Di Alam Baka Dia Tertawa
Oleh : Chan
Clurit dan dendamku semakin lama semakin tajam. Setiap hari aku aku mengasah mereka dengan pesan Bapak sebelum melepas nyawanya, “Jangan sekali-kali kamu mengaku anakku atau mendatangi makamku, kecuali kau memandikan nisanku dengan darah Supardi!”
Aku tak tahu apa pemicu percarokan mereka. Bapak keburu dijemput ajal sebelum menjelaskan dan Emak bungkam. Namun, apa pun itu aku tak perlu tahu. Bagiku, yang terpenting akulah yang harus membalaskan dendam Bapak, bukan Sobari, adikku.
Aku sudah muak kalah berebut perhatian Bapak melawan Sobari. Bapak selalu saja menyebut bocah manja itu sebagai penerusnya. Sebagai anak tertua, seharusnya aku yang meneruskan kiprah Bapak sebagai jagoan di kampung ini. Aku juga lebih pantas karena jauh lebih bernyali.
Maka, kesempatan itu tak kusia-siakan. Setiap hari, diam-diam, aku mematangkan tubuh dengan latihan beban. Kuulang lagi ilmu silat yang pernah kudapat selama dua tahun mondok di Jombang. Aku memang bukan santri pondok itu lagi—aku kabur karena pendidikan agama dan budi pekerti tak sejalan dengan hatiku—tetapi aku tak pernah melupakan apa yang mereka ajarkan. Salah satu wejangan yang paling kupegang: sehebat apa pun amarah yang membakar, otak harus tetap dipakai.
Supardi tak boleh diremehkan. Biarpun perangainya setenang kerbau yang sedang memamah rumput, ia adalah bekas murid perguruan silat ternama di Banyuwangi. Dalam pertarungan, dia bisa berubah menjadi sebuas serigala lapar. Buktinya, mantan bromocorah tangguh macam Bapak hanya sanggup bertahan lima jurus saja sebelum perutnya dikoyak parang Supardi.
Hari itu memang aku hanya bisa mematung. Namun, setelah setengah tahun berlatih, jurus-jurusku kian mantap. Kuyakini kecepatan gerakan dan kekuatan tebasanku sudah melebihi kecepatan dan kekuatan Supardi. Keberanianku berlipat-lipat. Berbekal itulah aku mencegatnya di jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan kebun singkongnya di ujung kampung.
“Mau apa kamu?”
“Mau menuntut balas!”
“Pulang! Kamu masih kecil!”
“Bacokanku sama ampuhnya dengan bacokan tua bangka seperti dirimu.
“Aku tidak mau melayani. Dan demi Allah kamu bukanlah musuhku.”
“Tapi, aku sudah menjadikanmu musuhku abadiku.”
“Pulanglah. Aku mohon.”
Permintaannya kubalas dengan sabetan clurit.
***
Aku sampai di rumah usai langit diterkam gelap. Luka robek di paha membuatku berjalan terseok dan luka di bahu membuat kepalaku sedikit berdenyut-denyut. Supardi memang hebat. Dadaku masih berdebar oleh serunya pertempuran. Meski begitu, aku merasa senang. Aku pulang dengan menyandang gelar anak berbakti.
Kubuka pintu depan. Raut cemas Emak menyambutku. Belasan pertanyaan yang terlontar darinya nyaris tanpa jeda. Suara lembutnya berbalut kecemasan.
“Menuntaskan dendam Bapak,” jawabku sambil merebahkan diri di lantai teras.
“Apa maksudmu?”
“Supardi sudah mati.”
Mata Emak membelalak. Keterkejutannya berpuluh-puluh kali lipat ketimbang saat dia melihat jasad Bapak digotong pulang. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang bulat bersih.
“Di mana dia sekarang?”
Begitu aku selesai menyebutkan tempat aku meninggalkan bangkai Supardi, Emak bergegas berlari melewati gerbang. Sekujur tubuhku lelah, dan luka-lukaku menjerit minta diobati. Namun, rasa cemas lebih berkuasa, ia mendorongku untuk mengejar Emak.
Keadaan Supardi masih sama seperti saat aku meninggalkannya: tertelungkup dan bermandikan darah yang berasal dari dua tebasan di perut dan punggungnya. Darah juga membasahi tanah di tempat bibirnya mencium bumi. Tentu saja, sebelum pulang, kupastikan dia sudah benar-benar menjadi mayat dengan menyayat tenggorokannya.
Emak menjerit, lalu memeluk Supardi. Di telingaku, jeritan itu setara gelegar ribuan halilintar. Adegan itu meruntuhkan seluruh rasa banggaku.
“Kenapa Emak peduli terhadap lelaki sialan itu?”
Emak menjeda tangisnya. Dia menoleh dan menohokku dengan tatapan yang menyiratkan kekecewaan. “Anak kurang ajar!” hardiknya. Selama ini, belum pernah kulihat dia semurka itu. Belum hilang keterkejutanku, sambil terisak dia mengisahkan sebuah kisah yang meremukkan rongga dada.
Sebelum menikah dengan Bapak, Emak berpacaran dengan Supardi. Hubungan mereka kandas karena tidak adanya restu. Supardi yang sakit hati pergi meninggalkan kampung dalam ketidaktahuan, bahwa benih yang dia tanam di suatu malam telah tumbuh di rahim Emak.
Saat itulah Bapak datang mendekati Emak, lalu tanpa basa-basi melamar. Kakek dan Nenek tak bisa apa-apa selain setuju. Reputasi Bapak sebagai orang yang gemar menempuh jalur kekerasan membuat tulang punggung dua manula itu bergetar.
Entah bagaimana Bapak tahu benih itu bukanlah benihnya. Mungkin karena dia menghitung rentang tanggal lahirku dan hari pernikahannya yang hanya berjarak tujuh bulan saja. Teranglah bagiku mengapa tak pernah tercurah kasih sayangnya untukku.
Meskipun begitu dia tidak pergi atau meminta cerai. Aku menduga itu karena kekayaan keluarga Emak. Manusia mana yang tak ingin hidup enak tanpa perlu bekerja?
Sembilan bulan lalu, Supardi kembali. Mereka bertemu tanpa sengaja. Pertemuan itu membuat Bapak merasa terhina. Demi harga diri, carokan itu pun terjadi.
Udara semakin dingin. Nyanyian jangkrik terdengar pilu. Tangisan Emak kian deras. Rasa bersalah terbit di dada dan merambat usai menyadari bahwa aku telah berjalan menuju sebuah jebakan keji. Aku yakin di alam baka, pria yang kusebut Bapak sedang tertawa terbahak-bahak. Siapa pun di antara aku atau Supardi yang mati, rencana busuknya terlaksana. (*)
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata