Di Aquaterra, di Laut Dalam
Oleh: Vianda Alshafaq
Terbaik 10 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Pertemuan terakhir kita berlangsung singkat. Terlalu singkat. Kita bahkan tak sempat saling mengucapkan selamat tinggal sebelum kepalamu dipenggal dan tubuhmu terjerembap ke tanah Aquaterra, kota metropolitan yang berdiri di punggung hiu raksasa di laut dalam—biasa kita sebut Zephyrax. Tak ada yang tahu kapan dan oleh siapa tepatnya Zephyrax ditemukan, sebagaimana tak ada yang tahu bagaimana ia tetap hidup saat Aquaterra semakin tumbuh di punggungnya, seolah semuanya adalah keajaiban. Beberapa mengatakan nenek moyang kita menemukan Zephyrax setelah Peristiwa Gelombang Besar menenggelamkan seluruh dunia dan memindahkan kehidupan manusia dari daratan ke lautan dalam—tentu, setelah mengalami serangkaian proses panjang mutasi untuk bisa bernapas di lautan. Beberapa lainnya percaya bahwa Zephyrax dikirim oleh dewa untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tersisa setelah perang maha dahsyat yang meluluhlantakkan daratan pada akhir abad ke-45, nyaris 20 abad silam. Tetapi, aku sungguh tak peduli pada kisah-kisah itu. Sebab, kisah bagaimana kita menjemput kematian jauh lebih penting—setidaknya itulah yang kupikirkan.
Semua bermula saat kita genap berusia 25 tahun. Waktu itu matahari laut sedang bersinar lebih redup dari biasa, dan ditutupi oleh awan hitam yang bergulung-gulung di langit laut. Kita tengah duduk di sirip Zephyrax yang berenang pelan—ajaibnya, tak akan ada gerakan yang terasa di kota saat ia berenang. Sirip Zephyrax dipenuhi daerah kumuh dan tanaman alga yang mengeluarkan bau busuk. Kita sedang menunggu ibuku kembali dari balai distrik. Kebetulan hari itu memang hari pemungutan pajak.
“Ram, apa kau pernah berpikir untuk pindah ke gedung-gedung tinggi di pusat Aquaterra? Atau menjadi salah satu pejabat yang tinggal di istana-istana dengan teknologi canggih?” Kau bertanya, sembari terus melihat ke bawah, sebuah kota lain yang kini sudah tak berpenghuni.
Aku hanya diam sebentar. Berpikir. Teramat berpikir. Sampai akhirnya aku berkata, “Dibanding pindah ke gedung-gedung tinggi itu, aku lebih ingin pindah ke daratan, sebagaimana manusia hidup berabad-abad yang lalu. Aku tidak ingin mengalami apa yang dialami masyarakat Ocenora sepuluh tahun silam.”
Sepuluh tahun silam, Ocenora—kota mati yang saat ini berada di bawah kami—mengalami kehancuran yang mengakhiri kehidupan seluruh penghuninya. Waktu itu, Zephyrax yang mereka tunggangi tidak lagi bisa menghasilkan aquaelectra, sumber energi utama yang digunakan untuk menghidupkan seluruh sistem kota: lampu-lampu jalan, mesin-mesin pabrik, alat komunikasi, hingga peralatan rumah tangga. Ia juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tidak dihiraukan penduduk. Suara gemuruh dari perutnya mengisyaratkan bahwa sesuatu tidak beres, tetapi siapa yang sempat menganggap serius peringatan itu saat peliknya hidup tengah mencekik mereka? Maka tak lama kemudian, Zephyrax yang mereka tunggangi mati, kemudian terjatuh, dan mengubah gedung-gedung di punggungnya menjadi hujan batu yang dipenuhi jeritan, rasa takut dan tangisan orang-orang.
“Ya, kau benar juga. Itu … terlalu menakutkan.” Kau mengangguk-anggukkan kepala. Setelahnya, kita hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing hingga ibuku datang dengan wajah lesu dan mata yang makin hari makin sayu.
Kita memandangi ibuku yang sudah duduk berjuntai, persis seperti yang kita lakukan, menunggu cerita yang ia bawa dari balai distrik. Ibu bilang, kita—dan tentu saja seluruh masyarakat Aquaterra—harus semakin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan, terutama gaya hidup para pemimpin Aquaterra yang makin hari makin gila. Mereka lagi-lagi menaikkan pajak lima persen dari tahun lalu. Katanya, mereka membutuhkan anggaran lebih besar sebab pegawai istana makin banyak. Mereka membuat divisi-divisi baru yang akan membantu mereka dalam mengelola dan memajukan Aquaterra.
“Memang mereka menambah divisi apa, Bibi?” Kau bertanya dengan kening yang berkerut tujuh lapis.
“Divisi Urusan Luar, katanya akan bertugas untuk diutus walikota dalam berbagai hal. Yah, mereka bilang jabatannya setara Dewan Aquaterra.”
Kau berdecih. Kemudian mengoceh panjang lebar. Kalau dipikir-pikir, kau selalu begini. Kau akan mengoceh panjang lebar saat pemerintah membuat kebijakan yang tak masuk akal atau kebijakan yang hanya memberatkan kehidupan masyarakat kecil yang memang sudah sulit.
“Yah, lagi pula kita tidak bisa apa-apa. Oh, ya, mereka juga mengadakan festival perayaan pelantikan divisi baru ini minggu depan.” Ibu berkata pelan, kemudian meninggalkan kita dan pulang.
***
Seminggu telah berlalu. Hari penyelenggaraan festival perayaan pelantikan pejabat baru itu dimulai. Seluruh sudut kota telah disulap menjadi lampu-lampu yang berkilauan. Alga-alga busuk di tepian kota—lebih tepatnya di tepian tubuh Zephyrax—diganti dengan bunga-bunga laut yang indah dan menyebarkan aroma yang lembut dan wangi. Seluruh kota seolah-olah diubah menjadi sebuah panggung besar yang mengambang di langit laut.
“Ram, lihat. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka memerlukan anggaran lebih untuk memajukan Aquaterra, tetapi mereka masih bisa mengadakan festival semegah ini saat ada banyak sekali wajah kelaparan di kerumunan. Setiap kali pajak dinaikkan, orang-orang di daerah kumuh seperti kita terpaksa memilih antara makanan atau aquaelectra. Saat kita berjuang setengah mati untuk tetap hidup, mereka terus menghamburkan uang untuk perayaan yang tak berarti apa-apa.”
Aku tahu, saat itu kau geram bukan main. Barangkali jantungmu telah meledak-ledak di dalam, darahmu telah mendidih serupa air yang kita panaskan menggunakan aquaelectra yang kita peroleh dalam jumlah kecil, bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang didapatkan para pejabat dan bangsawan. Wajahmu sudah memerah dan kebencian sudah tercetak begitu jelas di sana.
Kau kemudian berjalan menuju gedung usang yang sudah runtuh sebagian besarnya di sudut paling gelap sirip Zephyrax. Di sana kita menyimpan cat-cat yang kita beli dengan harga murah dari toko cat di tengah kota. Tentu aku mengikutimu dari belakang, seperti biasa. Aku juga sudah mengerti apa yang akan kau lakukan. Pasti kau ingin melukis dinding-dinding gedung dengan cat warna-warni yang kita punya.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di gedung tua itu. Tidak butuh waktu yang lama juga bagi kita untuk memilih warna cat yang akan kita gunakan. Setelahnya, kita hanya akan menunggu malam datang dan puncak festival dilangsungkan.
Kembang air diletuskan sebagai tanda puncak perayaan dimulai. Bunga-bunga air itu bermekaran di langit laut dengan kilauan yang beragam. Indah. Begitu indah. Seandainya ini adalah perayaan untuk rakyat kecil yang berhasil dimakmurkan, mungkin segalanya akan lebih bermakna.
Seperti biasa, saat puncak perayaan dimulai, kita juga mulai melukis dinding-dinding gedung yang jauh dari keramaian di tengah kota. Kita melukis banyak sekali grafiti dan tulisan sarkas yang tertuju pada pemerintah. Gedung pertama, kita berhasil. Gedung kedua, berhasil. Di gedung ketiga, suasana seketika berubah. Ketegangan menyelimuti dada kita saat beberapa orang berseragam militer muncul di belakang. Mereka seolah sudah menunggu kita. Bagaimana bisa mereka mengetahui rencana kita? Pertanyaan itu menggantung di benakku, menghimpit jantungku yang berdetak semakin kencang. Tanpa memberi waktu untuk melarikan diri, mereka menerjang ke arah kita dengan cepat, tangan-tangan kuat itu mencengkeram erat pergelangan tangan kita. Dalam sekejap, kita diseret ke sebuah ruangan di belakang istana.
Ruangan itu sempit. Pengap. Bahkan aku tidak dapat lagi bernapas dengan nyaman. Aku hanya merasakan dinginnya tanah—ah, baru kali ini aku menemukan sebuah ruangan dekat istana tidak berlantai—yang menjalari tulang-tulang di kakiku. Lalu derap langkah beberapa orang yang datang menyentuh telingaku. Derap langkah mereka semakin lama terasa semakin dekat.
Kau tepat di seberangku. Tanganmu dijerat, sebagaimana juga tanganku. Kita tak diberi kesempatan untuk mengatakan apa pun sebab mulut kita telah disumpal sepotong kain yang kumuh dan berbau busuk. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah saling menatap. Itu juga cara kita menyampaikan salam perpisahan sebelum kepalamu dipenggal dan tubuhmu terjerembap ke tanah. Darahmu mengalir, menggenang, dan mengubah aroma udara menjadi anyir yang menusuk hidungku.
Dan, Kun, tak lama setelah itu, aku yakin bau amis darahku juga ikut memenuhi udara, setelah kepalaku terpenggal dan tubuhku jatuh ke tanah. [*}
Somewhere on Earth, 27 Oktober 2024
Vianda Alshafaq, calon pengarang yang sedang belajar mengarang.
Komentar Juri, Imas:
Gaya bercerita penulis yang khas terasa cukup kental di dalam cerita. Itulah salah satu daya tariknya. Selipan satire yang cukup menonjol, serta detail karakter yang lumayan tersampaikan dengan baik.
Bagi saya, salah satu hal yang paling menarik dari cerpen ini adalah pembukaannya. Ia membuat saya cukup penasaran dengan kelanjutan cerita.