Di Remang Cahaya
Oleh: Ummu Ayyubi
Di sebuah rumah petak di gang sempit, sepasang suami istri duduk tepekur menatap sesuatu yang tergeletak di lantai. Sebuah ransel hitam besar dengan isi menggelembung. Surtini, wanita itu memandang sendu benda itu. Sisa air matanya masih ada, hatinya sedih dan kecewa. Ia duduk di tepi dipan dengan kasur tipis, melirik bungsunya yang tergolek lemah di sana—bersebelahan dengan sang kakak. Napasnya kelihatan berat, sesekali rintihannya terdengar pelan. Air mata wanita tiga puluhan itu menetes lagi.
“Sudahlah, kau membuatku semakin merasa bersalah,” ujar Paijo kasar. Laki-laki kurus dengan kulit legam itu meremas rambutnya, frustrasi.
Surtini diam, sungguh ia tak ingin bertengkar malam itu. Kedua anaknya sudah lelap, dan ia juga tak ingin tetangga sebelah mengetahui masalah mereka, malu.
Surtini beranjak ke dapur yang berada di sudut ruang, merebus air. Ia teringat sepuluh tahun lalu ketika Paijo mengajaknya menikah.
“Tapi saya hanya terima uang halal saja, Mas,” jawabnya waktu itu. Wajah semringah dan senyum dari lelaki itu masih diingatnya.
” Aku akan berusaha, aku akan berusaha,” katanya bersemangat.
Paijo menepati janjinya, meninggalkan pekerjaan haram yang selama itu dilakoninya—menjadi tukang palak dan preman terminal. Entahlah, apa yang menyebabkan Surtini menerima lamaran lelaki itu. Padahal ada Suyono si calon guru yang menunggunya. Mungkin perasaan terenyuh setiap kali ia bertemu dengan Paijo yang menyebabkan ia menerima lelaki itu.
Desis air yang mulai mendidih membuyarkan lamunan Surtini. Segera, diseduhnya teh tanpa gula sebab sejak kemarin tak mampu membelinya.
Paijo mencecap teh yang disajikan istrinya. Masih panas dan terasa pahit. Perasaannya campur aduk, antara menyesal, marah, dan malu. Menyesal karena tak mampu menahan diri, marah pada keadaan yang membuat hal itu terjadi, dan malu saat melihat wajah sedih istrinya. Bagaimanapun juga, ia sudah berjanji pada wanita itu akan memberikan uang halal saat mereka menikah. Baginya, janji adalah utang yang harus ditepati, dan dia adalah laki-laki. Pantang baginya untuk ingkar.
Sebagai mantan preman, ia tak punya keahlian apa pun, kecuali memukuli orang. Saat mencari pekerjaan sebagai satpam di toko, ia malah ditawari menjadi tukang pukul taoke-taoke. Tentu saja ia menolak. Maka, ketika ada yang mengajaknya bekerja sebagai kuli, Paijo menerimanya dengan senang hati.
***
“Tolong ….”
Suara itu terdengar tersengal. Darah seorang gadis berkerudung membasahi tangan lelaki berkulit legam. Paijo menelan ludah. Ia harus melakukan apa yang seharusnya, tetapi sebagian pikirannya membujuk. Ransel besar itu menggodanya, ada lembar-lembar merah yang menyembul dari ritsleting yang terbuka. Jadi, setelah bergulat dengan hati dan pikirannya yang tidak selaras, ia pun memilih.
“Maaf,” kata Paijo pada gadis berkerudung yang mungkin tak lagi mendengar suaranya.
Gadis itu tak bergerak, mungkin pingsan atau mati. Tergesa didekapnya ransel besar itu kemudian melangkah pergi.
Sekarang, ransel itu ada di depannya. Namun, ia tak ingin lagi mencari tahu berapa banyak lembaran merah yang ada di dalamnya. Keinginannya lenyap saat melihat tanda tanya di mata Surtini.
Sudah hampir satu tahun ia menganggur, sejak pandemi muncul. Kuli bangunan seperti dirinya harus kehilangan pekerjaan karena tidak banyak dibutuhkan. Proyek-proyek terhenti, kuli pun harus menerima dampaknya. Selama ini ia hanya bergantung pada orang yang membutuhkan tenaganya untuk mengecat atau bekerja serabutan. Itu pun hanya beberapa. Istrinya berusaha membantu dengan menjadi tukang cuci dan setrika di rumah seseorang, sampai sekarang. Setiap kali istrinya pulang dengan kelelahan di wajah, ia tak tega. Akan tetapi, ia tak berdaya.
Satu minggu yang lalu, si bungsu mulai demam tinggi. Obat penurun panas yang dibeli di toko sudah habis. Surtini istrinya tidak lagi mencuci karena harus merawat si bungsu yang berusia lima tahun. Beberapa tetangga menyarankan untuk ke Puskesmas, tetapi istrinya tidak mau, trauma dengan anak tetangga yang dibawa ke Puskesmas dan meninggal saat pandemi.
“Mas, beras habis. Obat panasnya juga habis,” kata Surtini padanya kemarin.
Jadi, hari itu ia memutuskan pergi ke rumah Mandor Sudar di pinggiran kota untuk meminjam uang atau mencari pekerjaan kalau ada. Toh, pandemi sudah banyak berkurang, harapannya, ada sesuatu yang bisa dibawa pulang.
“Maaf, Jo, belum ada proyek besar. Hanya borongan kecil- kecilan, cuma butuh sedikit orang,” kata Mandor Sudar.
“Nanti, kalau ada proyek lagi, pasti kamu tak hubungi,” lanjut Mandor Sudar dengan logat Surabaya yang medok.
“Matur nuwun, Pak Bos.” Paijo tersenyum menutupi kecewa. Ia menerima uang yang diselipkan Mandor Sudar di tangannya saat ia pamit.
“Maaf tak bisa memberimu pinjaman, hanya sedikit ini yang bisa kuberikan,”
Sempat diliriknya lembaran terlipat itu, warnanya hijau, kemudian diselipkan di saku celana sebelum melangkah pergi. Mandor Sudar memang terkenal pelit, tetapi bagaimanapun Paijo harus bersyukur, uang itu bisa untuk membeli beras dan obat.
Azan Magrib baru saja terdengar, lelaki kurus dengan pipi tirus itu melangkah lunglai, melewati sebuah musala. Ia tak berhenti seperti biasanya. Kepalanya tunduk menyusuri jalan sepi menuju terminal angkot. Membayangkan si bungsu yang semakin kuyu, hatinya seperti tertusuk. Sementara malam mulai membayang.
Sudah separuh perjalanan menuju terminal, Paijo melihat sebuah sepeda motor matik tergeletak di tengah jalan. Seorang gadis tertindih motor, kertas-kertas berserakan. Di remang cahaya lampu jalan, ia melihat ransel setengah terbuka tak jauh dari tempat itu. Setelah itu, ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Meminta pertolongan pada satu-satunya motor yang lewat.
Paijo menatap ransel hitam dengan tatapan nanar. Di dalamnya mungkin ada banyak lembaran yang dibutuhkannya. Seketika, uang dari Mandor Sudar tampak tak berguna. (*)
Surabaya, 26 Oktober 2021
Ummu Ayyubi. Seorang ibu rumah tangga yang suka membaca. Lahir limapuluhsatu tahun yang lalu dan saat ini tinggal di Surabaya. Keinginannya adalah menjadi seorang yang bermanfaat untuk sesama meski sedikit.
Editor: Dyah Diputri
Pict sourch: https://pixabay.com/id/photos/pria-kabut-bayangan-hitam-berlutut-1868418/