Dia

Dia

Dia
Oleh : Reza Agustin
 
Karena semua cinta memiliki kisah tersendiri. Bahkan jika dua hati telah terambat pada jalur masing-masing, mereka akan menemukan cara untuk kembali. Ada binar kehidupan yang terpancar dari Kakek yang layu. Ketika Nenek tak ada, ia akan menceritakan kisah cinta masa mudanya dengan lantang padaku.
 
Tentang seorang dara muda yang pernah merenggut hati Kakek dan tak mengembalikannya lagi. Ah, ia tak pernah membiarkan Nenek ikut menguping. Kakek sendiri amat mafhum kalau Nenek tak sudi mendengar puja puji yang ditujukan untuk kompetitornya. Kompetitor cinta yang menjadi lawan tandingnya memperebutkan cinta Kakek.

Orang-orang akan menyebut bahwa Nenek adalah jawaranya. Seorang juwita yang telah berhasil menjadi istri Kakek. Pernikahan memang akhir dari perebutan takhta. Kala Nenek menyombongkan diri berhasil menjadi istri Kakek, aku menahan diri. Aku tak ingin tertawa terbahak di depan mukanya. Dungu sekali, bukan?
 
Ya, mereka begitu tumpul, berotak pendek. Nenek bukan apa-apanya. Meskipun sudah melahirkan delapan anak dan menghasilkan enam cucu bagi Kakek, nyatanya hati Kakek masih tertambat padanya. Seseorang yang selalu Kakek gambarkan sebagai perempuan berbadan mungil tetapi dianugerahi bibir luar biasa. Kendati tubuhnya kecil, suaranya nyaring bak pengeras suara. Bibir mungilnya tak pernah berhenti mengomel.

“Kakek selalu suka dengan caranya mengomeli Kakek yang suka bolos sekolah. Ya, dia, anak orang berada dan berpendidikan tinggi, makanya dia paling tak suka dengan orang-orang macam Kakek. Sering bolos,” ujar kakek bersemangat, lalu disisipi kekehan kecil.

“Dia cantik, ya? Dara penasaran dia kayak apa,” balasku sembari mengelus jemarinya yang kurus. Nyaris seperti kulit yang membalut tulang.

“Pokoknya dia paling cantik sedunia! Dia punya mata bulat, warna matanya beda sama yang lain. Kalau orang lain matanya cokelat, ‘kan? Nah, kalau matanya warnanya nyaris hitam. Unik dan tidak Kakek temukan pada perempuan lain. Bahkan Nenek yang jelek itu!” Susah payah, dagumu menunjuk seberang pintu. Tempat di mana asap selalu mengebul, dapur tempat Nenek biasanya menghabiskan hari. Barangkali menyesali empat puluh lima tahun hidupnya bersama Kakek. Apa yang bisa ia sombongkan sebenarnya? Hidup bersama nyaris separuh abad, tetapi hati Kakek tetap kokoh mempertahankan sebaris nama pujaan hatinya.

Aku akan terpingkal tiap kali membayangkan wajah cemberut Nenek yang menghitam di depan tungku. Entah ia dongkol pada Kakek atau memang asap dari pembakaran kayu. Toh, aku pun tak terlalu acuh. Aku memang kurang bersahabat dengan Nenek. Pun juga Nenek terhadapku. Wajahku memang lebih cantik darimu, Nek. Kau sudah dimakan waktu, kulit-kulitmu mengendur. Ke mana jejak tubuh sintal yang sering kausebut menarik mata pria-pria haus cinta dulu? Cih! Nyatanya semua kebanggaanmu tak ada yang tersisa jika dihadapkan dengan waktu. Jika tatapanmu semakin mengeras saat melihatku, semakin manis pula Kakek padaku.

“Kamu mirip sama dia, cantik. Mata kamu bulat dan warnanya pekat. Badan kamu juga mungil, hanya saja kamu memang agak tinggi dibandingkan dia. Makanya Kakek selalu merasa dekat sama dia walau orangnya tidak ada di sini,” ujar Kakek seraya membalas genggaman tanganku lemah.

“Emang sekarang dia ke mana, Kek?” tanyaku menimpali.

“Jauh, mungkin ikut suaminya. Kakek tidak tahu pasti. Mungkin Semarang, Palembang, atau malah Merauke.” Ia terkekeh, tetapi gurat sesal masih tersisa di wajahnya. Kendati ada senyuman yang tercetak di wajah, nyatanya Kakek nestapa. Terbayang masa muda yang tak sepenuhnya membawa kenangan indah untuk diingat. Terutama tentang pujaan hatinya.

“Kamu tahu? Dulu Kakek ketemu sama dia di sawah. Dia anak pindahan dari kota, ke mana-mana naik mobil. Kalau tidak naik mobil, dia akan naik delman kalau di desa. Sedangkan Kakek berkubang lumpur di sawah, berjalan mundur menanam padi. Saat itulah Kakek melihatnya pertama kali dan dia cantik. Sangat cantik,” ujar Kakek dengan mata yang berbinar lagi.

“Lebih cantik dari Nenek?”

“Jauh! Kalau dia itu manis dan polos, kalau Nenek terkenal sebagai perempuan murahan di zamannya. Kalau ada laki-laki kaya sedikit, langsung dipepet. Kalau ada tetangga yang punya saudara laki-laki kaya di kota, dia bersikap baik seolah-olah mereka raja. Padahal kalau sama buruh tani atau nelayan miskin, beuh orangnya dingin. Mungkin kalau kata anak zaman sekarang, enggak level!” Ia melafalkan level dengan logat daerah yang kental. Membuatku nyaris tergelak. Setidaknya ia menemukan hal yang menyenangkan jika menyangkut Nenek; mengumbar aibnya.

“Kalau dia gimana orangnya, Kek? Suka deketin siapa aja?” Kembali kualihkan fokus Kakek agar tak mengumpat Nenek. Setelah mengungkap aib Nenek tadi, ia sempat bergumam lama. Selebihnya tak dapat kumengerti, tetapi Kakek jelas sedang mengumpat Nenek dengan bahasa daerah. Sebuah kata yang kukenali sebagai padanan kata dari jalang.

“Aduh, dia pokoknya paling baik. Sama siapa aja mau berteman. Dari tukang batu, buruh tani, juru tulis kelurahan, sampai orang gila aja dia mau berteman. Emang dia orangnya ramah, bahkan sama Kakek yang cuma buruh tani ini.”

Kakek termenung sejenak. Mungkin menggali ingatan lamanya. Mataku memutari kamar Kakek. Tak ada yang istimewa. Kamar dengan dinding kayu khas perdesaan. Hanya ada sebuah ranjang reyot yang ditempati Kakek. Di bawah ranjangnya ada ember dan beberapa gombal berbau pesing. Berarti ember dan gombal-gombal itu adalah satu kesatuan yang menggantikan fungsi toilet bagi Kakek. Ia tak mampu berdiri sejak beberapa minggu silam katanya. Tepat ketika panggilan yang mengabarkan kondisi Kakek memburuk dan tak mampu lagi ditangani secara medis. Ada sebuah foto lama berpigura mengilat di atas meja samping ranjang.

“Itu satu-satunya foto Kakek dengan dia,” ujar Kakek menarik kembali atensiku.

“Tapi di situ ada banyak orang,” sanggahku.

“Kami dulu miskin. Satu-satunya orang yang punya kamera saat itu cuma keluarganya dia. Jadi, pas dia menawari Kakek foto bersama, orang satu rumah ikut foto semua. Itu Kakek yang di tengah sama dia. Kakek yang pakai baju koko kebesaran, itu pun hasil pinjam punya kakaknya. Nah, dia yang cantik pakai gaun putih itu, yang rambutnya dikucir pakai pita.”

Kakek mungkin masih berusia delapan atau sembilan tahun pada saat itu. Ia tersenyum lebar ke kamera sembari mengalungkan lengannya pada sang gadis pujaan. Walau aku tahu, tatapan mendelik pria tua—yang kusimpulkan sebagai ayah Kakek—menegaskan bahwa tindakan Kakek kurang pantas di zamannya. Jika ditotal, semua orang dalam foto itu berjumlah selusin.

“Kakek suka sama dia itu nekat. Dia anak tentara, Kakek buruh tani. Kamu pasti udah bisa tebak gimana kelanjutannya,” Kakek menatapku dengan senyuman miring, “Kakek jelas tidak dapat restu.”

“Tapi Kakek tetap berusaha deketin, ‘kan?”

“Oh, jelas! Kakek selalu memaksa jadi kusir delmannya. Supaya bisa antar dia ke mana-mana. Di situlah cinta kami bersemi, di atas delman.” Ia melengkapi kalimatnya dengan kekehan ringan.

“Romantis, Kek. Kakek gombalin dia juga enggak?” tanyaku sambil menggenggam tangannya lagi. Merasakan betapa kurusnya tubuh renta itu.

“Zaman itu mana ada yang berani menggombal. Nanti malah dikira serius mau melamar. Kakek nyalinya masih ciut, makanya mendekati dia dengan dalih mau ajak jalan-jalan atau mau tanya caranya mengerjakan peer. Bisa ditembak bapaknya, dong kalau Kakek nekat.”

Aku tergelak, aku pun pernah mendengar perkataan yang intinya sama dengan cerita Kakek. Kendati aku mendengarnya dari bibir orang lain. Namun, setidaknya aku tahu bahwa Kakek tak mengada-ada dengan kisah-kisah asmara masa mudanya. Kupikir, panggilan yang menyuruhku datang menjenguk Kakek karena rindu dengan dia hanyalah main-main saja. Mengingat dia juga sedang tak bisa menemui Kakek, maka aku yang harus datang.

Soalnya kamu mirip banget sama dia. Malah kayak kembarannya pas muda.

Hanya karena aku mirip dia.

“Kamu mau tahu kapan Kakek benar-benar nekat?” Kakek kembali menarik atensiku.

“Nekat dalam artian apa, nih?”

“Kakek serius mau melamar dia.”

Perutku seakan dicubit. Senyum Kakek yang terkembang lebar membuatku justru tak kuasa mendengar kelanjutannya. Seperti yang Kakek sebutkan tadi. Aku pun sudah tahu pasti ke mana akhir cerita ini berlabuh.

“Di zaman Kakek waktu itu, tidak lulus SD bukan masalah. Lulus SD sudah bagus, tingkat pendidikan yang lebih tinggi bisa jadi hal paling mewah. Buat keluarga Kakek, menyekolahkan sampai SD saja sudah syukur. Apalagi lanjut. Kamu tahu? Kakek pilih lanjut sekolah, dengan usaha Kakek sendiri. Menabung sedikit demi sedikit imbalan pas jadi kusir delman. Semua keluarga Kakek menentang, tapi Kakek tetap berpegang teguh pada cita-cita Kakek. Biar bisa melamar dia. Yaitu Kakek harus pintar dan berpendidikan tinggi. Nanti baru Kakek bisa dapat pekerjaan yang layak buat lamar dia.” Mata Kakek mengembun saat bercerita.

Aku tahu betul usaha Kakek belajar mati-matian sambil mengumpulkan uang. Itu adalah dongeng yang sering diceritakan padaku kala bocah. Ketika aku malas belajar dan dapat peringkat buncit di kelas. Dongeng tentang seorang buruh tani dan kusir delman yang menyambi sekolah rupanya berhasil memotivasi daripada cubitan Mama atau sabetan gesper Papa. Anak laki-laki bersahaja dalam dongeng itu akhirnya berhasil sekolah tinggi. Lebih tinggi daripada yang kedua orang tuanya bisa bayangkan. Namun, tidak dengan cita-citanya melamar sang gadis pujaan hati.

“Kakek terlalu lama belajar, tahu-tahu ketika pulang dari perguruan tinggi dia sudah menikah. Dengan anak tentara lain pula. Sekarang entah bagaimana kabarnya, sudah puluhan tahun Kakek tidak melihatnya. Setelah menikah, ia diboyong suaminya pergi. Tidak pernah kembali,” pungkas Kakek lantas mengusap air matanya susah payah. Tangannya bergetar, bahkan air matanya tak sepenuhnya tersapu.

“Pasti sedih, ya, Kek.”

“Mana bisa Kakek sedih kalau punya cucu secantik kamu. Kamu mirip dia.”

Aku tersenyum kecut, ada kebenaran yang tertahan di ujung lidah. Urung kuucapkan. Menatap wajah damainya membuatku enggan berkata jujur. Justru tangannya kugenggam kian erat.

***

“Terima kasih Mbak Juwita sudah bersedia datang ke sini. Kalau Mbak Juwita enggak ke sini, pasti Bapak saya sudah enggak mau dibawa pulang ke rumah.” Pria yang mengenakan songkok dan sarung itu menyeruput kopi instan miliknya. Beliau yang menghubungiku beberapa minggu yang lalu.

“Iya, Pak tak apa-apa. Saya justru senang bisa sempat ke sini. Tempat Oma saya menghabiskan masa remajanya,” balasku sambil tersenyum.

“Kalau bukan karena saya mengenali wajah Mbak Juwita mirip sama teman Bapak, mungkin Bapak akan menghabiskan waktunya lebih lama di rumah sakit. Menanti sampai beliau dijenguk teman Bapak itu,” imbuhnya.

Pria itu adalah anak tertua Kakek. Kami sempat bertemu di Perpusnas kala itu. Ketika itu beliau menjadi wakil desa yang beruntung bertemu dengan Presiden di Perpusnas dalam rangka perayaan ulang tahun Perpusnas. Aku ada di sana sebagai panitia. Dari sanalah ia mengenali wajahku yang terlampau mirip dengan dia, Omaku.

“Mungkin ini terdengar sedikit tak sopan buat Bapak, tapi saya senang karena setidaknya ada seorang pria yang mencintai Oma saya dengan tulus. Tidak seperti Opa saya yang menikahi Nenek demi kenaikan jabatan dan akhirnya meninggalkan Oma setelah mendapat apa yang ia mau,” ujarku lagi. Cangkir teh di genggamanku bergoyang perlahan. Tubuhku agak bergetar membayangkan Oma. Tangis kecil itu pun lolos.

“Lho, ada apa Mbak Juwita?” tanya putra Kakek panik.

“Oma saya pun sekarang dalam kondisi yang tak jauh berbeda dengan Kakek. Minggu ini kami sekeluarga sepakat melepas alat-alat medis yang menopang tubuh Oma selama ini,” ungkapku nanar. Ingatan tentang tubuh kurus Oma di atas ranjang rumah sakit terlihat tiba-tiba.

“Saya turut berduka cita, Mbak.”

Hari itu, aku memutuskan pulang. Tak lupa membawa kabar baik bahwa kondisi Kakek membaik. Syukur kupanjatkan. Keluarga Kakek menganggapku sebagai pengganti obat mujarab—terkecuali Nenek yang merupakan istri Kakek, wajahnya menampakkan cemburu—. Ah, seandainya Oma yang datang, mungkin Kakek akan melompat dari ranjang dan memeluknya erat. Seandainya. Biarkan saja harapan itu membumbung tinggi. Namun jatuh karena kubiarkan harapan tumbuh setinggi langit. Sore itu panggilan itu datang lagi.

“Mbak Juwita, Bapak baru saja meninggal.”

Aku tak kunjung menjawab. Bibirku pun bungkam, jika terbuka hanya akan membiarkan isak tangis kembali mewarnai penghujung hari. Di bangku rumah sakit. Di depan kamar inap Oma. Tepat setelah Dokter menyatakan beliau tiada.(*)


 
Reza Agustin, pecinta kucing dan penggemar fiksi
 

Leave a Reply