DI UJUNG PENANTIAN
Oleh : Ika Mulyani
Setiap pagi, di jam yang sama, aku selalu menanti pintu kamar itu terbuka, diiringi harap dan juga cemas. Sudah belasan purnama berlalu, tetapi selalu sedih dan kecewa yang kudapatkan.Hari ini, kembali kuhela napas seiring perih yang mendera seluruh relung hati, saat seseorang yang keluar dari kamar itu, menatap dengan sorot mata penuh heran. Ia membalas senyumku ragu-ragu.”Assalamualaikum, Pak,” sapaku dengan mata memanas. Cepat kuusap sudut mata, sebelum air yang tergenang di sana meluncur turun.Pria paruh baya itu–bapakku–menjawab salam dan bertanya, seperti biasa, “Neng siapa, ya? Kapan datang? Kok, saya baru lihat. Mau ketemu sama Ibu Usman? Pagi-pagi begini biasanya dia masih di pasar. Tunggu saja, ya.”
Bapak lalu duduk di hadapanku, menyesap teh hangat yang diberi sedikit tetesan lemon, kesukaannya.
“Teh ini segar sekali, racikannya pas benar. Istri saya pandai sekali membuatnya. Ah, Neng juga minum ternyata. Enak, bukan?”
Aku hanya mengangguk. Teh itu racikanku, perlu berminggu-minggu untuk bisa mendapatkan komposisi yang pas di lidah Bapak. Aku tidak bisa bertanya pada Ibu. Wanita terkasih itu sudah berpulang hampir setahun lalu, tewas di tangan perampok yang menjarah rumah ini.
Bapak dan Ibu hanya berdua di rumah ini. Ketiga anaknya tinggal di kota yang berbeda. Aku kuliah di Bandung, sedangkan kedua kakak laki-lakiku telah berkeluarga dan menetap di kota kelahiran istri masing-masing.
Bapak berhasil selamat, tetapi pingsan dengan kepala bersimbah darah. Para perampok durjana itu mendorong Bapak hingga kepalanya terbentur tembok, keras sekali. Ingatan Bapak terganggu sejak itu. Memorinya terputus, terhenti saat Ibu tengah mengandung aku.
Setelah kejadian itu, aku lalu memutuskan untuk cuti kuliah, di saat penyusunan skripsi baru saja akan dimulai. Kucurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk kesembuhan Bapak dan pemulihan ingatannya.
“Neng tahu, enggak? Padahal, Ibu Usman, istri saya itu, lagi hamil besar. Tapi tetap saja suka memaksakan diri untuk pergi ke pasar.” Ucapan Bapak membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum getir dan menyahut pelan, “Ibu sudah melahirkan, Pak.”
Seperti biasa, setiap mendengar penjelasan itu, Bapak akan terkejut dan bersungut-sungut, mengapa ia tidak diberitahu. Ia sangat ingin menunggui Ibu bersalin, seperti saat kelahiran dua putranya, kakak-kakakku. Memang, saat Ibu melahirkan aku, Bapak tengah bertugas di luar kota. Ia datang setelah aku rapi dalam bedongan.
“Ibu sudah melahirkan, Pak,” ulangku. “Sayalah anaknya. Saya Ratna. Bapak yang memberi saya nama. Kata Bapak, Ratna artinya intan permata, bisa juga berarti putri yang cantik.”
Seperti biasa pula, setelah menyimak penjelasan itu, Bapak akan menatapku lama sekali. Senyumnya lalu merekah, membuat aku menghela napas lega. Segera kukecup punggung tangannya dengan takzim, seraya berharap inilah kali terakhir Bapak tidak ingat akan putri bungsunya.
***
Namun, harapan hanya tinggal harapan. Ritual memperkenalkan diri itu masih harus terus aku lakukan, saat kami memulai hari di setiap pagi, hingga tiga tahun berlalu sejak peristiwa nahas itu.
Hari ini aku akan menikah. Kakak sulungku sudah bersedia untuk menjadi wali nikah. Keluarga Mas Andri–calon suamiku–sudah mengetahui kondisi Bapak.
Aku tidak pernah berharap, bahwa Bapak bisa menjalankan tugas suci itu dengan baik. Aku adalah putri satu-satunya. Setelah ini, tidak akan ada lagi kesempatan untuk Bapak. Akan tetapi, lebih baik kami tidak mengambil risiko.
Sejak tiga hari lalu, kami berlima–aku dan kedua kakak beserta istrinya masing-masing–sudah menjelaskan berulang kali kepada Bapak, akan ada acara istimewa hari ini. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum, dan kembali lupa siapa aku pada keesokan paginya, sungguh memedihkan hati.
Sesaat setelah aku selesai dirias, tiba-tiba Bapak muncul di balik pintu kamar seraya berucap, “Ratna? Sudah siap? Bapak pakai jas lama ini enggak apa-apa, ‘kan?”
Aku menoleh dan terpaku. Tampak Bapak gagah sekali dengan setelan jas lama miliknya. Senyum semringah tersungging di bibirnya, membuat kumis Bapak yang mulai memutih sedikit bergerak-gerak.
Setelah segenap kesadaranku terkumpul kembali, aku segera bangkit dan setengah berlari menubruk Bapak. Air mata haru tidak bisa kutahan. Aku menangis tersedu di pelukan Bapak yang mengusap lembut punggungku.
Bapak berseru kaget saat aku mengangkat wajah. “Hei, riasanmu jadi berantakan begini!”
Namun, aku tidak peduli. Hatiku tengah buncah oleh bahagia.
“Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah,” bisikku, kembali memeluk Bapak.
***
Bionarasi :
Ika Mulyani, lahir di Bogor, 44 tahun lalu. Di sela kesibukannya sebagai ibu dari dua anak, ia juga mengajar matematika di sebuah bimbel. Hobby membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan dapat berbagi sedikit ilmu dan inspirasi. Salah satu mimpinya adalah, menulis buku “Fun Math for Kids and Moms”.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: Pinterest.com