Di Bawah Langit Amsterdam
Oleh: Titik Koma
Zaanse Schans menyuguhkan pemandangan khas pedesaan Belanda yang terkenal dengan kincir angin raksasanya, dan rumah-rumah kayu tradisional yang dipercatik dengan parit-parit, di sepanjang jalannya yang sempit tumbuh subur rumput-rumput hijau yang tampak segar dan terawat.
Pasangan muda itu berjalan beriringan, tangan keduanya saling bertaut, mereka menyusuri aliran air yang memantulkan cahaya matahari. Putih dan hijau lumut gemerlapan seperti cermin berlian. Mereka terhenti tak jauh dari sebuah kincir raksasa. Memandang alat tradisional itu berkerja dengan perasaan takjub.
Deru angin yang kencang mengibarkan rok berwarna toska milik Renata, rambutnya yang jatuh di sepanjang punggung terlihat melambai-lambai digerakkan angin. Satria berdiri tepat di sebelahnya, terpesona dengan senyuman yang mengembang indah menghiasi wajah tirus Renata.
Pandangan wanita bermata hazel itu tertuju pada burung kecil yang melayang-layang bermain dengan gravitasi. Burung itu pun hinggap di atas bangunan, hanya sebentar, lalu kembali terbang dengan kepakan sayapnya yang tampak lincah.
“Di kehidupan selanjutnya, aku akan terlahir kembali menjadi seeokor burung. Seekor albatros, mungkin.” Renata merentangkan kedua tangannya seolah ia siap dibawa terbang oleh angin yang menyelubungi tubuhnya.
“Kenapa harus albatros? Kenapa bukan merpati atau seekor pipit saja?” Satria menggeser tubuhnya, berdiri tepat di belakang Renata, hidungnya menangkap keharuman yang menguar dari rambut sang kekasih hati. “Kehidupan albatros terlalu sulit untukmu.” Satria menghidu aroma leher Renata, tanpa ragu tangannya melingkari perut langsing itu.
“Jika aku menjadi pipit, umurku tidak akan panjang. Aku ingin seperti albartos yang hidup lebih lama.”
Suara putaran kincir angin raksasa di depan mereka terdengar menakjubkan, meskipun kerangka besi itu terlihat sederhana dan rapuh, tetapi benda itu mampu memanipulasi kekuatan angin.
“Kau hanya akan berumur panjang dalam cangkang telurmu.” Satria tahu betul albatros membutuhkan 70-80 hari untuk mengerami telurnya, waktu yang sangat panjang untuk menetaskan sebuah telur. Albatros bisa mencapai usia 60 tahun, hampir menyamai spesies manusia. Namun populasinya justru merosot drastis, albatros Amsterdam bahkan dinyatakan dalam kondisi kritis menuju detik-detik kepunahannya.
Renata dan obsesinya akan burung mengenalkan Satria ke dalam dunia fauna penguasa langit itu. Pengetahuan tentang albatros juga kerap terceloteh dari mulut wanitanya itu.
“Kak Satria tak usah khawatir, aku pasti akan berumur panjang.”
Satria menyukai suara lembut Renata saat menyebut namanya, dan ia juga menyukai suara jantung Renata yang terdengar aneh. “Kalau begitu, lahirlah sebagai kuda atau gajah saja. Mereka kuat dan panjang umur.”
“Kura-kura juga kuat dan berumur panjang,” sahut Renata.
“Tidak, jangan kura-kura, aku takut kau mati sebelum mencapai samudra.”
Renata terkekeh, tubuhnya bergetar dalam kegembiraan. Hal kecil itu begitu menenangkan hati Satria. Ia berharap kebahagiaan mereka tak buru-buru pamit.
.
.
.
Langit di Amsterdam berwarna biru cerah seolah ada lautan di atas atmosfer. Awan-awan tipis menyebar seperti lukisan abstrak yang memiliki cerita tersembunyi.
“Tuan Putri mau ke mana lagi?” Satria membuka pintu mobil, mempersilakan Renata masuk dengan gaya seorang butler.
“Mencari keju.”
“Eww ….” Satria tak suka keju, baik bau maupun rasanya, semua yang bersangkutan dengan susu beku fermentasi itu ia tak suka.
Lelaki berambut sebahu itu duduk di depan kemudi, menatap wajah Renata untuk memastikan tujuan mereka sekali lagi.
“Bagaimana kalau kita ke desa nelayan, Volendam, tentu kau tak ingin melewatinya, iya kan?”
“Tentu saja kita akan ke Volendam, tapi setelah kita makan siang dengan keju Edam.” Renata menatap wajah tampan suaminya dengan pandangan menggoda.
“Apa pun untukmu, Nyonya.” Lelaki berdarah blasteran Jawa-London itu mengalah, padahal rencananya ia akan berburu ikan berprotein tinggi untuk Renata—maksud dari berburu: ia akan membeli ikan-ikan segar pada nelayan—dan memanggang ikan itu untuk makan siang istrinya.
Renata kembali terkekeh merdu. Mendengar suara tawanya membuat keju yang baunya mengerikan kini tak jadi masalah sama sekali buat Satria, asalkan istrinya senang.
Roda mobil berputar, perlahan mobil mereka menyusuri jalan raya yang akan melewati Desa Zaandijk sekali lagi.
“Apa kau lelah, Ren?”
Renata menggeleng, ia memamerkan senyumnya yang menawan. Tangan Renata terjulur ke jok belakang untuk mengambil tas hitam yang berisi alat-alat menggambarnya. Semua gambar sketsa yang Renata buat selalu ada sosok burung di dalamnya, Satria sudah sangat mafhum dengan kebiasaan istrinya itu.
Dulu ia pernah meminta Renata untuk menggambar dirinya, dan ia cukup senang saat diperlihatkan hasilnya: gambar dirinya dan seekor burung gagak. Awalnya cukup keren, Satria dan gagak, Satria dan elang, Satria dan merpati putih, tapi kemudian ia merasa risi juga. Ia ingin Renata hanya menggambar dirinya, tapi wanita manis itu memberikan alasan tak masuk akal padanya, ia bilang, “Aku tak ingin melihatmu sendiri dan kesepian dalam sketsaku, setidaknya harus ada seekor burung untuk menemanimu.”
“Kau bisa menggambar dirimu di sebelahku, Ren, bukan seekor burung yang bertengger di bahuku.”
“Anggaplah burung-burung itu diriku, Kak.”
“Kenapa aku harus menganggap burung sebagai dirimu?”
“Karena jika aku meninggalkan dunia ini, aku akan bereinkarnasi sebagai burung.”
Satria kerap menanyakan ini pada Renata, “Kenapa harus burung?”
“Karena aku sangat mencintai langit,” jawaban yang sangat sederhana dan klise.
Satria tentu tak mau jika wanita yang dicintainya menjelma menjadi burung, meskipun para burung kerap disebut penguasa langit. Namun, sesungguhnya binatang bersayap itu kerap terperangkap dalam penjara manusia. Bagaimana jika manusia mengurung Renata—jika nanti ia benar-benar menjadi burung yang hanya bertengger di dalam sangkar. Apa gunanya memiliki sayap?
Seandainya sebagai burung Renata bisa hidup bebas sekalipun, itu tak menjamin ia akan hidup damai dan aman dalam kebebasannya. Banyak jaring perangkap yang sengaja dipasang manusia untuk menangkap kawanan burung.
Burung pemakan ikan akan bersaing dengan para nelayan, sementara burung pemakan biji makin tergusur. Langit kota yang berpolusi, hutan yang makin sempit, begitu juga sungai-sungai dan lautan yang tercemari limbah. Kelak, ke mana Renata akan mencari makanannya?
Satria melirik Renata yang tenggelam dalam goresan sketsanya. Wajah cantik itu dihiasi kelelahan.
“Berhentilah menggambar, Ren,” Satria menoleh sejenak, dan menatap wajah istrinya, “kau perlu beristirahat.”
Renata menatap jalanan di depannya, lalu menatap wajah Satria yang sudah kembali serius mengemudi. Renata menaruh alat menggambarnya di atas dasbor, mendekatkan tubuhnya ke tubuh Satria yang mengemudi sambil bersandar santai. Ia menaruh kepalanya ke bahu sang suami. “Aku suka wangi parfummu.”
“Alasan,” sahut Satria. “Bilang saja jika ingin bermanja di bahuku.” Sekilas Satria mengecup ubun-ubun Renata.
.
.
Satria menikmati roti bakar dengan saus cokelatnya, ia menatap wajah puas istrinya yang sedang menjilati tetesan keju yang menempel di bibirnya.
Satria memeriksa tas tangan Renata, lalu mengambil kotak kapsulnya. “Jangan lupakan ini ….” Satria memberikan kapsul kecil berwarna biru terang.
“Penunjang hidupku!” Renata mengambilnya, ia langsung menelan kapsul yang sejak kecil sudah dikonsumsinya. Satria mengusap helaian rambut Renata dengan sayang.
“Kau juga jangan lupakan milikmu?” Satria tersenyum, tanpa ragu ia menangkap bibir Renata dengan mulutnya yang bekerja sama dengan lidah lincahnya.
“Penunjang hidupku adalah dirimu,” gumamnya di atas bibir Renata yang gemetar oleh gairah. Hidung keduanya saling menempel berbagi udara.
Renata mendorong dada suaminya. “Kau … mau kita mampir? Hm … mencari tempat yang lebih privat?” ucapnya malu-malu.
“Istriku sangat pengertian … tapi sebaiknya kita simpan saja untuk nanti malam.” Satria mengecup bibir Renata sekali lagi, lembut dan penuh cinta.
.
.
Pelabuhan Volendam memiliki pemandangan laut yang dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan tradisional dengan tiang-tiangnya yang tinggi. Di sepanjang jalan masuk ke tepi pantainya, berderet toko-toko suvenir khas Volendam. Suasana kota yang begitu hidup. Restoran tepi pantainya dipenuhi pengunjung, turis-turis dari berbagai negara memenuhi table yang memanjakan pemandangan pantai yang khas. Di antara keramain itu, Renata dan Satria berdampingan menyusuri tepi pantai. Hampir satu jam mereka berjalan-jalan di atas pasir dengan telanjang kaki.
“Apa kau tak lelah, Ren?” Sebelah tangan Satria mengait posesif pinggang istrinya. “Kalau lelah bilang saja.” Tangan Satria yang lain sibuk membenarkan helaian poni panjang Renata yang tertiup angin.
“Sebentar lagi, ya? Aku ingin melihat senja sampai puas.” Selain mencintai burung, Renata juga sangat mencintai langit di sore hari. Senja dan burung akan menjadi kisah yang lengkap, Renata selalu suka melihat kawanan burung yang akhirnya kembali ke sarangnya.
Mengingat setiap cerita istrinya membuat Satria ikut mencintai kehidupan para burung. Jika ia meninggalkan dunia ini, ia pun ingin bereinkarnasi sebagai burung, menemukan Renata kembali sebagai takdirnya dan berburu makanan bersama. Membesarkan anak-anak mereka dan mengajarkannya terbang. Satria tersenyum, tampaknya ia tertular pikiran aneh istrinya.
“Apa yang kau pikirkan?” Renata penasaran dengan senyum suaminya.
“Aku memikirkan seekor burung.” Dahi Renata mengernyit.
“Kau selingkuh dengan burung? Seharusnya kau hanya memikirkanku, Kak!”
“Ooh … akhirnya, kau bisa merasakan apa yang kurasakan selama ini.”
“Jadi, kau balas dendam?” Renata menatap mata hijau Satria, yang kemudian dibalas dengan tatapan menggoda.
“Jangan konyol, aku tak akan membiarkan diriku menyakitimu. Bahkan jika kelak kau menjadi seekor burung sekalipun, aku akan selalu melindungimu.”
“Terima kasih, Kak. Saat bersamamu aku selalu merasa aman.”
“Kau juga selalu membuatku nyaman.” Satria mengecup pipi Renata yang merona.
Dalam perjalanan pulang, mereka menemukan kerumunan orang-orang yang sedang mengelilingi seokor burung yang sedang sekarat. Sayapnya mengepak lemah, paruhnya mengeluarkan cairan berwarna bening kekuningan, kental dan berbau amis. Tubuh burung itu kurus sekali, sejak pagi hingga malam ia mencari makanan, burung yang kelaparan itu tak tahu sesuatu yang dimakannya berbahaya. Ia memenuhi lambungnya dengan limbah plastik. Timbunan plastik di lambungnya tidak sanggup tercerna, bahkan beberapa ada yang sudah dimuntahkan.
Burung-burung di seluruh dunia—tidak hanya di langit Amsterdam—mengalami derita yang sama, mereka hidup dalam impitan manusia yang serakah dan tak peduli dengan alam sekitarnya.
Mata Renata berkaca-kaca, ia menatap mayat burung itu dengan hati terluka. Inilah yang dilakukan manusia, membuat para hewan hidup menderita saat berdampingan hidup dengan mereka.
“Ren … ayo kita kembali ke hotel!” Dengan lembut Satria memaksa istrinya meninggalkan mayat burung itu.
Tubuh Renata yang kelelahan tak sanggup digerakkan, kakinya terasa lemas. Dengan sigap Satria meminta Renata untuk menaiki punggungnya, ia membawa istrinya ke hotel yang sudah dipesan.
Sejak kecil Renata sudah menderita gangguan jantung bawaan, penyakit jantung kongenital, hidupnya tergantung dengan obat-obatan, beberapa kali menjalani operasi jantung, prosedur kateter jantung, dan bahkan dalam kasusnya, ia membutuhkan transplantasi jantung.
Keduanya bertemu di rumah sakit yang sama. Satria yang juga penderita kanker paru-paru merasa menemukan seseorang yang memahami jiwanya, mereka telah hidup terlampau lama dalam keputusasaan, dan pertemuan keduanya membuat mereka kembali menemukan semangat hidup. Mereka saling menguatkan dan memotivasi diri. Cinta membuat keduanya ingin hidup lebih lama, bahkan dalam situasi paling menyakitkan sekalipun.
Malam ketika Renata dinyatakan sekarat, Satria nekat menikahinya. Lalu membawanya pergi ke negara yang paling diinginkan sang istri, berbulan madu ke Amsterdam.
Satria terbaring bersama istrinya yang terlelap dengan napas berat, ia memeluk Renata begitu erat. Semalaman ia terjaga, ia genggam jemarinya yang terasa dingin, kukunya terlihat membiru, Satria mengecupi setiap jari Renata dan memberikan kehangatan udara dari mulutnya. Ia sadar kondisi jari kuku Renata yang membiru bukan karena kedinginan, tapi karena tubuhnya kekurangan oksigen.
Satria menatap pergerakan dada Renata yang bergerak lambat, meresapi denyut jantung Renata yang berbunyi aneh seperti mesin rusak. Ada alat bantu yang ditanamkan ke dalam jantung istrinya, Satria selalu suka dengan suara yang dihasilkan alat bantu kerja jantung itu, sementara Renata sangat memebenci suara jantungnya sendiri. Mungkin terdengar egois jika Satria ingin Renata hidup lebih lama darinya, karena sesungguhnya, jauh dalam ketegarannya ada perasaan takut yang mendobrak sisi pengecutnya. Ia akan melakukan apa saja untuk memberikan kehidupan baru pada kekasihnya tercinta, bahkan jika harus mengorbankan dirinya. Satria tak takut dengan kematiannya, ia lebih takut diperlihatkan kematian dari orang yang paling dicintai.
Satria membuat panggilan telepon yang terhubung pada nama Sagara, adik lelaki satu-satunya.
“Oh God, Kak! Kalian di mana sekarang?” Suara dibalik gelombang elektromagnetik itu terdengar kental oleh keresahan yang bercampur dengan perasaan lega. “Kak, bagaimana keadaanmu dan Ren? Kami semua mencemaskan kalian. Paman—”
“Saga,” Satria menyela, “aku telah menghentikan pengobatanku sejak tiga bulan yang lalu.”
Sudah sejak lama Satria berhenti meminum obat yang seharusnya ia minum rutin, ia menukarnya dengan vitamin biasa, ia bermaksud untuk menipu kekasih dan keluarganya sendiri.
“Apa maksudmu, Kak.” Sagara tak mengerti.
“Datanglah, kau akan mengerti nanti. Kami di Amsterdam.”
.
.
Suatu hari Renata pernah bertanya pada Satria, “Kelak jika kau diberi kesempatan hidup kembali, Kamu ingin menjadi apa?”
“Tentu saja menjadi manusia lagi.”
“Kalau begitu, bolehkah aku meminta sebuah permohonan?”
“Apa itu?”
“Kumohon … jadilah manusia yang baik.”
The End.
Titik Koma, sangat suka membaca, dan memikirkan banyak hal.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata