkan, aku kembali pulang ke rumah. Dada ini rasanya begitu sesak membayangkan kenyataan yang akan terjadi. Kepala berdenyut-denyut, air mata pun tidak berhenti mengalir sepanjang perjalanan pulang. Suamiku akan menceraikanku.

Sampai di rumah aku segera berlari menuju kamar dan membongkar laci, mengambil foto-foto pernikahanku dengan Mas Andi tiga tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin momen bahagia itu kami rasakan, tatapan penuh cinta darinya, serta kebahagiaan kami saat Faizal Narendra lahir di tengah-tengah kami. Semua bayangan itu seolah berkelebat dalam ingatan. Sanggupkah aku kehilangan semua sumber kebahagiaanku?

Sejak kecil aku begitu akrab dengan kehilangan. Ibuku meninggal saat melahirkanku, ayahku juga mengembuskan napasnya ketika aku duduk di bangku kelas dua SMP. Semenjak itu aku hidup di panti asuhan tanpa saudara karena aku anak tunggal. Akankah kembali kurasakan luka yang telah berkali-kali aku alami?

Merasa tidak sanggup untuk kembali merasakan sakitnya kehilangan, aku kembali mengaduk-aduk laci di meja riasku. Tidak butuh waktu yang lama untuk menemukan benda yang aku cari. Sebuah pisau cutter kecil kini sudah ada di genggaman. Inilah satu-satunya jalan keluar dari semua masalahku. Dengan aku melakukan ini setidaknya tidak akan ada orang yang harus tersakiti. Dengan aku pergi akan memudahkan jalan untuk Mas Andi bersatu kembali dengan mantan kekasihnya.

Dengan keyakinan penuh aku mulai menyayat pergelangan tanganku, darah segar pun mengalir perlahan.

Maafkan Bunda, Nak. Terpaksa harus pergi. Ayahmu sudah tidak menginginkan Bunda ada di sampingnya lagi. Kupeluk erat pigura foto anak semata wayangku. Pandangan semakin lama kian memudar dan perlahan gelap.

***

Ruangan serba putih dengan bau-bauan yang sangat khas. Itulah pertama kali yang kulihat ketika membuka mata. Kepalaku terasa berat, badan pun seolah tak bertenaga. Ada nyeri yang teramat sangat di pergelangan tangan yang membuatku ingat kejadian apa yang terakhir terjadi.

Suara pintu terbuka ketika aku hendak bangun dari tempat tidur dengan sisa tenaga yang ada.

“Aliya, kamu sudah sadar?” Mas Andi langsung menghampiriku saat melihat aku yang sedang berusaha bangun. Ia membantuku duduk dengan menggunakan dua bantal untuk menyanggah punggungku.

“Kenapa aku bisa ada di sini, Mas?” tanyaku pada lelaki yang kini duduk di kursi kecil di samping ranjang.

“Kemarin kamu pingsan dengan simbahan darah dari goresan di tangan,” ucapnya datar tanpa menoleh ke arahku. Dari intonasinya berbicara, aku tau jika Mas Andi sedang menahan amarahnya.

“Kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja?”

“Kamu mau mati? Kamu mau ninggalin aku dan anak kita? Ini bukti dari ucapanmu jika kamu selalu menyayangi kami?”

“Bukankah Mas akan bahagia jika aku pergi?”

“Maksud kamu apa?”

“Aku tahu kamu akan menceraikanku dan akan kembali dengan mantan kekasihmu itu. Aku tau kamu malu punya istri yang hanya bisa memberimu keturunan yang cacat.” Rasa sesak di dada yang telah lama aku pendam akhirnya keluar juga bersama dengan air mata yang sudah tak sanggup lagi aku aku tahan.

“Astagfirullah, dapat dari mana kamu pikiran sekotor itu?” Mas Andi berdiri dari duduknya, kini ia mengguncang bahuku dan menatap intens ke mataku yang masih dalam keadaan menangis.

“Kemarin aku lihat Mas sedang berada di toko Diana. Kalian terlihat begitu begitu bahagia. Bukankah itu artinya Mas akan segera menceraikanku dan kembali dengan dia?” Tangisku semakin pecah membayangkan jika ketakutanku akan segera menjadi kenyataan.

Melihat tubuhku bergetar karena menangis, Mas Andi langsung memelukku. “Sayang, kemarin aku ke toko Diana hanya untuk mengambil kacamata Bapak yang sudah dipesan minggu lalu. tidak ada hubungan apa-apa di antara kami. Aku tidak mungkim menceraikan kamu, dan dengar! Aku sama sekali tidak pernah malu mempunyai istri dan anak seperti kalian,” ucapnya sambil berkali-kali menciumi ujung kepalaku.

Tangisku semakin pecah dalam pelukan suamiku setelah mendengar penjelasannya barusan.

“Sayang, dengar aku. Anak kita tidak cacat, tapi dia istimewa. Kita harus bersyukur karena Tuhan telah menitipkan kepercayaan yang sangat luar biasa kepada kita. Jangan lakukan hal bodoh seperti ini lagi. Bunuh diri, selain perbuatan yang tidak akan diampuni dosanya, juga kami tidak akan sanggup jika kehilangan kamu. Kami butuh kamu. Aku dan anak kita butuh kamu.”

Penjelasan dari Mas Andi cukup membuatku merasa sangat bersalah karena sudah berpikiran negatif sama dia, sampai berani melakukan hal bodoh yang hampir merenggut nyawaku. Semua omongan Mas Andi benar. Anakku tidak cacat, tapi dia istimewa. Tidak semua orang bisa mendapatkan kepercayaan yang begitu luar biasa seperti kami. Terima kasih untuk segala kesabaran, cinta dan kasih sayangmu, Suamiku.

End.

 

Syania Azahra, perempuan penyuka warna hitam dan putih yang lebih suka menikmati waktu sendiri dari pada harus berkumpul di keramaian.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply