Dia Tahu, Bukan karena Tahu
Oleh: Ray Eurus
Hari ini kami kesiangan. Saya ataupun dia, satu pun tak ada yang mendengar suara alarm dari ponsel masing-masing. Kami sama-sama kelelahan belakangan ini. Dia kelelahan dengan lembur di kantor, sementara saya tengah dihadapkan pada fase mengurus bayi—kembali. Meskipun bayi yang saya maksud adalah anak kedua saya dan dia, tetapi kerepotan mengurus bayi tetaplah sama, luar biasa melelahkan.
Saya bergerak dengan hati-hati meninggalkan ranjang, setelah menempelkan sebelah telunjuk ke depan hidung saat dia mengguncang tubuh saya, lalu menunjuk ke jam dinding sebagai isyarat agar saya harus bergegas. Kemunculan gigi susu pertama si nomor dua ini, berhasil membuat saya terjaga sepanjang malam. Bayi yang baru akan genap enam bulan—empat hari lagi—ini, rewelnya bukan main dari kemarin. Sebenarnya, suhu badannya sudah berangsur turun, menyisakan rasa tak nyaman karena belum terbiasa dengan gusinya yang tersayat secara alami dari dalam. Akan tetapi, seperti yang saya katakan sebelumnya tentang mengurus bayi; luar biasa melelahkan.
Suara gemercik air dari dalam kamar mandi menemani kesibukan buru-buru saya di dapur—setelah saya berhasil meloloskan diri dari kamar anak saya. Ya, tadi malam saya sengaja pindah ke kamar anak saya yang pertama—berusia delapan tahun—supaya dia tak terganggu dengan rengekan si kecil. Tadinya saya sudah berhasil menaklukkan monster kecil itu. Kami sudah tertidur pulas di kamar. Namun, setelah dia pulang dari kantor dan masuk ke kamar, tampaknya si kecil agak sedikit terkejut dengan suara pintu yang agak berderit saat dia masuk. Demi menjaga kewarasan bersama, akhirnya saya membawa bayi yang mulai menyanyikan lagu sedih dalam alunan hardcore itu menjauhi ayahnya yang mulai menampakkan wajah penuh tanya kepada saya. Ah, seolah-olah saya tak becus mendiamkan anak saja. Ah, pikiran seperti itu sungguh berhasil menyulut emosi saya.
Saya sudah tak memikirkan cuci muka, gosok gigi, dan menyisir rambut juga memakai krim wajah, seperti yang biasa saya lakukan setiap pagi. Eh, sebenarnya saya sudah lama tak terlalu melakukan rutinitas itu, kecuali mencuci muka dan menggosok gigi setiap pagi, persis setelah bangun tidur. Saya meraih gelas berisi air matang yang tadi sudah saya siapkan di atas meja makan, lalu menenggaknya dua kali. Upaya untuk menyadarkan diri saya sepenuhnya dari kantuk.
“Masih belum matang?” Pertanyaannya cukup mengagetkan saya—yang masih menunggui tahu di atas penggorengan.
“Belum,” jawab saya datar, “siap-siap aja dulu. Sebentar lagi juga ini semua siap,” lanjut saya.
“Ah, gimana bisa cepat siap, kalo kamu cuma pandangin gitu aja. Dibolak-balik, kek, biar cepat matang.” Dia mulai merepet. Dia mulai menyalakan pematik.
“Terlalu banyak minyak terserap, kalo dibolak-balik. Kalo emang sudah cukup matang, saya bakal tahu, kok! Jangan pernah remehkan saya dengan urusan rumah tangga.” Akhirnya saya tersulut. Saya benci dengan kebiasaannya belakangan ini yang mulai mempersoalkan hal-hal remeh di rumah ini. Salah satunya, ya, ini … cara saya menggoreng tahu.
Dia sangat suka makan tahu. Diolah seperti apa pun, dengan apa pun, dia akan melahapnya. Tentu saja, selama olahan tersebut halal. Bahkan, saya selalu mengingat pesannya untuk menyiapkan sarapan dengan olahan tahu ini. Tentu saja dengan olahan yang bervariasi. Kecuali pagi ini, hanya digoreng.
Dia sudah duduk di hadapan meja makan, setelah saya menyeduh kopi susu—kegemarannya yang lain. “Tolong kopinya disiapkan di tempat biasa aja. Biar saya minum di perjalanan,” pintanya sambil memasukkan tahu yang masih menguarkan asap tipis ke dalam mulutnya. Sesekali dia mencolekkan tahunya ke sambal botol yang sudah saya siapkan di dalam piring kecil.
Hampir setiap pagi dia meminta tolong kepada saya untuk mengemas kopi susunya ke dalam wadah kedap udara untuk dibawa ke kantor. Dia sangat mengidolakan kopi susu buatan saya. Tak ada yang pas di lidahnya, kecuali buatan saya. Seperti itulah akunya, saat saya pernah menanyakan; kenapa tak minta buatkan kopi susu di kantor saja?
“Kamu goreng terlalu kering ini,” protesnya saat menyambut wadah kopi susunya dari saya. Saya mengernyit, agak sebal karena dia mulai lagi.
“Ya, harusnya gak usah dimakan aja, kalo gak suka.”
“Ketus banget, sih. Saya gak bilang gak suka. Saya hanya bilang, tahunya terlalu kering. Kamu kan tahu, saya sukanya yang masih agak basah dan cukup berminyak.”
Ya, Tuhan … bantu saya untuk tak menyemburkan napas naga pada lelaki ini. Kenapa, sih, dia tak berhenti komentar saja, dan segera berangkat kerja?
“Ya, udah … gak usah dimakan! Lain kali, cari aja babu khusus yang bisa nyiapkan tahu yang pas sama maumu. Bukan perempuan yang bisa kamu buahi yang merangkap sebagai babu untuk kamu marahi. Seperti saya ini.” Saya begitu muntab. Saya cukup lelah dengan keadaan hidup saya belakangan ini. Saya adalah bom waktu yang siap meledak pada masanya. Dan pagi ini adalah masa itu.
Dia tersentak. Tampak sekali wajahnya terkejut, setelah mendengar muntahan emosi saya. Sementara, saya pun sudah siap menyemburkan ledakan lain untuk menyerangnya.
“Kamu—”
“Mama … Dedek, bangun!” Sulungku berteriak dari dalam kamarnya.
Tanpa pikir panjang, saya berderap menuju kamar si sulung, meninggalkan dia yang entah merasakan apa. Saya segera meraih bayi saya yang menangis sambil tertelungkup di atas tempat tidur. Saya dekap ia, dan menciumi pipi, jidat, dan puncak kepalanya. Tak lupa saya hadiahi ia dengan kata-kata manis, penawar resahnya.
“Maafin Mama, ya, Sayang. Ini nenennya.” Saya segera menyodorkan dada untuk si kecil. Tangisnya segera mereda setelah menerima ASI.
Ada gerimis yang berhasil lolos dari dua pelupuk mata saya setelah si sulung berlalu untuk mengerjakan pinta saya; segera mandi. Saya teramat kesal pada diri sendiri, apalagi dengan dia. Saya marah dan kecewa padanya, sekaligus pada diri sendiri. Saya jengah dengan hubungan kami yang seperti mati rasa ini.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 09:25 malam. Kedua buah hati saya sudah terlelap. Malam ini, saya kembali memilih tidur di kamarnya si sulung.
Setiap detik yang berdetak, tak berhasil mengusir bisikan nista di dalam kepala saya. Bisikan-bisikan untuk kembali melakukan gencatan senjata dengan dia. Segala bentuk kekesalan bermunculan satu per satu di dalam ingatan saya. Bahkan hal-hal yang teramat remeh sekalipun, berhasil masuk dalam daftar tersebut. Saya jadi seperti orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain saja. Yang tidak ada, jadi ada. Yang biasa saja, berubah luar biasa. Yang benar, otomatis menjadi salah.
Semua itu berhasil membuat saya tersiksa di dalam kelelahan. Seharusnya, keadaan seperti ini—anak-anak sudah terlelap—adalah anugerah buat saya. Sebab, saya bisa mengistirahatkan diri lebih awal. Nyatanya, saya justru terjebak dalam kesusahan yang saya buat sendiri. Ah, saya lelah!
Getaran ponsel yang saya letakkan di atas meja belajar si sulung berhasil menjeda omelan saya di dalam hati terhadap semua daftar kesalahan dia. Saya beranjak perlahan dari atas ranjang menuju meja belajar. Sebenarnya saya sudah dapat menduga, bahwa hanya dia yang akan mengirimkan pesan WA di atas jam sembilan malam seperti ini. Malas-malasan saya melihat melalui notifikasi ponsel ini.
Sudah makan, kah? Saya bawa makan. Ada di balik tudung saji.
Apa dia hendak menyuap saya dengan membawakan buah tangan, malam ini? Lagian, kenapa harus mengirimkan pesan, jika dia rupanya sudah berada di rumah? Apa mungkin dia merasa bersalah? Dia tahu?
Cukup lama saya mengabaikan pesannya, tak saya buka sama sekali. Saya justru berselancar pada aplikasi sosial media yang lainnya, untuk mengulur waktu sebelum mencari tahu ke luar sana. Setidaknya, menunggu dia tertidur.
Dua bungkusan berwarna cokelat dengan karet getah menyambut saya ketika saya membuka tudung saji di dapur, setelah lebih kurang setengah jam saya menunggu di kamar—semenjak pesan WA-nya masuk—saya memutuskan untuk ke dapur. Selain karena saya harus ke kamar mandi, saya juga sangat penasaran dengan buah tangan yang dimaksudkan olehnya.
“Itu yang karetnya dua, khusus buat kamu.”
Saya mematung mendengar suara dari belakang punggung. Sial! Dia masih bangun rupanya.
“Hmmm.” Saya mencoba mengacuhkannya.
“Ayo, kita makan. Saya lapar, dari tadi nunggu kamu keluar.” Dia sudah duduk di seberang meja, tempat saya berdiri mematung sambil memegang tudung saji.
“Sudah lama sekali bukan?” Dia memandang lurus langsung ke mata saya. Saya jadi salah tingkah. Apalagi, isi bungkusan yang dia bawa adalah tahu tek-tek, makanan favorit kami.
Saya masih diam mematung saat dia sudah mulai menyuapkan tahu dengan kuah bumbu kacang itu sambil berkata, “Saya tahu, bukan karena tahu, ‘kan, yang bikin kamu kesal banget dengan saya tadi pagi? Kita sama-sama lelah. Maafkan saya, yang kurang tahu-tahu dengan kejenuhan kamu mengurusi saya dan anak-anak. Terima kasih.”[*]
Balikpapan, 20 April 2021.
Bionarasi:
Ray Eurus, salah satu penulis loker kata yang sudah dari kecil gemar sekali mengamati penjual tahu tek-tek saat menggilas kacang tanah dengan ulekan. Perempuan yang sudah dianugerahi lima putra-putri ini, bisa disapa pada akun Facebook: Ray Eurus.
Editor: Inu Yana