Di Balik Lipatan
Oleh : Dhilaziya
“Eh! Tidak selalu seperti itu, Ndil. Bukan karena dibuang, disingkirkan, atau tidak diinginkan lagi seperti yang kamu bilang. Bisa juga karena dicuri.”
Masya membantah kata-kataku sebelumnya. Kami sedang memperbincangkan buku bekas setelah aku memamerkan koleksi buku yang sebagian besar kudapatkan dengan membeli di kios buku bekas atau pasar loak. Kemudian gadis yang bila tersenyum akan memunculkan gingsulnya itu bercerita tentang beberapa bukunya yang tidak kembali setelah dipinjam temannya. Bagian paling menyebalkannya dari kehilangan buku adalah ketika buku-buku yang dikumpulkan satu demi satu dan mendiami hatinya—bukan hanya lemarinya—pergi tanpa berpamitan dengannya, alias dicuri atau dipinjam tanpa izin lalu lenyap tanpa tahu ke mana mesti telah dia cari.
“Ah, ya. Pernah, dadaku seperti minyak panas yang dicemplungi adonan bakwan waktu nemu ucapan ultah yang romantis banget di halaman pertama sebuah novel. Aku tidak yakin pemiliknya sanggup melepaskan sesuatu yang begitu manis.”
“Dijual juga bisa. Bagi beberapa orang, buku adalah harta.”
“Aku tak lupa pernah bertangisan dengan seseorang yang terpaksa merelakan seratus tiga puluh enam komiknya padaku”.
Aku masih nelangsa tiap kali ingat hari ketika bertemu perempuan dengan bintik-bintik cokelat di bawah matanya itu. Dia menjual koleksinya karena lapar dan tidak mau berutang. Perempuan itu dulu membelinya sewaktu masih bekerja. PHK membuat kesenangan menyerah diinjak kebutuhan. Aku tak bisa tidur berhari-hari setelahnya. Benakku bertarung antara kegirangan mendapatkan komik dengan harga murah tetapi juga sedih tiap kali matanya yang berurai air mata mengunjungi kenanganku. Dia juga menjual beberapa bukunya yang lain, termasuk Da Vinci Code. Tangannya gemetar hebat saat mengulurkan buku itu. Adegan yang menyedihkan sekali.
“Kau mengembalikannya?”
“Dia tidak mau. Dia senang mengetahui kekasih-kekasihnya aman bersamaku.”
Aku selalu merasa serupa pahlawan setiap kali membeli buku bekas. Buku-buku yang tidak lagi diinginkan. Bisa jadi karena pemiliknya bosan, dianggap jelek, tidak lagi dibutuhkan; buku-bukunya telah menghabiskan ruang penyimpanan, atau telah digantikan dengan terbitnya edisi baru sehingga buku-buku itu berakhir di lapak-lapak penjual buku bekas.
Tidak selalu buku bekas kudapati sudah kumal dan kotor dan sobek. Beberapa jelas tampak sangat terawat, beberapa terlihat belum dibaca sampai akhir, beberapa baru beberapa bulan selesai dicetak, bahkan pernah ada buku yang masih dibungkus plastik.
“Punya cewek kompleks seberang. Dikasih cowok yang naksir berat, cowoknya si cewek ngamuk, langsung dikasih saya. Masih mending enggak masuk bak sampah dan dibakar.”
Begitu dulu cerita Pak Joko, pemilik kios buku bekas langgananku, tentang novel berjudul Love Story yang masih berselaput plastik. Kepadanya aku bisa memesan untuk mencarikan buku yang kumau. Dia akan menelpon jika pesananku berhasil didapatkan. Kerap kali saat berada di kiosnya dan duduk menggelosor di lantai dikelilingi triliunan huruf, aku didera perasaan nyeri. Buku-buku ditumpuk di kiosnya yang kecil, dengan sudut-sudutnya yang gelap tak cukup cahaya, berdesakan bersama aneka jenis buku lain dengan aneka ukuran besar dan ketebalan, dan masih pula merasakan dipermainkan harapan sewaktu-waktu, berulang kali. Orang-orang datang, melihat-lihat, beberapa menyentuh dan membuka, mencari apa yang menarik lantas menaruhnya kembali jika merasa tidak akan terpuaskan. Bahkan meski sudah sempat membaca sepertiga isinya.
“Seperti anak-anak panti, Sya.”
Aku meratap, membiarkan air mata menderas di pipi. Kepada Masya aku berkata bahwa aku rasa buku-buku itu bertanya-tanya mengapa mereka dibuang. Mereka tak pernah meminta dibeli, ;kan? Bahkan mereka tidak minta dicetak. Anak-anak itu juga. Bukankah mereka tamu yang diundang hadir dalam kehidupan? Namun ternyata mereka disingkirkan ke panti karena datang di waktu yang tidak tepat, menjadi aib, merupa beban, jelmaan prasangka, bahkan dikatakan sebagai sisa pait dari siksaan, kekejian, pun duka lara. Lalu ketika takdir membuat mereka menunggu datangnya keluarga baru, mereka kembali dibuat merasa tak cukup layak.
Mataku panas dan pipiku kebas. Asin air mata menyapa mulutku seiring rasa perih di dalam dada. Aku merasa oksigen menipis ketika mengingat bayi-bayi yang tidak jadi diadopsi karena jenis kelamin, riwayat kesehatan, warna kulit, ukuran mata, bahkan bentuk bibir. Seolah ada tambang membebat jantungku saat terkenang wajah bocah yang lelah berharap diajak menuju rumah baru karena tidak cukup tinggi, bau badan, gigi tidak rata, belum mengerti membaca, atau tidak bisa mengucap huruf ‘r’. Aku membenamkan wajah dalam cekungan kedua telapak tangan mengingat remaja yang berusaha tak terlihat karena letih terlalu sering disingkirkan dengan alasan terlalu besar, takut sudah pintar membangkang, dan belum menyiapkan biaya sekolah yang pastinya tidak murah.
“Sudah berapa kali kubilang, kalo mau nangis bersandarlah di bahuku, Ndil. Hatiku sakit melihatmu seperti ini. Aku tidak akan memintamu melupakan kisah lalu. Kita akan berdoa bersama agar saudara-saudara pantimu bahagia. Entah karena bertemu keluarga baru yang juga merasa berkah bersambang ke rumah mereka, atau karena hal lain.” (*)
#DZ. 02102021
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu. Dia juga merasa secantik peri dengan kualifikasi bidadari.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata