Dia dan Perpustakaan-Perpustakaan di Kotanya

Dia dan Perpustakaan-Perpustakaan di Kotanya

Katanya, jika dia harus menulis sesuatu mengenai perpustakaan, maka tulisannya tidaklah hanya berupa selembar dua lembar artikel yang bercerita tentang seberapa banyak koleksi bacaan yang dipunyainya, seberapa kencang koneksi internetnya, seberapa nyaman tempat nongkrongnya atau seberapa segar tanaman hidroponiknya.

Perpustakaan baginya, ah, bagaimana menyebutnya ya….

***

Kartu perpustakaan yang dia punyai pertama kali berwarna oranye berbahan kertas kambing. Dia mengetahuinya dari teman sekelasnya yang sudah lebih dahulu berkunjung. Temannya itu berbaik hati menemaninya mendaftarkan diri menjadi anggota.

Kemudian dia rutin meminjam buku-buku sekali seminggu yang seringnya pergi sendirian berjalan kaki sepulang sekolah pukul setengah dua sejauh kira-kira lima kilometer. Perpustakaan kota yang dia kunjungi berada tidak jauh dari pasar. Jika terus berjalan lagi dia bisa menemukan Lapangan Merdeka yang tidak jauh darinya ada sebuah masjid yang dinamai Masjid Agung—salah satu bangunan yang menjadi ikon kota.

Buku-buku yang dia pinjam tidak semuanya dia ingat, namun sedikit ingatan tentangnya adalah tentang buku-buku manajemen. Waktu itu ayahnya pernah berkata bahwa ia menyukai segala sesuatu tentang “manajemen”. Demi menyenangkan hati ayahnya itu dia meminjam empat buku yang kesemuanya berjudul demikian.

Sepulangnya dari perpustakaan, dia melambaikan empat buku tersebut kepada ayahnya persis bagai melambaikan rapor yang di dalamnya terselip sertifikat perolehan ranking kelas di tangan kiri dan bingkisan di tangan kanan setiap kali akhir semester sekolah. Dan ayahnya menerimanya. Ia menerimanya saja.

Satu-satunya fakta penting yang baru-baru ini disadarinya telah dia lewatkan adalah bagaimana ekspresi ayahnya waktu itu. Entah apakah ia senang ataupun tidak atau barangkali sedang menyesal sudah terlanjur mengatakan menyukai sesuatu yang disebut sebagai “manajemen”, dia tidak tahu. Dia hanya fokus dengan dirinya saja. Namun dia ingat ayahnya membaca buku-buku itu di waktu-waktu luangnya.

Seminggu kemudian seingatnya, dia menanyakan kepada ayahnya apakah dia menyelesaikan bacaannya. Ayahnya bilang tidak. Dia pikir wajar saja. Keempat buku yang dia pinjamkan dengan menggunakan kartu perpustakaannya itu tidaklah setipis komik Petruk.

Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi mengenai perpustakaan yang satu ini selain debu-debu lantainya, koleksi bukunya yang masih minimalis dan pustakawannya yang pelit sekali dengan senyum. Sampai suatu hari seorang teman mengenalkannya dengan perpustakaan yang lain.

Perpustakaan itu juga berada tidak jauh dari pasar. Namun lebih dekat dengan Lapangan Merdeka dan Masjid Agung. Tidak ada lagi kesan tentang debu-debu lantainya, koleksinya sudah tertata rapi di rak-rak yang lumayan lebih banyak daripada perpustakaan yang sebelumnya, ditambah lagi beberapa komputer berinternet gratis. Yah, ia lebih ramah kepada pembaca.

Saat itu dia adalah mahasiswa di salah satu sekolah tinggi.

Saat pertama kali berkunjung ke perpustakaan yang satu ini, dia tiba-tiba saja mengingat perpustakaan yang dia kunjungi semasa sekolah menengah yang berada kira-kira tiga menit perjalanan kaki dari tempat itu. Tentu saja, perpustakaan itu sudah tidak berdiri di sana. Ia sudah menjadi pertokoan yang entah sejak kapan. Dan tidak pula jelas apakah perpustakaan itu dan yang ini adalah perpustakaan yang sama namun dengan perbedaan usia.

Dia biarkan saja pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu mengendap di pikiran. Tidak semua pertanyaan harus ada dan diupayakan jawabannya, pikirnya.

Karena aku ingin tahu dan harus dia lunasi rasa ingin tahuku ini. Maka dia mau tidak mau menceritakan padaku tentang bagaimana dia menghabiskan empat tahun masa kuliahnya dengan perpustakaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengenangnya.

Semasa hidupnya, ia hanya pernah pacaran tiga kali. Bersama tiga orang itu dia mengakui bahwa tidak pernah ada momen jumpa di perpustakan. Namun jika orang lain bertanya tentang kisah asmaranya, entah kenapa dia selalu ingin mengatakan kepada mereka bahwa dia jatuh cinta kepada seorang pria di perpustakaan. Bahwa dia pernah mengagumi pria itu diam-diam dari celah-celah rak buku dan berupaya membuat kesan pertemuan yang tidak disengaja.

Baginya kisah asmara yang ada kaitannya dengan perpustakaan adalah yang terbaik—terdengar sangat dramatis, keren, dan terkesan intelek. Lebih dari itu dia selalu menginginkan seseorang yang mencintai buku-buku seperti bagaimana ia mencintai hal yang sama.

Dia ceritakan bahwa dia pernah menghitung secara cermat jadwal kunjungan pria itu, yakni pada hari Rabu. Dan pada setiap hari Rabu yang sangat dinanti-nantinya itu dia selalu bergegas melajukan motornya hanya demi berjumpa (secara tidak sengaja) barang dua sampai tiga menit di pintu masuk perpustakaan.

Pernah suatu hari ia menunggu seharian di perpustakaan dan harus menelan ludah bahwa nyatanya pria itu tidak lagi datang di hari Rabu. Jika sudah begini, ia memberanikan dirinya untuk mengirimkan sebuah pesan singkat yang terkadang hanya berisikan satu kata: Hi…. Atau pesan yang berisi keterangan waktu: Sore….

Jika pria itu membalasnya, maka balasannya pastilah dengan kata yang sama namun dengan tambahan kata “juga” di belakangnya.

Maka dia akan membalasnya lagi dengan sengaja memberi jeda sekitar semenit.

Apa kabar?

Atau kadang pesan yang lebih panjang yang lebih lugas.

Tadi, aku ke perpustakaan terus ketemu buku bagus. Kamu tidak ke sana?

Lalu dia dan pria itu akan mulai membahas tentang buku-buku yang sedang mereka baca itu. Buku-buku tersebut beragam, mulai dari buku-buku psikologi, fiksi maupun filsafat.

Namun jika pria itu tidak menjawabnya. Maka dia akan mengirimkan pesan lain.

Maaf ya. Aku salah kirim.

Sambil hanya menahan rindunya yang teramat sangat.

Dan kejadian itu terus berulang hingga bertahun-tahun kemudian.

“Apakah itu benar-benar terjadi?” godaku.

“Itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Jadi kebenaran cerita itu tidak ada yang bisa membuktikannya.”

Aku belum mengenalnya saat itu.

Baginya sudah tidak penting lagi apakah kisah asmaranya itu benar-benar terjadi atau tidak. Yang terpenting adalah ada cerita yang dapat dikenangnya di sebuah tempat bernama perpustakaan.

Sekarang, perpustakaan yang aku, dia dan warga kota sering kunjungi berada sekitar tujuh pertokoan dari Lapangan Merdeka ke arah Lubuk Tanjung. Ia lebih megah, lebih bersih, lebih rapi, dan lebih ramah kepada pembaca. Gedungnya berbentuk seperti buku yang terbuka. Pemandangan dari ruang bacanya adalah Bukit Sulap—ikon lain dari kota Lubuklinggau. Di rooftop kami berjumpa untuk pertama kalinya. Dia datang sendirian kala itu dan aku pun demikian.

***

Sudah enam bulan berlalu dan hari ini aku memberanikan diri mengatakan padanya.

“Kelak, ceritakan padaku kisah lain tentang engkau dan perpustakaan. Misalnya saja tentang lelaki terakhir yang kau temui di sana.”

Dan dia hanya tersenyum seraya menarik tanganku menuju altar.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply