Di Antara Dua Hati

Di Antara Dua Hati

Di Antara Dua Hati
Penulis: RHS

“Nduk, pulang!” perintah ibuku di malam itu.

“Nana belum bisa, Bu. Masih banyak pekerjaan yang harus Nana selesaikan di sini.” Aku masih saja menolak perintah beliau. Bukan karena aku tidak mau, memang kondisi sedang tidak memungkinkan untuk segera pulang ke kampung halaman.

Pekerjaan sebagai salah satu admin di sebuah pabrik memang sangat menyita waktuku. Ditambah kondisi pabrik tidak pernah libur karena permintaan barang produksi kami meningkat pesat. Terutama di saat virus corona melanda seperti sekarang ini, produk unggulan kami sangat diminati masyarakat. Tentu saja berimbas dengan jadwal liburku.

“Tetapi, Ibu sudah kangen. Sampai kapan kamu akan seperti itu terus. Lupakan dia. Pulanglah, Nduk.” Ibu masih saja mengiba agar aku pulang.

“Bukan masalah dia, Bu. Tapi Nana memang lagi sibuk di kantor,” sahutku lagi.

“Kamu bisa bilang bukan tentang dia, tapi Ibu tahu, kamu tidak mau pulang memang karena dia. Pulanglah, Nduk. Ibu kangen.”

Bercerita tentang dia, memang tidak semudah itu untuk melupakan. Dia yang selama ini selalu ada di hati, ternyata lebih memilih adikku sendiri.

Sejak pernikahan Andre dan Dini, memang aku tidak pernah pulang. Entahlah, masih ada rasa sesak melihat kemesraan mereka. Berusaha ikhlas tetapi semua itu tidak terasa mudah.

Ini sudah di tahun kelima, selama itu pula aku belum pernah sekalipun membuka hati untuk yang lainnya. Pesona Andre terlalu masuk ke lubuk hati terdalam. Ada banyak hal yang tidak bisa aku ungkapkan, hanya kepada Ibu-lah tempat berkeluh kesah.

“Andre dan Dini sampai sekarang belum punya anak. Sampai kapan, kamu akan berbuat seperti itu. Jangan terlalu sakit hati, Nduk. Ikhlaskan, lupakan, hiduplah lebih baik.”

“Bu, Nana baik-baik saja. Ndak pernah mendoakan apa pun yang buruk. Nana memang ndak pernah pulang karena sibuk. Bukan masalah patah hati. Kalau Ibu kangen, bisa video call atau datang ke sini biar Nana atur untuk menjemput.” Aku memberikan penjelasan serta solusi untuk masalah kami.

“Dari pada kamu menjemput Ibu untuk ke sana. Mbok ya pulang sebentar saja.” Lagi-lagi ibuk mengiba.

Sudah berkali-kali aku menjelaskan jika sudah mengikhlaskan. Hanya saja aku belum sanggup untuk melihat mereka berdua bersama. Siapa yang kuat jika melihat Andre, kenangan kami muncul begitu saja di dalam pikiran. Jalan bersama Andre selama empat tahun itu bukanlah waktu yang singkat untuk mengerti kebiasaan masing-masing.

Namun, nyatanya impian yang pernah kami bangun bersama harus kandas karena kedatangan Dini. Berujung harus merelakan pernikahan Andre dan Dini. Terlalu panjang cerita yang tidak ingin aku ingat kembali saat ini.

“Wis to, Na. Turuti mau Ibu. Kamu pulang. Sekali ini saja. Setelah itu terserah kamu mau ngapain saja.” Ibu tetap merayu aku untuk pulang.

“Baiklah, Nana akan pulang bulan depan.” Akhirnya kuputuskan untuk berdamai dengan keadaan. Tidak tega mendengar tangisan perempuan yang sudah mengandungku itu.

“Ibu tunggu, Na.”

Sebulan pun berlalu, setelah percakapan malam itu di telepon, akhirnya aku pulang menuju kampung halaman. Kampung yang selama ini selalu aku rindukan.

“Assalamualaikum, Bu,” kataku saat sampai di depan rumah. Rumah yang sama, tidak ada perubahan yang berarti kecuali cat tembok berganti warna biru muda. Terlihat lebih damai, ditambah bunga-bunga yang pernah aku tanam dahulu masih terawat rapi dan berbunga rimbun. Ah, aku rindu masa-masa itu.

“Waalaikumsalam, Nduk Na. Awakmu wis pulang. Ibu kangen,” kata perempuan paruh baya di hadapanku. Beliau kemudian berhambur memeluk tubuhku dengan sangat erat, seakan tidak mau kehilangan lagi.

“Iya, Bu. Nana pulang.” Hanya satu kalimat yang aku ucapkan, setelah bisa berdamai dengan keadaan. Aku harap Andre maupun Dini tidak ada di rumah untuk beberapa saat. Biar bagaimanapun aku masih belum siap.

“Masuk, adikmu dan suaminya lagi tidak di rumah.”

Ibu memang paling tahu, tidak pernah memilih-milih satu di antara kami, kedua putrinya. Saat ini, demi melihat aku pulang, Ibu rela melepaskan salah satu putrinya pergi untuk sementara.

Terima kasih, Ibu.

Surabaya, 02082020

Biodata narasi:
R Herlina Sari, lebih dikenal dengan nama pena RHS. Seorang melankolis yang mempunyai hobi membaca juga menulis.

Leave a Reply