Di Balik Pilihan
Oleh: Mila Athar
Kisah ini akhirnya usai sudah. Kau dan aku tak pernah menjadi kita. Karena aku memutuskan untuk melepaskan semua. Kasih ini belum bisa dimulai. Ada hal yang tak sesuai kalam-Nya. Ada bisik yang akan mengusik. Walau kau katakan cinta, tetapi aku paham ini hanyalah bungkus belaka.
“Maaf, Putra. Aku harus sudahi semua karena ini salah.”
Kata-kataku membuka pertemuan di sebuah bangku resto yang cukup happening sore ini. Aku memang memilih tempat yang cukup ramai. Tak bijak rasanya jika aku memilih tempat yang sepi dan semakin melunturkan tekadku.
“Salah, katamu?” Putra sedikit menahan suaranya. Aku tahu hatinya pasti luluh lantak saat ini. “Apa yang salah? Selama ini kita baik-baik saja. Tak pernah ada pertengkaran berarti dalam hubungan kita. Bahkan kita dijuluki King and Queen-nya jurusan di kampus kita.”
Pertanyaan beruntun dari Putra membuatku menggigit bibir. Aku memutuskan untuk tak menjawab apa pun. Aku paling paham sifatnya, dia adalah orang yang kritis. Tidak mudah baginya menerima keputusan begitu saja.
“Mengapa kamu berubah? Apa karena aku sibuk di luar kota dan kita jarang ketemu, kamu jadi seperti ini?”
Lipatan kerut tampak di dahinya. Beberapa kali dia menjambak rambutnya ke depan dan belakang.
“Kita sudah dewasa, kamu bilang kamu akan mendukung segala aktivitasku, semua impianku, lalu apa ini? Bullshit!”
Pernyataannya meluncur begitu saja. Tanpa jeda dia bertanya, gusar itu tampak jelas. Aku mencoba menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Aku harus tenang, tidak boleh terpancing perkataannya.
“Putra, ini ….”
“Apa kau punya gebetan baru dari forum kajianmu itu?” Tiba-tiba dia memotong penjelasanku begitu saja.
“Putra, dengar. Kalau kau memang mau dengar, akan aku jelaskan. Tapi kau harus menahan diri. Kalau tidak, tidak ada penjelasan apa pun dan aku memilih angkat kaki dari sini.”
Putra tertegun mendengar perkataanku. Dia menyugar rambutnya kemudian menarik napas. Aku paham gelagatnya, dia sudah mulai agak tenang.
“Aku berat mengatakannya, tapi aku harus jujur padamu. Setuju atau tidak setuju. Suka atau tidak suka, aku ingin menyudahi hubungan kita. Ini bukan tentang siapa pun. Tidak ada orang ketiga.”
Putra hanya tafakur diam. Matanya sudah agak berkaca. Suasana resto mulai terlihat ramai. Meja-meja hampir penuh.
“Ini murni tentang diriku. Ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Ada saatnya kita memulai cinta ketika kita siap dengan komitmen kuat.”
“Komitmen apa yang kau mau, kau meragukan kata-kataku?” Putra mulai gusar. Berkali-kali dia memegang wajah dan mengusapnya.
“Bukan itu, tapi komitmen di atas ridho Tuhan. Bukan dengan pacaran seperti yang kita lakukan,” lanjutku kemudian.
“Tolong hormati keputusanku. Jaga dirimu baik-baik. Aku pamit.”
Mataku memandang lurus ke arahnya untuk terakhir kali. Dia akan paham, aku berbohong atau tidak dengan melihat pancaran mataku. Setelah kurang lebih sepuluh detik, aku segera mengambil tas selempang dan beranjak pergi dari resto. Sekuat tenaga aku menahan butir air yang akan jatuh. Aku menguatkan hatiku sendiri untuk tidak menengok ke belakang.
“Hijrah itu memang tidak mudah. Namun sebisa mungkin tinggalkanlah yang buruk secara perlahan-lahan dan dekatilah kebaikan.”
Kata-kata Kak Sofia tempo hari menggaung dalam pikiranku. Ya, aku harus bisa. Menjauhi Putra adalah salah satu prosesku untuk menuju kebaikan. Walaupun terasa sesak sekali, aku yakin waktu yang akan menyembuhkannya.
Hubunganku dan Putra sudah berlangsung 3,5 tahun sejak SMA. Sebelun memutuskan hal ini aku sempat dilema selama berhari-hari. Jujur sangar tidak mudah. Apalagi kami terkenal sebagai pasangan ideal dan romantis seantero jurusan. Bahkan kami mendapat julukan putra dan putrinya Romeo dan Juliet. Aku menemukan sebuah bangku di taman kota. Aku terduduk dan menghela napas. Satu hal besar telah kuputuskan, jejak baru siap dimulai.
***
Pagi ini aku agak bergegas menuju kampus. Sepuluh menit lagi, kelas akan segera dimulai. Pak Anwar, dosen mata kuliah kalkulus termasuk dosen yang sangat disiplin.
Kampus masih cukup sepi. Baru ada satu dua mahasiswa yang akan kuliah pagi. Ketika tiba di sepanjang jalan ke arah fakultas, aku merasa ada orang yang membuntutiku. Kutelahkan kepalaku ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun. Kembali kulangkahkan kakiku menuju kelas.
“Sabar saja, sifat orang beda-beda. Tanggapi dengan senyuman.”
Kata-kata Shilla sedikit menenangkan hatiku yang gundah. Sejak tiga bulan aku memutuskan Putra, banyak sikap sinis yang aku terima, bahkan sampai sekarang. Gosip simpang siur berusaha tak kugubris. Bahkan dengan perubahan penampilanku sekarang. Ada yang mengatakan aku sok alim, caper, dan kata-kata menyakitkan lainnya. Namun teman-teman di komunitas kajianku selalu mendukung dan menguatkanku. Aku beruntung sekali memiliki mereka.
Tentang Putra, aku sama sekali tak pernah melihatnya sejak sore itu. Kebetulan kami memang berbeda kelas walau satu jurusan. Aku bersyukur diam-diam. Setidaknya ini memudahkanku untuk melupakannya.
Lagi pula, ada kabar yang sempat kuterima. Dia telah memiliki tambatan hati baru. Gadis dari fakultas hukum. Aku tak mencoba ingin tahu atau mencari tahu lebih lanjut.
“Ayo, jadi ke kantin kampus, enggak?”
Perkataan Shilla menyadarkan aku dari lamunanku. Aku hanya mengangguk, lalu kami bergegas menuju ke arah kantin.
Bakso menjadi menu kami siang ini sambil berbincang tentang rencana silaturrahmi ke tempat Kak Sofia besok. Namun kasak-kusuk dari arah samping kiriku begitu mengganggu. Ada apa gerangan?
Saat aku menengok, terjawab sudah. Putra dan dua temannya sedang berdiri bingung mencari tempat duduk. Cewek-cewek dengan senang hati berebut menawari mereka tempat duduk. Saat itulah, pandangan kami bertemu. Dia menatapku sayu. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan dan beristigfar dalam hati.
Putra tampak kurus. Ada yang berbeda dari raut wajahnya. Penampilannya juga tidak seperti dulu. Kelihatan sekali, seperti tak terurus. Kucoba mengenyahkan pikiran-pikiran tentang Putra. Mulai sekarang, aku harus benar-benar menghapus tentang dia dari ingatanku. Ya, beasiswa itu harus segera kuambil.
***
“Ibu tidak mengizinkan, kalau kau memang ingin mengambil beasiswa itu, harus ada pendamping yang mendampingimu di sana.”
Kata-kata Ibu membuatku terpaku tanpa sanggup kucerna.
“Maksud Ibu apa?”
“Menikahlah. Ibu punya teman yang anak laki-lakinya juga kerja di Inggris. Pas sekali, kamu juga mau menempuh studi di sana.”
“Tapi, Bu, Putri tidak kenal siapa dia.”
“Tenanglah, Ibu sedikit tahu tentang pemuda itu. Dia lelaki baik.”
“Bu, Putri tidak ….”
“Sudah, turuti kata-kata Ibu atau kau tidak usah mengambil beasiswa itu.”
Kata-kata Ibu bagai titah yang tidak bisa dibantah, dan begitulah aku, seperti makan buah simalakama. Rasanya aku begitu nestapa.
“Mengadulah pada-Nya, hanya Dia Sang Maha Segala. Tahu yang paling baik untuk hamba-hambanya. Yakinlah, Put, semua hal yang kau alami ini adalah kehendak-Nya. Jodoh, maut, semua dengan skenario Allah.”
Nasihat panjang dari Kak Sofia seperti es yang menyejukkan kalbu. Ya, aku harus bermunajat kepada-Nya. Mencurahkan segala hal yang aku rasakan. Terus menerus mendekat kepada-Nya di sepertiga malam. Akhirnya setelah tujuh hari aku telah mendapatkan jawaban.
***
Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk di ruang tamu dengan resah yang begitu kentara. Ibu menggenggam tanganku.
“Tenanglah, firasat seorang ibu tak pernah salah. Ibu yakin Azzam adalah lelaki baik.”
Ya, akhirnya aku menerima pinangan Azzam. Pria yang tak pernah kukenal sebelumnya, tetapi restu Ibu membuatku menganggukkan kepala. Dan sore ini dia akan datang untuk melamar. Namun sudah satu jam dari jam yang dijanjikan dia dan keluarganya belum juga tiba.
Aku merasa resah dan terus merapalkan zikir penenang hati. Hari ini aku akan melihat sosoknya. Karena tempo hari, ketika Ibu akan memperlihatkan sosoknya lewat foto, aku menolak. Aku takut, niatku akan surut. Berbekal keyakinan dari munajatku dan restu Ibu, aku siap menerima semua takdirku.
Deru mesin mobil terdengar di pelataran rumah. Pintu telah terbuka dari tadi. Dari sini aku melihat, ada empat orang yang menuju ke arah pintu. Mereka semua berpakaian senada baju batik. Aku menundukkan kepala tak berani melihat lebih jauh. Ibu menyambut dengan suka cita.
Tahu-tahu rombongan itu telah duduk di hadapanku.
“Putri, tegakkan kepalamu,” Ibu berbisik lirih.
Akhirnya aku mendongakkan kepala. Seraut wajah bersahaja dan tampan menyambutku, sepertinya aku mengenal garis wajah tersebut. Garis wajahnya mirip dengan seseorang. Namun aku segera menepis bayangan itu. Lelaki tersebut tersenyum sekilas ketika mengalihkan pandangan. Di sampingnya, ada seorang wanita dan dua orang laki-laki yang sudah cukup umur.
“Baiklah acara kita mulai saja ya,” perkataan Ibu memecah keheningan.
Aku menghela napas. Bersiap memulai babak baru dalam hidupku. Kuucap basmalah dalam hati dan menarik napas dalam. Hatiku sedikit tenang. Namun, sekonyong-konyong datang seorang pria berpakaian sama dengan tamu kami.
“Kakak, maaf mobilnya agak susah parkir.”
Bisikan lirih membuatku menatap sempurna ke depanku. Dan aku hanya tertegun ketika melihat wajahnya. Tubuhku rasanya membeku. Duniaku serasa runtuh ketika melihat wajah itu. Wajah yang berusaha kuhapus dari pikiranku selama ini. Sosok itu juga memandangku, kelu. (*)
Mila, biasa menggunakan nama pena Mila Athar. Gadis Jawa yang saat ini masih belajar menulis. Memiliki keinginan bisa menebar manfaat lewat tulisan. Sangat suka membaca. Baginya membaca bukanlah hobi tapi menjadi bagian dari kewajiban. Membaca juga merupakan asupan gizi bagi seorang penulis. Saat ini sangat berharap bisa bergabung lewat berbagai forum kepenulisan untuk memperkaya wawasan dalam dunia tulis menulis. Jika ingin berteman bisa lewat FB: Mila Athar
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata