Dewasa? Sudahkah Aku Dewasa?
Oleh: Sukra AW
Saat kita kecil dulu, kita pasti pernah berpikir, “Kayaknya jadi dewasa itu enak, ya?” atau mungkin merasa bahwa diri kita itu sudah besar sehingga merasa bisa memikul beberapa beban dan tanggung jawab. Merasa sudah bisa dipercaya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan orang dewasa.
Saat kita kecil, kita pasti pernah membandingkan diri kita dengan kakak atau tetangga kita yang sudah dewasa. “Dia boleh gitu, kok aku enggak?” atau mungkin dengan ungkapan, “Aku pengin cepet besar biar bisa kayak Kakak.” Yang kita pikirkan waktu kecil adalah senangnya jadi dewasa. Yang kita lihat dulu nyatanya hanyalah sekelumit kebahagiaan pada orang dewasa. Bahkan hal ini pernah dituangkan dalam serial kartun Tayo the Little Bus. Di mana Tayo—si bus kecil—ingin menjadi dewasa agar bisa pergi sesuka hatinya. Dia ingin menjadi dewasa agar bisa terus bermain kapan pun ia mau. Namun, setelah sehari menjadi dewasa, dia justru kembali menemui penyihir agar dijadikan seperti sedia kala.
Seperti yang kita ketahui, ternyata Tayo ini tidak tahu hal mendasar dari seorang yang telah dewasa. Apa itu? Beban dan tanggung jawab yang semakin banyak. Dia tidak tahu bahwa ketika ia dewasa, dia mendapat giliran bekerja di waktu malam demi menggantikan bus-bus kecil. Dia tidak tahu bahwa ketika ia dewasa, dia harus bertanggung jawab atas jadwal bus-bus yang ada.
Tayangan dalam serial itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa menjadi dewasa itu tidak mudah. Dewasa memang terlihat menyenangkan, tetapi nyatanya tidak semenyenangkan yang dikira.
Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita menjadi dewasa?
Seiring bertambahnya usia, terkadang semakin bertambah beban dan tanggung jawab yang harus kita pikul. Semakin bertambah usia kita, semakin banyak tuntutan-tuntutan yang terkadang membuat kita tertekan. Dan sayangnya, semakin bertambah usia kita, semakin bertambah pula harapan-harapan orang lain terhadap kita: keprofesionalan dalam bekerja, tanggung jawab sebagai seorang ayah/ibu, peran sebagai anak/menantu, dan lain sebagainya. Hal ini pasti akan menghadirkan banyak topeng dalam kehidupan kita.
Topeng-topeng yang kadang mengambil alih jati diri kita. Topeng yang membuat kita tidak bisa menjadi diri sendiri. Dengan mengambil ungkapan Rando Kim dalam bukunya Amor Fati: Cintai Takdirmu, bahwa dunia adalah masquerade (samaran, sesuatu yang tidak kelihatan nyata; panggung sandiwara) besar sehingga sulit untuk mengetahui wajah asli seseorang.
Bahkan saking banyaknya topeng yang kita miliki saat dewasa, kita jadi sulit untuk mengetahui diri sendiri.
Rando Kim mengatakan dalam bukunya yang berjudul Amor Fati: Cintai Takdirmu, bahwa dewasa bukan merujuk pada satu “titik” dalam perkembangan manusia, melainkan sebuah “proses” untuk mampu mengatasi cobaan hidup.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita sudah dewasa hanya karena usia yang terus memburu. Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa kita telah dewasa hanya karena sudah menikah, dan lain sebagainya.
Mungkin kalian membaca tulisan ini karena ingin mengetahui tingkatan kedewasaan kalian. Mungkin juga karena ingin tahu apakah kalian sudah dewasa atau belum. Namun nyatanya, kedewasaan tidak bisa diukur dengan apa pun. Karena nyatanya, kedewasaan adalah sebuah proses yang pasti dialami oleh semua orang.
Meminjam kembali ungkapan Rando Kim yang masih dalam bukunya Amor Fati: Cintai Takdirmu, “waktu tidak otomatis membuat kita menjadi dewasa, kecuali kita melakukan introspeksi diri dan bergerak menjadi dewasa.”
Jangan berubah, tetapi berkembanglah. Karena berubah belum tentu berkembang, tetapi jika berkembang sudah pasti berubah menjadi lebih baik.
Salam santun dari penulis amatir ini untuk pembaca yang budiman.
Sukra Wina, lahir di Banjarnegara, 02 Februari 2001. Masih menikmati masa-masa SMK—yang konon katanya begitu indah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata