Di Ujung Tanduk

Di Ujung Tanduk

Di Ujung Tanduk

Oleh    : Ning Kurniati

Aku putus asa menghadapi dia. Perasaanku sudah mencapai titik kulminasi, lelah dengan semuanya. Kalau dihitung ini adalah cekcok ke 9879. Sungguh aku terperangah melihat angka itu di buku. Rasa-rasanya baru kemarin kami bertemu, tapi ya, Tuhan kenapa kami seperti kucing dan tikus, padahal dulunya kami adalah sepasang kupu-kupu yang beterbangan dari bunga ke bunga. Mengenaskan!

Hentakan keras, pintu terayun tertutup. Aku terperanjat sebentar, betapa waktu bisa mengubah manusia yang dulunya lembut menjadi sebrutal preman pasar. Oh, hampir saja aku lupa dia memang datangnya dari pasar, tempat di mana kebohongan merajalela dari lapak satu ke lapak di sampingnya.

Kembali kutatap buku yang terbuka di pahaku. Di lembaran ini jelas terinci waktu dan apa yang kami permasalahkan. Banyak yang berulang, seperti kejadian di tanggal 22 Oktober, sebelumnya ada di tanggal 15 Agustus, 22 April, 3 Januari, 11 Desember. Ada banyak yang tidak terselesaikan, malah kian hari kian bertambah dan rupa-rupanya kami sudah kliyengan, tidak sanggup lagi, kami berada di ujung perpisahan.

Sama sepertinya, aku meninggalkan rumah. Kususuri jalanan dengan berjalan kaki. Semua lapak makanan yang menarik kusinggahi, hingga perutku serasa akan meletus, bernapas pun sulit, berdiri tidak enak, duduk juga tidak ada bedanya. Mungkin berguling-guling menyenangkan, aku meracau lagi.

*

Dia bilang, aku berubah tidak lagi seperti orang yang duluya dia kenal. Aku sering keluar tidak jelas, tujuanku tidak jelas, pulang tidak jelas, katanya aku bukan lagi manusia, tapi monster penghisap darah, tidak punya hati, tidak bermoral. Manusia sampah!

Ingin sekali aku menamparnya, bisa-bisanya dia bilang begitu. Kalau aku manusia sampah, berarti dia juga manusia sampah, karena dua orang yang bersama itu karena ada persamaan yang mendasar, cocok, sekufu kata orang-orang. Sekufu tidak diartikan dalam derajat harta dan gelar, melainkan sepemahaman (sekarang ini).

Dia beranjak, membuka laci di meja riasnya dan mengeluarkan sebuah buku. Buku catatan pertengkaran. Dia membuka halaman terakhir dan bilang, kami cekcok ke 9879 hari ini.

*

Tidak ada bunyi burung, tidak ada bunyi alarm, hanya ada bunyi mesin kendaraan. Kurasa saat ini aku terkapar di lantai, dingin menembus kulitku, dan sepertinya sebentar lagi ingus akan keluar-masuk di hidung sialan ini. Ini malam, pagi atau sudah siang, tidak ada tanda-tanda yang bisa dicerna, kegelapan menyeliputi.

Aku membuka mata dan mengedarkan pandangan, setelah mengerti ada di mana, aku berdiri lalu menuju kamar. Dia bahkan tidak pulang. Memutuskan rebahan di lantai ruang tamu adalah kesia-siaan, kebodohan, dan kesakitan. Delta bukan lagi monster tapi jin yang suka menghilang, jin jahat yang membawa pengaruh buruk pada siapa pun yang ditemuinya termasuk diriku.

Kami bertemu—lebih tepatnya kutemukan dia—di pasar malam. Ingar bingar keramaian tak membuat kami kesulitan bertukar pandangan, bertukar rasa, lalu bertukar hati. Tak cukup waktu lama untuknya bermetamorfosis karena dari awal dia memang memiliki bakat, sehingga beradaptasi sebentar dia sudah mampu melangkah dalam duniaku. Semua orang menyukainya, teman-teman, bos, klien, dan tentu di antara semuanya, dirikulah yang paling menyukainya dan kukira sebaliknya juga begitu.

Dia menggantikan posisiku, kubiarkan itu karena memang seharusnyalah lelaki yang menghasilkan uang, memimpin rumah tangga, dengan begitu dia tak terlihat inferior seperti mulanya. Dari situ pelan-pelan kurasakan ada perubahan, kebohongan kecil sering dia lakukan dan kubiarkan itu, kupikir tidak ada manusia yang jujur seratus persen seumur hidupnya. Karena tak sekalipun kebohongannya terungkap, pelan-pelan lagi dalam jangka berapa waktu, sebuah kebohongan besar dilakukannya, dia tidur dengan si Jalang. Kubiarkan itu, karena kutahu beberapa lelaki yang kukenal juga melakukannya, asal dia tahu tempat berpulangnya, rumahnya selamanya adalah diriku. Tetapi tidak, dia menjadi monster, lalu menjadi jin, mungkin besok menjadi pocong, membayang-bayangin orang-orang, menyebar ketakutan.

*

Malam harinya, aku tidak kembali. Hal terbaik yang dilakukan oleh setiap lelaki yang habis bertengkar dengan pasangannya, pergi menjelajahi dunia lebih jauh, dari satu tempat ke tempat lainnya, aku mencari ketenangan, kesenangan, dan kemenangan. Akan kutunjukkan pada dia bahwa laki-laki memang begitu dan sudah sewajarnya. Lupakah, bahwa dirinya sendirilah yang membawaku ke sini, tentu aku harus beradaptasi, bila tidak aku akan terlihat aneh dan bukankah keanehan sangat sulit diterima orang-orang. Seringnya begitu.

Harus kuakui sudah banyak kebohongan yang kulakukan. Dari hal kecil yang bisa dimaafkan dengan mudah sampai hal yang tentu saja bila Bela mengetahuinya, dia akan murka. Namun, itu semua aku lakukan demi menyelamatkan kami dari pertengkaran, dari perpisahan.

*

Tidak sekali pun terlintas di benakku bahwa akan ada hari seperti ini di kehidupan kami. Di awal sebelum menginjakkan kaki di rumah, kubawa dia ke rumah kejujuran. Kuajari banyak hal, keberikan bekal yang cukup bahkan lebih, di atas semuanya, kubilang yang terpenting adalah kejujuran. Dia bersumpah, berbicara dari hati yang dalam, sampai membuat orang-orang di sana terenyuh. Semua sepakat, aku beruntung menemukan orang sepertinya.

*

Menyiapkan bekal yang cukup, mengaturnya sedemikian rupa, Bella sudah melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan oleh setiap perempuan. Aku dibawanya ke rumah itu, rumah kebaikan, katanya, di sana dia terlihat bahagia dibanding siapa pun. Karena mengingat hari itu, hari ini aku kembali ke rumah.

Dia memandangku, lekat dari ujung ke ujung. Senyumnya merekah, tapi tak bisa kuartikan “Aku putus asa,” katanya.

Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

Leave a Reply