Di Batas Langit
Oleh : Vianda Alshafaq
Di sini masih gelap. Pita hitam malam membentang seluas langit. Bintang-gemintang dengan cahayanya berkelap-kelip seperti lampion yang diterbangkan dalam festival orang bermata sipit, yang menghujani langit dengan sejuta cahaya yang membuatmu tertawan dan membeku di tempat–saat menyaksikannya.
Kehidupan selalu membuatmu sibuk. Bahkan, di malam-malam yang damai, yang seharusnya kamu nikmati dengan tidur pulas, masih memberimu kesibukan yang entah, yang bahkan menurutku tidak terlalu penting–sebenarnya.
Kamu selalu mencorat-coret kertas dengan pensil, lalu sesekali mengetuk-ngetukkan pensil itu ke dagu. Sepertinya kamu mulai hobi menulis. Kamu seringkali menikmati langit-langit kamarmu yang bercat putih, dengan satu lampu di bagian tengahnya. Jadi, sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Mungkinkah kamu memikirkan masa-masa kepulanganku yang selalu menuai kerinduan? Ah, tidak. Mungkin aku hanya terlalu percaya diri bahwa kamu akan merindukanku.
Aku masih ingat kalimatmu senja itu, kalimat yang selalu kamu ingat ke mana pun kamu pergi.
“Tidak ada yang perlu dirindukan karena semuanya terlalu busuk untuk ditulis dalam kisah kenangan.”
Malam itu, kamu bersimpuh di hadapan Tuhan, memberinya sejuta rayuan agar mengabulkan satu permintaanmu. Dalam simpuh dan sujud yang kamu lakukan untuk mengagungkan-Nya, kamu hujani Dia dengan air matamu yang memaksa turun, bahkan mencelakai bola mata indah yang selalu kupuja, membuatnya menjadi merah dan menghilangkan teduh yang selalu kudamba.
Kamu tidak pernah tahu bahwa ketika kamu berdoa seraya menghujani Tuhan dengan air matamu, kamu membuat tempatku ini kehujanan. Entah apa yang kamu minta sebenarnya, aku jadi penasaran. Semakin deras air mata yang kamu cucurkan seperti air terjun Lembah Anai yang kerap kita saksikan bersama dulu, semakin lebat pula hujan di tempatku yang sunyi, yang bahkan Tuhan saja mungkin enggan untuk singgah–meski di sepertiga malam di mana Dia selalu menemui banyak orang.
Na, di sini masih gelap. Pita hitam malam membentang seluas langit. Bintang-gemintang dengan cahayanya berkelap-kelip seperti lampion yang diterbangkan dalam festival orang bermata sipit, yang menghujani langit dengan sejuta cahaya yang membuatmu tertawan dan membeku di tempat–saat menyaksikannya.
Kehidupan selalu membuatmu sibuk. Bahkan, di saat-saat waktu istirahat pergantian jadwal kuliah–seperti kemarin siang, dunia masih memberimu kesibukan yang entah apa namanya itu. Kamu memegang benda persegi yang kerap disebut ponsel, dan mengetukkan jemari di sana. Entah apa yang kamu ketik, aku tidak tahu.
Kehidupan selalu berlanjut. Bahkan ia selalu menyibukkanmu dengan doa-doa panjang di siang hari, di antara keramaian yang bising, di antara orang-orang berjubah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah, kamu berdiri di antara mereka. Lalu memuja Tuhan dengan sujud dan rukuk, dengan air yang masih mengalir deras dari sepasang bola mata yang teduh, yang selalu kutatap ketika kita berjumpa.
Na, kamu tidak tahu, ketika kamu menghujani Tuhan dan sajadah dengan air mata, di tempatku ini selalu turun hujan. Bahkan, mentari yang dengan gagah menyebarkan lidah apinya yang panas, tidak bisa mengalahkan hujan yang kamu ciptakan. Sebenarnya apa yang kamu bicarakan dengan Tuhan dengan tengadah tanganmu yang tak pernah sebentar?
“Aku membicarakan apa saja dengan Tuhan. Apa saja yang aku ingin, bahkan jika dunia tak pernah ingin mendengarnya, aku akan selalu membicarakannya dengan Tuhan.”
Itu kalimatmu di suatu sore, setelah kamu lagi-lagi memuja Tuhan dengan panjang. Dengan tangan yang menengadah, kamu masih merayu Tuhan dengan air mata, yang membuatku basah kuyup. Selalu seperti itu, ketika kamu berbicara dengan Tuhan–apa pun yang kalian bicarakan, selalu saja membuatku basah kuyup, hujan di sini selalu deras, sederas air mata yang kamu hujankan pada Tuhan.
Na, pernah suatu kali aku mengawasimu. Aku hanya menatapmu dari jauh–meski sebenarnya setiap hari aku mengawasimu–dan bersembunyi di balik daun-daun bonsai yang sudah serimbun hutan. Aku menatapmu yang sedang berbicara dengan seorang anak lelaki kecil yang kamu panggil Alif, seolah-olah kamu mengucapkannya karena merindui seseorang–merindukanku–sembari sesekali tertawa. Aku selalu merindukan sepasang bola mata teduh yang kamu punya, dan aku menikmatinya hari itu. Ingin rasanya menghampirimu dan memberimu sebuah cincin pengikat hati, tapi aku tidak seberani itu. Aku tidak punya nyali memberimu cincin dan membawamu ke hadapan Tuhan untuk merayu-Nya agar merestui aku dan kamu. Merestui kita.
Na, di sini masih gelap. Pita hitam malam membentang seluas langit. Bintang-gemintang dengan cahayanya berkelap-kelip seperti lampion yang diterbangkan dalam festival orang bermata sipit, yang menghujani langit dengan sejuta cahaya yang membuatmu tertawan dan membeku di tempat–saat menyaksikannya.
Kehidupan selalu membuatmu sibuk. Ah, tidak. Kali ini Tuhan yang membuatmu sibuk. Setelah memaksamu seharian menahan lapar dan haus, di malam hari Dia masih memintamu untuk rukuk dan sujud berkali-kali, memuja-Nya dengan segala kelembutan hati dan keikhlasan. Kamu menuruti-Nya, merapalkan niat, takbir, rukuk dan sujud. Kamu melakukannya berkali-kali, sesuai perintah yang Tuhan titahkan padamu.
Di akhir kesibukanmu itu, kamu masih menengadahkan tangan. Lama sekali. Entah apa yang kamu minta pada Tuhan setelah sujud-sujud panjang yang kamu lakukan, aku penasaran. Seperti biasa, Na, ketika kamu menghujani Tuhan dengan air mata permohonan, di sini aku selalu basah kuyup. Bahkan, di malam-malam yang cerah seperti ini, aku akan tetap basah. Basah seperti dibanjiri air laut yang asin.
“Aku ingin kehidupan ini berjalan sebagaimana mestinya.”
Itu kalimatmu di suatu hari–entah kapan. Yang jelas waktu itu kamu mengatakannya padaku. Tidak tahu kenapa, kalimatmu itu membuatku merasa hidup. Kehidupan ini harus berjalan sebagaimana mestinya. Kamu benar, Na. Bahkan dengan kepedihan-kepedihan yang sudah Tuhan hadiahkan sebagai imbalan dari sujud-sujud panjangmu, kamu masih menjalani hidup sebagaimana mestinya. Masih dengan rukuk dan sujud, kamu mencumbui Tuhan dengan air mata permohonan–yang entah untuk apa. Sekali lagi, Na, ketika kamu menghujani Tuhan dengan air mata sederas air terjun Lembah Anai, maka aku akan diserbu hujan sederas itu pula.
Hari ini, entah karena bisikan setan yang mana, kamu menemuiku. Di tempat tinggalku, yang gelap dan sepi, bahkan burung-burung pun enggan untuk singgah dalam waktu yang panjang.
“Kamu harus baik-baik saja.”
Itu kalimat pertama–setelah salam–yang kamu sampaikan ketika menemuiku. Kamu membelai batu nisanku dengan lembut, selembut hatimu yang selalu membuatku jatuh hati berkali-kali.
“Aku selalu memohon pada Tuhan untuk melindungimu dan agar Dia membuatmu selalu baik-baik saja.”
Itu kalimatmu lagi. Jadi, Na, apa itu percakapan panjangmu dengan Tuhan yang disertai dengan air mata sederas air terjun Lembah Anai?
“Aku … masih mencintaimu. Persis seperti dulu. Alif, aku pulang dulu. Semoga besok Tuhan masih berkenan aku cumbui dengan doa-doa untukmu.”
Na, di sini masih gelap. Pita hitam malam membentang seluas langit. Bintang gemintang dengan cahayanya berkelap-kelip seperti lampion yang diterbangkan dalam festival orang bermata sipit, yang menghujani langit dengan sejuta cahaya yang membuatmu tertawan dan membeku di tempat–saat menyaksikannya.
Malam ini aku kembali memerhatikanmu, Na. Aku menyandarkan tubuhku pada bulan sabit, menikmati hujan yang masih mengguyurku dengan hebat dan memerhatikanmu yang sedang menengadah dan bercakap dengan Tuhan. Dengan penuh harapan dan keyakinan, besok kamu akan menyambangi rumahku lagi, meski aku sudah berteman dan tinggal bersama bulan dan Tuhan. Tapi, aku masih bisa menikmati dan mengawasi segala hal yang kamu lakukan, dari sini, ketika pita malam sudah membentang seluas langit dan kamu sudah mencumbui Tuhan dengan doa-doamu yang panjang. [*]
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata