Dia
Oleh: Veronica Za
“Mau sampai kapan kamu menunggu? Apa kamu tak lelah?” tanya Kiev saat kakinya sudah menginjak lantai yang terbuat dari papan kayu jati. Ia terlihat jengah melihat sahabatnya itu berbaring sembari memejamkan mata.
“Tidak!” jawab pemuda itu acuh.
Kiev hanya menggeleng tak mengerti akan jalan pikiran Leon yang kekanakkan. Coba bayangkan, seorang pemuda tujuh belas tahun yang seharusnya mulai menjalin perasaan pada lawan jenisnya itu malah setia menunggu seseorang yang tak jelas. Dia menunggu seorang gadis berkulit pucat yang ia temui tujuh tahun lalu.
“Mungkin dia akan datang jika aku berada dalam keadaan seperti waktu itu. Bagaimana menurutmu, Kiev?” Leon bertanya dengan wajah yang semringahnya ketika sudah duduk berhadapan. Kiev langsung menjawabnya dengan pelototan.
“Kamu sudah gila, ya?”
Kiev mengembuskan napas berat mencoba bersabar dengan tingkah sahabatnya itu. Mana mungkin ia mengizinkan Leon kembali berada di posisi berbahaya. Tujuh tahun lalu, sudah cukup baginya merasakan ketakutan luar biasa. Takut akan kehilangan Leon yang sempat koma selama beberapa minggu.
“Lupakan saja dia! Sudah saatnya kamu bangun dari semua imajinasi tentang dia.”
“Tidak akan pernah!” sahut Leon dengan senyum yang tak ia mengerti.
***
Seorang bocah berusia sepuluh tahun tampak berjingkrak-jingkrak saat melihat sang ayah menginjakkan kaki di tanah. Pria paruh baya itu baru saja turun dari pohon besar di belakang rumahnya. Di atas sana, sebuah rumah pohon berukuran mungil.
“Terima kasih, Ayah!” ucap Leon kecil seraya memeluk erat ayahnya.
“Hati-hati saat kamu di atas sana.”
Leon mengangguk antusias. Dengan penuh semangat, Leon memanjat tangga yang membawanya ke rumah pohon itu. Matanya berbinar melihat sekeliling rumah pohon itu. Dengan ketinggian yang terbilang lumayan itu, Leon menatap ke arah langit yang terbentang luas nan biru.
Hampir setiap hari sepulang sekolah, Leon naik ke rumah pohonnya itu. Ia betah sekali berada di sana. Ia membawa semua tugasnya untuk ia kerjakan, bahkan terkadang ia bermalam di atas sana. Keluarga Leon hampir kehilangan moment kebersamaan bersama puteranya.
Ayahnya merasa menyesal membuatkan rumah pohon itu dan berniat menghancurkannya. Namun layaknya orang hilang akal, Leon menangis meraung dan memohon untuk tak menghancurkannya. Sang ayah hanya bisa tergugu menatapnya dengan penyesalan juga kesedihan.
Hingga suatu hari, ibunya Leon berinisiatif mengajak Kiev—sahabat Leon sejak TK—untuk menemani puteranya bermain di atas sana. Awalnya Kiev menolak lantaran sahabatnya itu telah berubah. Leon sudah jarang bermain dengan teman-teman di sekolah, bahkan terkesan menutup diri. Akhirnya Kiev luluh setelah melihat bujukan yang disertai air maat dari wajah tua wanita itu.
“Leon … Leon!” panggil Kiev dari bawah pohon. Kepalanya mendongak menunggu jawaban dari Leon yang sudah berada di dalam rumah pohon itu.
Tak lama, wajah Leon menyembul kemudian menatap Kiev yang tersenyum. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. Dia bukan lagi Leon yang dulu selalu bermain bersamanya.
“Sedang apa kamu di sana?” tanya Leon dingin.
“Boleh aku naik ke sana? Aku juga ingin bemain,” seru Kiev penuh harap.
“Tidak! Tidak boleh!”
“Kenapa?”
“Pokoknya tidak boleh! Pulang saja sana!” Leon terlihat tak suka jika ada yang mengganggu kegiatannya di atas sana. Ia menarik kembali kepalanya dan menghilang di balik lantai kayu itu.
Kiev penasaran. Ia tak mengindahkan larangan Leon. Ia mulai menaiki anak tangga satu demi satu secara perlahan, berharap Leon tak mendengar kedatangannya. Sayangnya gagal. Leon menatap sinis Kiev yang hampir mancapai puncak.
Dengan satu hentakan kakinya yang terjulur di tangga berniat menendang kepala Kiev, tapi dengan sigap bocah itu mengelak. Limbung akibat tendangannya yang meleset, Leon hampir saja terjatuh jika saja tangannya tak bertumpu pada lantai kayu itu. Alhasil, Leon kini bergelayut dengan sorot mata tak bersahabat.
Kiev yang sempat tercengang, mencoba membantunya untuk mencapai tangga. Leon mengelak dan mengayunkan kakinya, berusaha sendiri. Nahas, pegangannya terlepas dan Leon jatuh membentur batu besar di bagian kepalanya.
Kiev terkesiap melihatnya. Sontak ia berteriak memanggil bantuan. Orangtua Leon yang histeris kemudian membawa puteranya ke rumah sakit. Tinggallah Kiev yang termenung mencoba mencerna kejadian tragis ini. Ia berharap Leon akan baik-baik saja.
Kiev menatap nanar rumah pohon itu dari bawah. Meski ia merasa bersalah pada Leon tapi ia ingin mengetahui penyebab perubahan sikap pada sahabatnya itu.
Kiev heran saat melihat isi ruangan itu. Tak ada yang spesial hingga membuat Leon melarangnya naik. Hanya kertas yang bertebaran di sembarang tempat dan penuh dengan warna yang berbeda. Gambarnya pun tak berbentuk.
Kiev yang masih penasaran terus berputar-putar mencari petunjuk. Matanya tertuju pada satu gambar yang terpasang di sudut ruangan. Gambar seorang gadis dengan sayap putih dan rambut yang tergerai panjang mirip malaikat atau lebih tepatnya peri yang biasa terdapat di negeri dongeng.
***
“Apa yang akan kamu lakukan jika kamu bertemu dia?” tanya Kiev yang masih berusaha menyadarkan sang sahabat.
“Entahlah!” jawab Leon sembari mengedikkan bahu.
Sejak kejadian itu, perlahan Leon kembali menjadi sosok yang ceria. Hanya saja, ia tak pernah melewatkan satu hari pun untuk berkunjung ke rumah pohon ini. Ia juga sudah tak melarang Kiev untuk ikut bersamanya. Menunggu. Entah apa yang ia tunggu.
Tiba-tiba Leon menyunggingkan senyuman yang tak terdefinisikan ke arah pohon yang ada di hadapannya. Mata Leon membulat. Tak lama kemudian bibirnya berucap tanpa suara, “Kenapa lama sekali? Aku merindukanmu!”(*)
THE END
Tangerang, 23 Juli 2018
Veronica Za, wanita yang hobi membaca dan mencoba menuangkan ide-ide absurd-nya melalui tulisan. Bisa dihubungi melalui :
Fb/IG : Veronica Za
WP : VeronicaZa7
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita