Di Tepi Rel Kereta, Aku Bercerita

Di Tepi Rel Kereta, Aku Bercerita

Sabtu, 27 September 2014.

Aku berjalan di gang kecil di pinggir rel kereta api. Saat itu pukul dua siang, sepulang sekolah. Kulihat lima anak kecil sedang bermain bola di tengah-tengah gang yang sepi. Seorang anak laki-laki berkaos oblong biru tampak menggiring bola dengan gaya berputar-putar—mungkin ia membayangkan Lionel Messi saat itu, sementara temannya tampak terbengong-bengong sembari menanti si anak baju biru mengoperkan bola padanya. Anak yang lain tampak mengejar si bocah baju biru, dan yang lainnya hanya menonton.

Kau tahu, semua anak di gang itu tak ada yang menggunakan sandal jepit atau sepatu layaknya seorang pemain bola. Pemandangan yang biasa bukan? Tapi tunggulah sejenak, setelah kakiku menapak tujuh langkah, seseorang akan meneriaki mereka.

“Woi! Kalau kalian masih main di sini, aku kempesi bola itu!” Seorang wanita muncul dari balik pintu.

“Oi Bik! Kami nih main sebentar saja.” jawab mereka.

“Apa kau bilang, mau melawanku ya!”

Mendapati kemarahan wanita itu, rombongan anak-anak itu pun berhenti bermain. Dengan kesal—sekaligus malas—mereka pergi ke tempat lain, mungkin mencari lapangan bola atau hanya berpindah ke gang sepi yang lain.

Kau tahu, aku ingin sekali membantu mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan selain menghujat wanita itu. Memangnya siapa dia? Ini jalan umum. Milik semua orang, termasuk bocah-bocah ingusan itu.

 

Minggu, 28 September 2014.

Kipas angin berputar di langit-langit ruang tamu. Dari titik satu, melewati titik yang lain dan kembali ke titik satu. Dia seperti mesin waktu yang dapat mengulang titik awalnya. Sofa hitam ini terasa luas, tanpa ada boneka dan hiasan bantal lainnya. Setidaknya boneka yang diberi oleh seorang sahabat beberapa tahun lalu. Aku merasa kipas angin itu mulai membawaku ke masa sebelum aku mengenal semua teman-temanku di sekolah. Ketika yang kau rindukan adalah waktu, apakah kau akan pergi dari nostalgia?

“Tidak! Aku tak bisa mengingatnya!” ujarku tanpa suara. Aku tak merindukan mereka. Aku hanya merindukan waktu-waktu yang menyenangkan bersama mereka. Suasana sedih, tenang, gelisah, tentram, gaduh, ricuh, dan tiap-tiap kejanggalan yang tak lagi ada.

Boneka, sahabat, anak-anak, bola, dan jeritan wanita yang menyebalkan itu tidak cukup membantuku untuk melupakan tiap detik bahagia bersama Yani, Wuri, Edi, dan Agung. Kami seringkali bermain bola dan  bermain bulu tangkis dengan fasilitas seadanya: bola murahan, net yang hanya kami buat dengan tiga batang bambu, dan tak jarang pula kami menggunakan buku gambar sebagai raket jika keadaan mendesak. Pelbagai mainan lainnya juga sering kami mainkan bersama. Walaupun, tak jarang kami membuat permainan sendiri dan berhenti memainkannya ketika bosan—untuk kemudian merancang permainan baru. Karena asyik bermain, tak jarang aku pulang ke rumah sewaktu azan magrib berkumandang, ditambah badan yang berbau matahari, rambut yang tak lagi rapi, dan telapak kaki yang berubah warna menjadi coklat kehitaman.

Rumahku terletak di sebelah kiri rumah Edi. Rumah Yani berada tepat pada rumah ke lima dari rumahku. Rumah Wuri berada di sebelah kanan rumah Yani. Dan, rumah ke dua setelah rumah Wuri adalah rumah Agung. Ya, mungkin saja kau akan bertandang ke rumah kami dan memastikan apakah cerita ini benar.

Kalau dipikirkan kembali, pengalaman lama itu membuatku menyesal. Jika saja detik bahagia itu aku abadikan, mungkin aku bisa mengingat semuanya. Aku mengenal mereka ketika usiaku sembilan tahun, tak jauh berbeda dengan umur mereka. Tapi setelah kami beranjak remaja, semua kebersamaan itu pun memudar sedikit demi sedikit. Pokok bahasan kami pun telah berbeda. Dulu kami suka bercerita tentang hantu, tentang “Si Bisu, Si Tuli, dan Si Buta,” bahkan kini aku masih ingat alur ceirta itu. Dan kini kami mulai membahas tentang gebetan, pacar, jodoh, dan pekerjaan atau semacamnya yang tak ada hubungannya dengan imajinasi anak-anak. Kau tahu, sebenarnya aku masih ingin mendengar cerita tentang “Sarang Setan di SS”, cerita tentang “Orang Gila di Masjid”, dan banyak lagi cerita-cerita dulu yang tak sempat kuberi judul.

Aku masih ingat, setiap malam sebelum hari raya, aku dan sahabat-sahabat kecilku akan berkumpul demi menyemarakkan dan menyambut hari raya. Pada “Malam Takbiran” itu, kami bersepakat meramaikan kegaduhan dengan pelbagai peralatan. Misalnya dengan panci, kuali, botol sisa sirup milik Mamak dari dapur, bekas wadah cat tembok milik Bapak, lalu dilengkapi dengan sendok, garpu, dan spatula yang kami pakai sebagai pemukulnya. Kami bertakbir dengan heboh berkeliling gang. Ah, peristiwa itu terjadi lima sampai enam tahun yang lalu. Dan kini, Malam Takbiran hanya kuhabiskan dengan bercerita dan bertanya-tanya di suatu tempat—di tepi rel kereta.

 

Senin, 29 September 2014.

Aku jadi ingat lima anak kecil yang bermain di tengah gang. Mereka berbahagia saat itu. Aku bisa melihatnya dari mata mereka, persis sama dengan tatapan sahabat-sahabat kecilku dulu. Sama seperti para bocah yang bermain bola itu, kami juga sering dimarahi oleh orang-orang dewasa. Aku misalnya, kerap kali dimarahi nenekku karena pulang bermain hingga sore hari, belum mandi, dan badanku yang bau matahari.

Tentang anak-anak itu, apakah mereka seperti aku dan sahabat-sahabatku yang hanya bisa mempertahankan kedekatan itu pada saat kanak-kanak saja?

“Tidak! Kumohon Tuhan. Aku tidak mau mengingatnya lagi!” pintaku dalam hati.

Tapi Tuhan belum mengabulkan doaku. Aku masih terjebak dengan ingatan-ingatanku pada masa lalu. Kupikir, dengan melupakan mereka aku bisa melepaskan rasa sakit hati yang berpangkal dari pikiranku, tentang bagaimana caranya menyatukan kami kembali? Untuk jujur, hatiku pedih. Semua sahabatku itu sudah disibukkan dengan urusan mereka masing-masing. Lebih jauh lagi, apakah mereka masih mengingatku? Seperti halnya aku mengingat mereka?

Sahabat-sahabatku itu, ketika mereka telah mencapai apa yang mereka cita-citakan, masihkah mereka mengingat kenangan di tempat ini? Kau tahu, betapa pun kerasnya aku berusaha untuk lupa, rel kereta ini tampaknya akan terus memutarkan tiap-tiap kenangan itu.(*)

Misti Kurniaa, mahasiswi Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Berminat di bidang situs web, desain grafis, dan musik. Penyuka pelabagai jenis kopi seduh, kopi instan, dan inovasi kopi yang lain. Ia juga perindu akut.

FB: Misti Kurniaa

Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply