Di Hari Ulang Tahunmu

Di Hari Ulang Tahunmu

Di Hari Ulang Tahunmu
Oleh : Imas Hanifah N.

Engkau menyaksikan lilin seperti akan habis. Memang, yang namanya waktu jahat sekali. Beberapa menit lalu, kau dan seluruh keluargamu merayakan ulang tahunmu yang keenam puluh tujuh. Ada banyak kue dan lilin. Tapi, hanya kue paling besar yang dipotong dan dibagikan. Kue lainnya yang berhiaskan lilin-lilin kecil, kaubiarkan terus menyala. Bahkan sampai anak, menantu dan cucumu pulang.

***

Beberapa berkas kau rapikan. Senja telah beranjak di permukaan langit. Lewat jendela, kau bisa melihat keindahan itu dengan sangat jelas. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kau harus bertemu dengan klien sore ini. Tidak boleh tidak. Klien itu sangat penting, pembicaraan proyek dan investasi jangka panjang dalam balutan makan malam adalah hal yang sering kau jalani.

Hampir setiap hari kau berkutat dengan banyak pekerjaan. Mengontrol ini-itu, memeriksa ini-itu, dan lain-lain. Kadang, kau hanya memiliki sedikit waktu untuk berbincang dengan anak dan istrimu. Tak masalah, anak-anak dan istrimu tak pernah protes, mereka mengerti sesibuk apa dirimu. Kau bersyukur untuk itu, meski sebenarnya di kedalaman hatimu, kau menginginkan kebersamaan.

“Pak, klien sudah hampir sampai. Sebaiknya, kita segera berangkat,” ujar asistenmu yang bernama Anto.

Kau mencoba mengenyahkan setiap kerinduan. Padahal di rumah, tapi kau amat rindu. Padahal dekat, tapi kau merasa jauh. Padahal, anak-anak dan istrimu selalu mengabari via ponsel, tapi kau merasa hampa.

“Apa Bapak baik-baik saja?”

Kau mengangguk, tersenyum, lalu menepuk pundak asistenmu, “Ayo, berangkat! Jangan buat klien kita menunggu lama.”

“Baik, Pak.”

Mobil melaju cepat. Sesekali, kau lihat arloji mewah di tanganmu. Waktu begitu cepat berlalu.

“Pak, apa Bapak merasa kurang sehat?” tanya asistenmu itu. Mungkin, pertanyaan itu muncul sebab sedari tadi kau melamun terus.

“Tidak, aku hanya sedikit bosan,” jawabmu sambil mengalihkan pandangan ke jalan raya.

Tanpa ada tanggapan lagi dari asistenmu, mobil melaju sedikit lebih cepat.

Begitulah, hari-hari yang kau jalani. Dengan berbagai kesibukan dan tentu tanggung jawab yang besar, kau masih merasa hampa. Hingga akhirnya, saat itu tiba. Anak-anakmu beranjak dewasa. Anakmu yang pertama sudah lulus kuliah dan anakmu yang kedua baru mendaftar ke perguruan tinggi. Istrimu membuka usaha kuliner, semakin sulit bertemu.

Sampai kemudian, tak terasa anak-anak-anakmu, satu demi satu mulai memiliki calon untuk pasangan hidup. Anakmu yang pertama melangsungkan pernikahan dan memilih tinggal di kota lain. Anakmu yang kedua juga mulai merencanakan pernikahan. Namun ditunda, sampai lulus kuliah.

Istrimu mulai melakukan perawatan anti aging. Meskipun menurutmu itu sedikit terlambat, tapi istrimu tetap melakukan hal itu. Padahal, bagimu, istrimu itu selalu cantik. Dari dulu tak berubah dan tak perlu diubah.

Suatu hari, istrimu jatuh sakit. Kau menyuruh asistenmu untuk membatalkan beberapa pertemuan. Meskipun penting, tapi tak ada yang lebih penting selain menemani istrimu. Dokter terbaik, ahli kesehatan paling andal telah menangani. Namun, rupanya semuanya tidak berhasil. Istrimu meninggal. Kau merasa hancur. Teringat semuanya, saat-saat sibukmu, waktu-waktu yang kauhabiskan untuk bekerja. Kau menyesal tidak mementingkan kebersamaan dengan keluargamu. Kau merasa kacau.

Anakmu yang pertama datang, anakmu yang kedua tak henti menangis. Tak ada yang bisa kau katakan. Kau juga sama sedihnya.

Tak berselang lama, anakmu yang kedua juga menikah, kemudian pindah ke kota lain. Kau sendirian di rumah yang megah. Tepatnya merasa sendirian, meskipun ada asisten dan pembantumu yang selalu siap.

Terus saja berlalu, sampai tiba cucumu berkunjung. Cucumu yang masih berumur empat tahun itu mempertanyakan perihal kapan ulang tahunmu dan apakah kamu pernah merayakan hal itu, lalu kau terkekeh. Tak pernah sekali pun ulang tahunmu dirayakan, itu tak penting, pikirmu. Namun, cucumu ternyata terus saja menginginkan ulang tahunmu dirayakan. Semua keluargamu sepakat, kau hanya menurut saja.

***

Semua lilin telah habis dilahap api. Kini yang tersisa hanya gelap. Kau menatap jam dinding, tapi tak terlihat angka-angkanya. Entah sejak kapan, matamu menjadi lebih sulit melihat dengan jelas. Kau beranjak, berjalan terus menuju entah. Pikiranmu kosong dan lututmu terasa lemah. Kau ambruk. Sakit di sekujur tubuh.

“Sayang, maafkan untuk waktu yang kuhabiskan tanpamu, untuk kesibukan yang pada akhirnya kusesali sendiri. Sekarang, aku ingin datang padamu,” lirihmu pelan.

Waktumu telah habis. Jam dinding masih berdetik, namun jantungmu berhenti berdetak. Waktu memang berharga, sangat berharga, tapi kau terlambat menyadarinya.(*)

Ruang Penuh Harap, 2018

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply