Di Stasiun Kyoto
Oleh: Lily Rosella
Aiko ada di sana, di dalam Shinkansen dari Tokyo menuju Kyoto. Aku menggosok-gosok kedua tanganku yang hampir beku meski telah dilapisi sarung tangan rajutan. Malam ini salju turun agak lebat, dan sebentar lagi mungkin jalanan akan disulap menjadi lapisan putih yang semakin bertambah tebal dan sulit dilalui.
Aku mengalihkan pandanganku setelah memastikan arah jarum jam di pergelangan tanganku, lantas melempar pandangan kepada dua gadis yang tengah berdiri di sampingku. Dua-duanya berambut pendek sebahu dan mengenakan seragam SMA. Yang satu mengenakan kacamata berbingkai putih, tangan kanannya memeluk beberapa buku tebal, dan tangan kirinya meneteng tas sekolah berwarna hitam. Sedangkan yang satu lagi mengenakan bando bermotif zigzag, di kedua telinganya terpasang headset yang tersambung pada sebuah benda kecil di dalam saku rok kotak-kotaknya. Barang bawaannya tak sebanyak gadis berkacamata di sampingnya sehingga ia hanya menggunakan kedua tangannya untuk menjinjing tas yang serupa—dengan temannya, mungkin. Ia tengah mengunyah sesuatu, bisa jadi itu permen karet. Dan kurasa sekarang Aiko mirip dengan gadis pengunyah permen karet itu.
Dalam lamunanku tentang Aiko yang sangat suka berulah ketika masih kecil: ia suka sekali menangis karena minta dibelikan es krim di kedai Tuan Yamamoto, duduk di jalan sambil melempar-lempar kerikil jika tidak dibelikan apa maunya, merengek untuk terus mengenakan baju kodok merah jambu gambar Sailormoon, menarik-narik kaus oblong Kakek, dan menuntut tangan Kakek sambil menyanyikan lagu “Teru-teru Bozu” agar langit tetap cerah. Kini Shinkansen telah tiba. Ketika pintu terbuka, aku memperhatikan beberapa orang keluar—dan beberapa lainnya masuk. Namun aku hanya bisa tertunduk lesu saat pintu kembali tertutup dan Shinkansen melanjutkan perjalanannya. Aiko tidak ada di antara orang-orang yang keluar.
“Mungkin dia terlambat,” gumamku. Aku menghela napas berat, menatap lurus dan menguatkan hatiku untuk menunggu sedikit lebih lama dalam cuaca yang bertambah dingin di Stasiun Kyoto. Salju masih terus turun di luar dan mungkin jalan akan benar-benar tertutup bongkahan putih tebal jika aku harus menunggu beberapa jam lagi—menaruh kemungkinan kalau Aiko akan sangat-sangat terlambat.
Baru juga aku berjalan menuju salah satu bangku di stasiun, seekor kucing menghampiriku, mengelus-elus salah satu kakiku dengan pipi kanannya. Bersikap manja dan membuatku tak bisa mengabaikannya: aku berjongkok dan mengelus kepala kucing putih berpadu oranye pudar tersebut. Dalam kepercayaan orang-orang Jepang, kucing adalah pertanda keberuntungan. Dan aku yakin ini pertanda kalau Aiko akan segera tiba dengan Shinkansen berikutnya.
Kucing itu mengeong kepadaku, matanya berbinar-binar. Sepertinya ia lapar dan kedinginan. Aku langsung menggendongnya dan mengajakknya untuk ke bangku stasiun, melepas syal yang melilit leherku dan menyelimutinya. Sayang, aku tak punya makanan untuk diberikan kepadanya.
Aku kembali mengelus kepalanya. Menggaruk-garuk dagunya dan membuatnya memejamkan mata sambil memberatkan kepalanya di telapak tanganku. “Kucing yang malang, kamu pasti sangat lapar,” ucapku setengah berbisik.
Kucing itu mengeong lagi. Mengeluarkan dirinya dari syal yang menyelimuti tubuhnya, lantas merebahkan diri di pangkuanku. Aku tersenyum, mengelus-elusnya yang perlahan terpejam.
“Takahiro Daisuke?” sapa seseorang setelah aku meletakkan salah tangan di lutut dan menatap lurus ke depan. Bergeming dan setelahnya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang yang menyebutkan namaku.
“Dai-kun?” Aku terkejut dan terpaku dalam satu waktu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat kucing yang bisa bicara, atau ternyata selama ini aku tidak menyadari kalau aku mengerti bahasa kucing.
“Si—siapa kamu?” aku balik bertanya.
“Hajimemashite. Tachibana Aiko desu. Douzo yoroshiku.”
“A—aiko-chan?”
“Hai,” sahutnya sambil mengoyang-goyangkan ekor. (*)
Jakarta, 05 September 2018
Lily Rosella, Penulis asal Jakarta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata