Di Balik Sepiring Nasi Goreng
Oleh : Indhira Syah
“Ayo, Raya, sarapan dulu.” Bu Fitri menarik kursi, lalu mempersilakanku duduk.
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk, kemudian beranjak ke meja makan yang sudah dipenuhi hidangan. Kurang beberapa langkah lagi, tetapi aku sudah menghidu aroma yang tidak asing. Aroma yang begitu kubenci.
Benar saja, menu sarapan yang ditawarkan Bu Fitri adalah makanan yang aku hindari. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dengan masakan yang satu itu. Bahkan, mendengar namanya saja membuat nyeri luka lama yang masih tersimpan di dalam hati. Lalu, aku harus bagaimana sekarang?
Aku duduk terdiam dengan telapak tangan yang mulai berkeringat. Sementara Bu Fitri dan suaminya menyantap menu sarapan yang tampak menggugah selera bagi siapa saja yang melihat, kecuali aku.
“Raya, kenapa gak dimakan?” Bu Fitri menghentikan suapannya.
“Em … i-itu, Bu, saya ….” Tiba-tiba saja bayangan anak kecil yang dipaksa makan, bunyi pecahan piring yang dilempar, serta omelan dan tamparan seorang wanita bermain-main dalam pikiran. Sementara debar dalam dada makin berkejaran, membuatku sulit bernapas.
“Hei!” Tepukan Mila membuatku terperanjat dan sedikit terbatuk-batuk.
“Mila! Kamu itu kebiasaan banget sering bikin kaget orang.” Bu Fitri gemas melihat kelakuan anak bungsunya.
“Ah, Mama. Rayanya aja gak komplain.” Mila menarik kursi di sampingku, kemudian dia meletakkan tubuh di atasnya. Dengan cekatan, gadis berkucir kuda itu menyendok nasi goreng ke piringnya, dan dalam hitungan detik, sesendok nasi sudah berpindah ke mulutnya.
“Loh, Raya, kamu gak makan? Nasi gorengnya enak, kok.” Mila bertanya sesaat sebelum suapan yang ke sekian kali. Hanya selang beberapa detik setelahnya, Mila langsung menghentikan kunyahan. Dia menoleh ke arahku, ekspresi wajahnya seperti orang yang baru mengingat sesuatu.
Terburu-buru Mila melanjutkan kunyahannya. Lantas dia mengambil segelas air, kemudian meminumnya. “Sorry, sorry. Duh, aku beneran lupa, Ray.” Mila tampak sangat menyesal. Dia beranjak ke dapur, membawa piring yang masih berisi separuh nasi goreng.
***
Cacing di perutku berontak. Sejak kejadian tadi pagi di rumah Mila, selera makanku hilang. Sekarang baru aku merasa lapar. Gegas aku berjalan menuju kantin. Sudah lewat jam makan siang, semoga tempat Bu Wardi sepi. Kupercepat langkah karena lambungku terasa perih.
“Raya, mau makan apa? Sini, duduk.” Bu Wardi semringah menyambutku. Kadang, aku merasa wanita ini berlebihan memperlakukanku.
“Em, apa, ya?” Aku menoleh ke etalase berisi macam-macam lauk dan sayur yang berjarak hanya satu meter dari tempatku duduk. “Sayur sop sama ikan kembung aja, Bu.”
“Seperti biasa, tanpa sambal,” timpal Bu Wardi seraya berlalu.
Aku terkekeh. Sudah beberapa bulan ini aku berlangganan makan di tempat Bu Wardi. Wanita berhijab itu menggantikan Bu Desi yang pindah ke kampung. Masakan Bu Wardi enak, apalagi tumis labu tempenya, juara, deh.
“Ini, makanannya. Minum?”
“Air hangat aja, Bu.”
Gegas Bu Wardi mengambilkanku air hangat. Tak lama, dia kembali membawa segelas air. “Biasanya kamu bawa minum dari rumah.”
“Saya lagi nginap di rumah Mila, Bu.”
“Oh, ya. Milanya mana?” Bu Wardi meletakkan segelas air hangat, lantas menarik kursi kemudian duduk di sebelahku.
“Masih ada kelas.”
Sebenarnya, aku berniat mengisi botol kosongku sebelum berangkat. Akan tetapi, kejadian tadi pagi membuat fokusku terpecah. Ah, aku tak mau mengingatnya lagi.
Kantin di kampusku ini lumayan luas. Banyak berjejer etalase berbagai macam makanan. Ada bakso, mi ayam, siomai, nasi berserta lauk dan sayur, sampai berbagai camilan dan minuman segar tersedia. Pun meja dan kursi yang disediakan bisa menampung lebih dari seratus orang.
Namun, suasana saat ini tidak begitu ramai sehingga Bu Wardi bisa santai duduk di depanku. Sikap beliau membuatku agak risi karena matanya intens menatapku. Ingin sekali aku bertanya tentang sikapnya padaku. Akan tetapi, niat hanya sekadar niat. Tidak enak hati aku melakukannya.
“Em, maaf, Bu. Boleh minta tambah kuahnya?” Aku menyerahkan piring padanya.
“Tentu saja boleh. Tambah isinya juga boleh, gratis buat Raya.”
Begitulah Bu Wardi, sangat baik terhadapku. Aku tidak tahu, apakah memang sikapnya seperti ini kepada semua langganan? Sampai berbulan-bulan kemudian, kami semakin dekat, bahkan seperti hubungan seorang anak dengan ibunya. Bu Wardi sudah tahu traumaku terhadap nasi goreng. Siapa lagi yang memberitahunya kalau bukan Mila.
***
“Mil, kamu yakin, cara ini bakalan berhasil?”
“Udah, kita coba aja dulu. Aku yakin, Bu Wardi lebih paham. Ayo!” Mila menarik pelan tanganku. Kami baru saja ke luar kelas, hendak menuju kantin.
Kantin sedang ramai. Meja di tempat Bu Wardi sudah penuh. Tersisa satu meja yang diisi oleh dua orang mahasiswi Ada dua bangku kosong di depan mereka. Kami gegas menempatinya sebelum keduluan yang lain.
“Eh, Raya, Mila.” Bu Wardi menghampiri kami. “Bagaimana, mau dicoba sekarang? Nasinya sudah siap, loh.”
“Tunggu nanti aja, mereka udah mau selesai makannya, tuh.” Aku berbisik pada Mila.
“Nanti aja, Bu.” Mila melirik ke arah dua mahasiswi di depan kami. Kami duduk berhadapan. “Mau minumnya aja, dulu. Saya es teh manis, Bu.”
“Raya?” tanya Bu Wardi.
“Oh, ya. Em, samain aja, Bu.”
“Oke.”
Beberapa menit kemudian, dua gadis di depan kami beranjak meninggalkan kantin. Bu Wardi membereskan piring-piring bekas makan mereka. Tidak berselang lama, wanita berhijab marun itu membawa sepiring nasi goreng.
Nasi goreng lengkap dengan telur ceplok dan taburan bawang goreng. Aroma itu … Sejenak, aku memejam, kemudian menarik napas. Berusaha meredam detak jantung yang siap berperang. Selalu seperti ini, ya, Tuhan.
“Gak bisa.” Aku menggeleng, lalu menunduk seraya menutup wajah.
“Raya, ayo, dong. Ketakutan itu harus kamu lawan. Kamu mau sembuh, kan?” Mila mengusap punggungku.
“Iya, Raya. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Coba sekarang tarik napas, embuskan. Diulang sampai kamu merasa lebih tenang.”
Aku turuti ucapan Bu Wardi, seraya menghalau ingatan yang sejak tadi hadir dalam pikiran. Aku bisa, aku pasti bisa.
“Coba, sesuap aja dulu.” Mila mengulas senyum. Aku melihat binar harap di matanya. Mila, dia lebih dari seorang sahabat.
Perlahan, aku meraih sendok. Dalam hitungan detik, sesuap nasi goreng berpindah ke mulutku. Saat kunyahan pertama, memori itu muncul lagi. Bagaikan proyektor film yang berputar, adegan demi adegan bermain dalam pikiran. Aku benci nasi goreng, aku benci.
“Raya, are you ok?”
Aku hanya bisa menggeleng, air mata tak bisa kucegah mengalir begitu saja. Ini baru satu suapan dan aku tak bisa meneruskannya. Mengapa aku begitu lemah?
Aku benci makanan itu. Tiap hari Mama selalu membuatkanku nasi goreng untuk sarapan. Katanya, sayang nasi sisa kemarin, sekalian berhemat. Aku bosan. Aku yang masih kecil protes kepada Mama.
“Ma, Raya gak mau makan nasi goreng terus. Raya mau bubur.” Salahkah jika aku meminta menu yang berbeda? Aku hanya seorang anak berusia empat tahun kala itu. Mulutku rapat, saat Mama menyuap paksa sesendok nasi goreng. Aku tetap bungkam.
“Buka, gak? Kamu ini masih kecil udah pilih-pilih makan. Buka!” Bentakan demi bentakan aku terima. Hingga kesabaran Mama habis, dia menamparku. Ya, menampar pipi kecilku dengan sangat keras. Aku terhuyung, beruntung tangan kananku menopang tubuh mungilku. Sakit, sakit sekali. Tangisanku mungkin terdengar ke tetangga sebelah.
“Nangis yang kencang! Bapakmu udah berangkat, gak akan dengar.”
“Bapaak, Bapaak ….” Aku terus berteriak di sela tangisanku.
“Terus aja nangis, Mama lempar piring, nih!”
Bukannya berhenti, tangisku kian menjadi. Lalu tiba-tiba saja bunyi piring pecah membuatku tersentak. Serpihan belingnya mengenai lenganku. Tangisku mereda berganti isak. Wajah Mama penuh amarah, aku takut sekali hingga tubuhku gemetar hebat.
“Raya?” Suara Mila membuyarkan ingatanku. Tangan kanannya mengusap peluh di keningku. “Hei, lihat aku. Kamu pasti bisa, ayo coba lagi.”
“Raya, ibumu pasti sedih kalau tahu kondisimu seperti ini,” ujar Bu Wardi.
Aku menggeleng. “Mama gak sayang aku. Waktu pisah sama Bapak, Mama menyerahkanku pada Bapak. Belasan tahun dia sama sekali gak pernah datang. Dia menghilang, entah ke mana. Lima tahun bersama Mama, aku gak pernah kenal keluarga Mama. Aku hanya diceritakan kalau sejak nikah, Mama meninggalkan kampungnya mengikuti Bapak tinggal di kota. Bapak juga gak pernah mengajakku ke kampung Mama. Apalagi sekarang sudah hidup bahagia dengan Mama Ella. Aku menahan sesuatu yang hendak keluar dari mata.
“Mamamu sayang banget sama kamu, Raya. Dia begitu merindukanmu.”
Aku terkejut mendengar perkataan Bu Wardi. Aku mengernyit, menuntut penjelasan.
“Dengar, Ibu harus cerita ke kamu.” Bu Wardi menghela napas. “Mamamu sedang sakit, dia terbaring lemah di ranjang. Dia lumpuh.” Wajah Bu Wardi tampak sedih. “Dia selalu menanyakanmu, dia ingin sekali jumpa denganmu, Raya. Dia merindukanmu.”
“Maksud Ibu?”
“Bu Wardi ini adik mamamu, tantemu.” Ucapan Raya sukses membuatku melongo.
“Kalian pasti sedang bercanda, kan? Gak lucu, Mil.”
“Raya, Ibu gak bohong. Kenapa sikap Ibu selama ini kelewat baik sama kamu? Kenapa Ibu merencanakan ini semua? Karena Ibu sayang sama kamu. Ibu mau kamu sembuh dari trauma. Ibu ingin mempertemukan kamu dengan ibumu dengan kondisimu yang sudah sehat.”
Mama? Dia lumpuh. Apa benar semua ini?
“Ayo, Raya, makan.” Tangan Bu Wardi sudah siap menyuapkanku sesendok nasi goreng.
Entah kenapa, mulutku langsung terbuka dengan sendirinya. Aku tidak menolak, bahkan perasaan itu belum muncul atau tidak akan muncul lagi? Ya, aku berhasil menelan sesuap nasi goreng. Bu Wardi tampak senang dengan reaksiku. Lagi, dia menyuapkanku sesendok demi sesendok. Hingga nasi di piring sisa separuh, tiba-tiba saja perutku terasa mual. Sangat mual.
Perkataan Bu Wardi berputar ulang di telingaku. Mama lumpuh. Ya, itu azab yang harus diterimanya karena telah menelantarkanku. Tetapi, dia merindukanku. Ah, bohong! Itu hanya alasan agar aku mau bertemu dengannya.
Oh, Tuhan! Belum hilang rasa mual, kini kepalaku terasa sakit.
“Raya?” Suara Mila terdengar samar. Kepalaku sakit! Dan tiba-tiba saja perutku bergejolak, siap memuntahkan semua isinya.
Aku bangkit, lalu terpaksa berlari menuju toilet di ujung kantin. Tidak peduli dengan berpasang mata yang memandang, aku hanya ingin mengeluarkan makanan yang seharusnya tidak kumakan.
“Raya … Raya!” Terdengar suara Mila memanggilku.
Begitu sampai di toilet, aku langsung memuntahkan semuanya. Beruntung, toilet sepi. Mila memapah tubuhku yang bersandar pada wastafel.
“Raya, apa yang kamu rasakan?” Aku memijat pelipis, lalu menatap bayanganku dan Mila pada cermin, pandanganku mulai mengabur. Lalu, rasa sakit yang luar biasa di kepala membuat tubuhku lemas dan semuanya menjadi gelap.
***
Depok, 16 Februari 2022
Indhira Syah, seorang wanita berdarah Sunda Betawi. Ia pencinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel Jodoh Sang Penulis dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar: https://pin.it/3ZpVbMs