Di Mana Kau Beli Rasa Percaya?
Oleh : Dyah Diputri
“Sebelumnya kami baik-baik saja. Kami menonton film pada akhir pekan, membersihkan rumah bersama-sama, juga mencoba resep-resep baru untuk makan malam. Kami menelepon lebih sering daripada jadwal orang sakit typhus minum obat. Meski sama-sama bekerja, momen kemesraan bagai air putih saja.”
“Lalu, kenapa tiba-tiba bercerai?”
“Bukan tiba-tiba. Bahkan hujan turun setelah awan kelabu singgah di langit. Seperti sekarang ini … oh, hei! Lebih baik kita menepi.”
“Tidak akan turun hujan!”
“Dari mana kau tahu? Setidaknya kita menepi ke halte itu.”
“Perkiraan cuaca. Dari sana kutahu bahwa tidak akan turun hujan.”
“Bisa diandalkan?”
“Hmm, kurasa hanya pernikahanmu yang tidak bisa diperkirakan. Semua orang yang mengenalmu dan Mira pasti salah terka. Aku juga kaget mendengar kabar perceraianmu, loh.”
“Ah, kau berlebihan. Seperti bus yang lalu lalang di halte ini … apa sopirnya bisa mengira berapa banyak jumlah calon penumpang yang menunggunya di sini? Apa setiap kali berhenti, penumpangnya akan berwajah sama? Tidak mungkin. Bahkan … saat detik ini kita menghela napas begitu bebasnya, kita tidak bisa menerka apa yang akan terjadi besok. Apa kita masih hidup dengan perasaan sesak, atau mati dalam keadaan bahagia.”
“Jadi, Gibran, hal yang bukan tiba-tiba seperti apa yang membuat kalian berpisah?”
“Hari itu ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh. Malam sebelumnya, aku dan Mira berdoa bersama-sama agar Tuhan lekas memberikan titipan anak. Kami berpelukan, berciuman, saling memeluk lagi, juga menangis sambil tertawa. Lucu saja, kami meminta anak, tapi sama-sama tak cemas kalaupun tidak diberi anak. Kami bahagia hanya dengan keberadaan satu sama lain.”
“And then?“
“Pagi hari aku bangun dalam keadaan telanjang. Malam panas telah berlalu, dan saat aku ingin memberikan hadiah anniversary kepadanya, dia sudah berlalu.”
“Dia harus bekerja, pastinya!”
“Tidak-tidak. Hari itu sama seperti hari Minggu ini. Seharusnya kami membuat blueberry truffle seperti yang dijanjikan sebelumnya. Tapi dia bahkan tidak memasak sarapan lagi setelah menghilang. Ah …!”
“Oh, tapi dia masih pulang ke rumah, bukan? Tak kau tanya ke mana dia pergi?”
“Hei, apa jika suamimu tiba setelah tiga hari menghilang, tak kau tanyakan ke mana perginya? Tentu saja kutanyakan! Tahu, dia jawab apa?”
“Jika aku tahu rasa minuman kontemporer yang sedang kau seruput itu, tentu aku tidak akan bertanya, Gibran! Bercerita sajalah!”
“Ah, kau ini …. Dari dulu tidak sabaran. Begini, dia bilang, dia dari rumah ibunya di kampung.”
“Wait! Selama tiga hari, tak kau teleponkah? Sampai bertandang ke rumah ibunya pun, kau tak tahu? Keterlaluan, harusnya kau antar dia!”
“Sudah kubilang sebelumnya, Bian, kami rajin berkomunikasi. Kalau dia bisa kuhubungi, untuk apa aku bertanya untuk kedua kali saat dia pulang, hah? Kau ini ….”
“Oh! Jadi … kau percaya?”
“Tentu saja aku percaya. Dia istriku.”
“Mantan.”
“Terserah saja.”
“Dan kau percaya, sampai …?”
“Hampir sebulan sekali dia pergi seperti itu. Mematikan telepon, tak ada kabar, lalu pulang dengan alasan yang sama. Pernah, aku coba menelepon mertuaku di kampung, dan memang iya … dia ada di sana.”
“Kau percaya?”
“Tentu saja, kubilang dia istriku. Kenapa harus tidak percaya?”
“Bodoh. Setidaknya, bertanyalah: kenapa tidak memintamu mengantarnya.”
“Rasa percayaku melebih pertanyaan konyol seperti itu, Bian.”
“Di mana memangnya kau beli rasa percaya itu, hah? Bahkan pedagang sukses sekalipun tidak akan membocorkan kelemahan produknya, Gibran!”
“Aku percaya Mira. Aku percaya dia. Sampai ….”
“Apa?”
“Sampai ketika aku tidak lagi bertanya ke mana dia menghilang tiba-tiba, sampai mendadak rasa cemas dan perhatianku lebur dengan sendirinya, sampai akhirnya … dia sendiri yang mematahkan rasa percaya ….”
Aku dan Bian hening setelahnya. Kami terdiam, memandangi gerimis kecil yang turun cepat. Orang-orang yang percaya dengan perkiraan cuaca itu saling berlarian menuju trotoar, berebut tempat berteduh. Memangnya apa yang bisa diperkirakan?
“Kau tak lagi bertanya?”
“Tidak. Sudah.”
“Kenapa menangis?”
“Tidak.”
“Katakan saja, orang lain tidak akan mendengar rintihanmu. Percayalah!”
“Tidak. Sudah.”
“Jika tidak ada, maka kau tidak akan bersedih. Jika sudah, maka kau akan berhenti menangis.”
Namun, Bian tetap menangis.
“Di mana kau membeli rasa percaya?”
“Aku menciptakannya sendiri. Dan ternyata, meski ia berkualitas bagus, belum tentu orang yang memilikinya bisa merawatnya dengan baik.”
“Apalagi aku yang tidak punya itu …. Aku bahkan tak bisa membeli rasa percaya di mana pun, pada hari suamiku tidur dengan istrimu ….”
Malang, 26 Agustus 2020
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata