Di Antara Kepingan Hati

Di Antara Kepingan Hati

Di Antara Kepingan Hati
Oleh : Syania Azahra

“Setiap orang punya luka.”

Kata-katamu waktu itu. Di sela-sela diskusi  tentang satu bidang yang kebetulan sama kita minati. Dengan sedikit curhatan pribadi sebagai bumbu.

Tutur bahasamu, cara pandang pikirmu ternyata telah menghadirkan rasa. Rasa yang aku sendiri tidak tahu apa namanya, mungkin cinta? Entahlah.

Ya … aku yang  telah lama mengagumimu. Jauh sebelum kau mengenalku. Terus berpikir agar selalu bisa bersama meski terkadang aku harus rela terlihat bodoh di matamu.

Berniat memperbaiki kualitas diri. Kuputuskan untuk sejenak menepi dengan harapan jika aku kembali nanti sudah sedikit lebih pantas untuk mendampingi.

Entah sudah berapa purnama terlewatkan, karena aku hanya membayangkan indahnya pertemuan.

Kini aku telah kembali, dan siap menemuimu wahai sosok yang memenangkan hati. Satu ruang yang telah lama terkunci.

“Aku baik-baik saja.”

Hanya kalimat itu yang mampu terucap. Saat kau menanyakan kabarku tatkala kita dipertemukan kembali. Aku, kamu, dan … seorang wanita cantik yang selalu kau ceritakan dalam puisi-puisimu. 

Terlihat jelas binar-binar kebahagiaan di matamu yang tak kutemui ketika kau bersamaku dulu. Namun, terlihat jelas ketika kau menatap sosok yang kini berada di sampingmu.

Genggaman tanganmu seolah ingin menegaskan, bahwa kalian takkan pernah terpisahkan. Saling sentuh. Utuh. Hingga tanpa sadar ada aku yang menyembunyikan rapuh, dengan senyuman yang sedikit rikuh.
Aku berada pada ketidaksiapan ketika kau menunjukan langkah kaki untuk menjauh perlahan. Menyisakan perih karena kurasa hampir saja hatimu mampu aku raih.

Dengan tak memilikimu, aku memang tak akan merasakan kehilangan. Hanya saja, kamu masih bebas berlari tanpa ikatan. Sedangkan aku, terkunci pada satu yang kuingini. Hatimu.

Aku telah memilih pudar bersama rasaku yang tidak pernah membuatmu sadar, hingga bahagia terasa semakin samar. Aku perlu berhenti dan meyakinkan hati bahwa dirimu tak pantas aku miliki.

Bukan ingin menyerah, hanya sedikit mengambil langkah agar hati tak lagi patah. Aku mulai khawatir rasaku semakin utuh, sedangkan hatimu semakin sukar aku sentuh. Aku telah tiba di durasi akhir di mana bahagiamu pernah coba kuukir. Sebab aku mulai kalah dengan sikapmu yang selalu membuatku patah.

Mengeja kepergian, menikahi kesedihan, memeluk keikhlasan. Jika yang diperjuangkan tetap memilih untuk menjauhkan langkah kakinya, maka pada akhirnya, kita tidak punya pilihan lain selain merelakan, ‘kan?

Seperti embun di dedaunan, cinta pun akan jatuh. Jika bukan rasa pada hati, pastilah basah pada mata.

Dengan tidak selalu menuruti perasaan, akan menimbulkan hal-hal baik. Terkadang ada perasaan yang jauh lebih baik untuk terus diredam. Kemudian perlahan-lahan diabaikan.

Seberapa lama? Selama-lamanya ….

Tidak ada lagi kamu tidak apa-apa. Semua akan biasa saja. Aku ternyata hanya perlu belajar tenang. Tenang jika ternyata tidak semua yang kurencanakan untukmu kau terima dengan sepenuh hatimu.

Kita sudah usai sebelum sempat memulai, bagaimanapun sebuah perjalanan, akhirnya hanya butuh sampai pada tujuan. Apakah tetap dalam rencana berdua, atau sendiri memeluk perasaan luka. Sebab peduli pun seakan percuma.

Sebab peduli itu luka.

Pada kata yang terucap, tersimpan rasa begitu dalam. Sesak, sebab tertahan tak punya nyali untuk mengungkap.

Berusaha perduli pun percuma, bila selalu diabaikan. Sudah terbiasa, bahkan menjadi makanan sehari-hari. Tidak ingin lagi berharap lebih, jika hanya rasa iba yang kau beri, dan ini bukan curahan hati. Namun, sekadar coretan di malam hari.

Terima kasih telah menjadi kekasih dalam mimpiku.

Padamu rembulan, pernah kulangitkan seuntai harapan. Dalam sunyinya malam aku perdebatkan perihal rasa. Rasa yang belum tersampaikan telah membuatku berangan, bahkan terlalu jauh hingga pada akhirnya aku terjatuh.

Ternyata semua hanyalah mimpi, meski sempat kuamini. Namun, kini kau telah pergi meninggalkan aku sendiri, bersama sepi. Kenyataan telah membangunkanku dari tidur panjangku. Mimpi yang terangkai bersamamu kini pupus ditelan waktu.

Kini biarkan aku sendiri, menjernihkan hati yang sedang penuh dengan emosi. Agar tak kukenang engkau dengan rasa paling benci.

Aku melepaskanmu sebagai seseorang yang kucintai tanpa tapi. Karena telah terkalahkan oleh sosok yang kau cintai dengan sedalam-dalamnya rasa meski bungkam.


Syania Azahra. Bisa disapa melalui FB: Syania Azahra.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply