Detektif Ala-ala
Oleh : Nuke Soeprijono
Nadine galau. Dia masih bingung memilih antara meneruskan studi atau menerima pinangan Dokter Rendy, seorang dokter spesialis kandungan berstatus duda tanpa anak, yang setahun belakangan ini mendekatinya.
Selama dua minggu mereka sepakat untuk tidak bertemu. Setelah merenung di gunung Galunggung sambil ngemil jagung, akhirnya Nadine memutuskan untuk melanjutkan studinya saja.
“Jadi nih, lu kuliah aja akhirnya?” tanya Feby dengan intonasi suara yang lemah. Terasa hilang semangatnya, mengingat kemarin dia yang mendukung Nadine untuk menerima pinangan Rendy. Namun sebagai sahabat, Feby hanya bisa memberi usul. Semua keputusan kembali pada si empunya hajat.
“Jadi, gue udah putusin, mau kuliah aja. Lagian udah daftar juga. Biarin dah, urusan Rendy gue pasrah aja sama Allah,” jawab Nadine tak kalah lemah dan sok bijak.
“Kalo memang jodoh entar juga ke KUA bareng,” katanya lagi. Feby hanya manggut-manggut seraya mengatup bibirnya yang tadi melongo. Ah, dua sahabat ini memang sehati meskipun tak sejiwa. Ikut merasakan senang jika salah satunya gembira, dan tetap senang jika salah satu ada yang sedih, maksudnya senang menghibur.
Hari ini Nadine berencana mau ke kampus Harapan Bangsa. Entah ada hal apa yang akan dia lakukan di kampus itu. Mengingat semua persyaratan dan administrasi sudah dilengkapi. Tinggal menunggu tanggal masuknya saja yang kurang sepuluh hari lagi.
“Feb, lu mau enggak nemenin gue ke kampus?”
“Eh, tumbenan lu ngajak gue. Sopir taksi lu ke mana?” tanya Feby asal.
“Etdah, sembarangan lu ngatain calon gue. Dia bukan sopir taksi, tapi dia tuh sopir odong-odong yang hobi makan gemblong!” jawab Nadine tak kalah asal.
“Hahaha dasar lu! Suka gitu deh, kalo lagi enggak semangat sama Rendy. Coba aja pas lagi cinta-cintanya beuhhh, jarak sejauh langit bumi akan kujalani, gunung tinggi akan kudaki, laut paling dalam a–,”
Plak!
Mendadak kepala Feby disambit novel yang lumayan tebal sama Nadine. “Terusin lu ngoceh, ya, nyebelin banget!” sahutnya galak. “Mau nganter enggak, nih?”
“Ya ampun, iya, iya, ah! Galak amir lu? Pak Amir juragan kos aja enggak galak. Baik banget malah. Udah ganteng, baik, tapi sayang udah punya istri!” ceracau Feby makin ngawur.
“Eleeh jadi ngaco kan, lu? Makanya, jangan asal ngomong aja, kuy anterin!” ajak Nadine pura-pura kesal.
Hari makin beranjak siang, jam digital di nakas Nadine sudah menunjukkan angka sepuluh titik lima belas. Tinggal memakai kerudung, gadis yang sedang galau ini siap pergi ditemani sahabat sejatinya. Setelah memesan taksi online, meluncurlah mereka menuju kampus Harapan Bangsa.
“Nad, lu ke Harbang mau ngapain, sih? Kan, belum waktunya ngampus? tanya Feby masih belum mengerti maksud sahabat somplaknya ini.
“Eh, siapa yang mau ke Harbang? Orang gue mau ke RS,” jawab Nadine tanpa dosa.
“Haaa? Gila lu, ya? Tadi bilang mau ke kampus, sekarang berubah ke RS. Lu mau periksa hamil? Atau lu mau periksain gue? Lu pikir gue orok?” Merepetlah Feby saking takjubnya dengan pikiran Nadine yang suka mendadak berubah.
“Hehe … sorry, ya, Chuyunk! Iya, gue tetiba inget si Rendy. Gue jadi kepikiran. Selama dua minggu kemarin kan, enggak ketemu. Gue sengaja menghindar, sih. Bukan apa-apa, cuma pengen tau aja reaksi dia gimana kalo enggak ketemu gue selama itu,” jelas Nadine dengan mimik muka memelas.
“Ah elah, lagi lu sok-sokan ngilang, sih! Miapah coba? Yang ada lu jadi gaje, dianya tenang-tenang aja. Nadine Nadine, lu ngeselin banget, sumpah, asli!” sungut Feby sambil cemberut, membuang muka ke arah jendela mobil.
“Ya, tadinya gue kan mau mikir dulu, kudu ngomong apa sama Rendy. Atas usul lu juga kan, waktu itu?” ujar Feby melemah. Namun, lawan bicaranya sudah terlanjur kesal dan tidak menjawab.
Setelah membelah jalanan ibu kota yang lumayan macet, sampailah mereka ke rumah sakit tempat Dokter Rendy praktik. Jam di pergelangan tangan Feby menunjuk angka sebelas, itu artinya kurang lebih sembilan puluh menit lagi jam praktik Dokter Rendy baru dimulai. Feby masih terlihat kesal. Namun setelah Nadine mengajaknya makan siang di restoran fast food yang berada di lantai bawah area rumah sakit, rona wajahnya berubah semringah.
“Lu boleh pesen sepuasnya deh, sebagai tanda permintaan maaf gue, hehe,” kata Nadine tulus.
“Bener, ya?”
“Iya.”
Lagi asyik makan dan ngobrol ngalor ngidul, tiba-tiba badan tegap Rendy muncul dari arah sebelah kanan pintu masuk utama. Melangkah penuh percaya diri, dia memakai kemeja biru navy dan celana bahan berwarna hitam. Sambil menenteng snelli yang terlipat di lengan kanannya.
“Ya Tuhan, itu dokter cakep banget,” desis Feby sambil melongo.
Melihat sahabatnya bagai orang kesambet, Nadine ikut menengok ke arah mata Feby yang mendadak lupa berkedip.
“Eh, Monyong! Itu kan, Rendy!” tukas Nadine sambil mengibaskan tangan ke arah wajah Feby.
“Lu kayak yang belum pernah ketemu aja sih, Feb?”
“Iya, gue pernah ketemu Rendy, tapi gue lupa-lupa inget. Perasaan waktu itu dia enggak seganteng ini, deh,” kata Feby sambil mengerjapkan matanya.
“Alaaah bilang aja lu itu emang suka pikun. Dari dulu sampe sekarang, cowok gue emang cakep dan simpatik,” ujar Nadine bangga.
“Iya, cakep. Tapi sayang ceweknya oneng!” sahut Feby pelan sambil membereskan sisa makannya.
“Eh, ngomong apa lu barusan?” tanya Nadine sambil mendelik pura-pura marah.
“Haha, kagak! Serasi kok sama lu, Nad! Saling melengkapi gitu jadinya,” kata Feby sambil terbahak.
“Makin ngaco, lu! Yuk, ah, kita ke dalam.”
“Ngapain?”
“Ya, ngikutin Rendy, lah. Lu pikir kita mau ngapain ke sini? Nraktir makan lu doang? Enak aja,” tukas Nadine sambil menarik tangan Feby.
“Gue mau mata-matain dia, kek gimana kalo di tempat kerja,” katanya lagi.
“Idih, sok-sokan,” sahut Feby sambil mencebik. Nadine hanya nyengir kuda.
Sambil berjalan pelan-pelan, dua sahabat itu terlihat masuk ke dalam lift. Bermaksud menuju lantai tiga, tempat poli spesialis kandungan berada. Nadine tampak gugup, keringat mulai membasahi keningnya.
Melihat hal ini Feby tertawa geli. “Lu kenapa, Nad? Nahan pup? Sampe keringetan segitunya, hahaha.”
“Berisik, lu!” bisik Nadine dengan mata melotot melihat ke arah sekitar.
“Ups! Iya, iya,” Feby meralat ucapannya sambil melirik malu ke arah orang-orang yang satu lift dengan mereka.
Sesampainya di lantai tiga, kedua sahabat itu mengendap-endap bak detektif. Mereka menuju ruang tunggu yang berada di depan meja perawat jaga. Setelah duduk di kursi panjang, mereka mulai melancarkan aksinya. Feby pura-pura membuka ponsel, sedangkan Nadine akting—pura-pura membaca majalah yang disediakan di meja dekat kursi tempat mereka duduk. Sambil sesekali melirik ke tempat para perawat jaga di depan mereka.
“Eh, Feb, gue pengen pup beneran, nih. Gimana, dong? Elu sih, tadi pake nyumpahin gue segala!” gerutu Nadine sambil menahan sakit perutnya.
“Dih, ya udah sana ke toilet! Daripada keluar di sini, kan enggak lucu. Orang mah, keluar bayi, elu malah keluar iyuuuh hahaha!” Feby tak bisa menahan tawa. Suaranya membahana hingga dua perawat di depan mereka melirik dengan tatapan menyelidik.
Merasa tak tahan lagi, Nadine segera berdiri dan bermaksud mencari toilet. Namun nahas, bukannya ketemu toilet malah wajah Rendy yang muncul di hadapannya. Entah dari mana datangnya dokter ganteng itu.
“Honey, lagi ngapain kamu di sini? Siapa yang sakit?” tanya Rendy heran.
“Oh, eh, anu, Sayang. Itu iya, bentar, ya entar aku ceritain. Aku mau ke toilet duluuu,” teriak Nadine sambil berlari.
Rendy mengernyitkan dahi, tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Sedangkan Feby, dia hanya bisa menahan tawa sambil menutup wajahnya dengan majalah yang dipegang Nadine tadi.(*)
Nuke Soeprijono, si alter ego yang sedang belajar menulis.
Editor : Fathia Rizkiah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata