Dessert
Oleh: Ade Trias
Aku baru saja keluar dari rumah Bu Yati, tetangga kompleks yang kediamannya tak jauh dari rumahku. Jarak dari rumahku dengan rumahnya hanya dua blok saja. Aku suka sekali berkunjung ke rumah itu. Dia tetangga baru yang menyenangkan. Setiap kali berkunjung ke sana, aku selalu pulang dalam keadaan kenyang. Banyak sekali sajian istimewa yang kudapatkan dari rumah itu. Dia juga tidak pelit. Apa yang kudapat, boleh dibagikan kepada siapa pun yang kutemui.
Serdawa kencang dengan aroma yang menusuk kuembuskan kuat-kuat agar tercium oleh semua orang. Saat tak sengaja berpapasan dengan ibu-ibu lain, aku mengembuskan napas dengan kuat agar mereka tertarik. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah menyajikan apa yang kumakan. Kukabarkan kepada mereka betapa hidangan daging asap dari hati Bu Jamilah yang disajikan di rumah Bu Yati amat menggiurkan. Sebagian dari mereka akan berduyun-duyun mendatangi rumah Bu Yati untuk ikut mencicipi apa yang baru saja kumakan. Aku yakin, Bu Yati benar-benar tak keberatan untuk membagikan sajian kepada mereka.
Aku memang suka berbagi. Lihat, gerombolan ibu-ibu baru saja berbondong-bondong menuju rumah Bu Yati. Mereka penasaran dengan rasa daging asap yang baru saja kumakan. Tentu saja mereka ingin mencicipi daging itu. Selain memang rasanya yang menggoda, caraku menyajikan daging itu di hadapan mereka juga luar biasa memikat. Bahkan ada yang langsung meninggalkan pekerjaannya karena tertarik dengan caraku menyajikannya tadi.
Benar, aku suka sekali berbagi! Aku termasuk warga lama di kompleks ini. Semua orang akrab denganku. Mereka selalu menyukai apa saja yang kusajikan. Tapi dari sekian banyak ibu-ibu kompleks, aku paling malas menyajikan makanan di hadapan Bu Tuti. Dia tidak pernah terlihat berselera dengan sajian apa pun. Entah itu daging asap Bu RT, pindang kaki Bu Salsa, atau rendang hati Bu Jamilah yang kerap diberi bumbu madu, tak pernah menarik perhatiannya. Dia tak pernah menunjukkan selera pada apa pun yang kusajikan. Padahal, aku terkenal sebagai koki yang handal.
Saat aku benar-benar berpapasan dengan Bu Tuti, aku berniat tidak akan menyajikan apa pun. Namun, melihatnya hanya menunduk sepanjang jalan, aku tak tega membiarkannya semakin tidak percaya diri untuk bergabung dengan ibu-ibu yang lain. Jangan sampai Bu Tuti menjadi satu-satunya warga yang tidak mencicipi daging asap! Begitu pikirku.
“Bu Tut ….” Aku menyapa.
Sosok itu mengangkat kepala, tersenyum. Saat aku mulai membuka sajian daging asap yang menggoda, Bu Tuti segera menarik diri. “Saya buru-buru, Bu Ria, permisi.”
Aku menyumpah dalam hati. Dasar sombong!
Di rumah, aku tak berhenti melatih kemampuanku meracik sajian. Aku bukan koki kandang yang hanya bisa menyajikan makanan di hadapan para penghidang. Semua orang harus mencicipi apa yang baru saja kumakan. Melalui jalur digital, aku mengirim sajian dari rumah Bu Yati. Daging asap beterbangan, memenuhi rumah lalu keluar menuju desa seberang.
Sore hari, aroma daging asap dari hati Bu Jamilah semakin tercium aromanya. Bumbu yang menyatu dengan pedasnya rempah dan lumuran madu membuat gading itu amat menggoda untuk disantap. Semua ibu-ibu kompleks membawa pulang daging itu, mengolahnya bersama sanak famili.
Aku dan para ibu memasukkan daging itu dalam kemasan prihatin, lalu menyimpannya dalam selubung suka cita. Salah siapa, mengobati luka dengan madu?
Hingga malam hari, aku benar-benar kekenyangan. Serdawaku mengeluarkan aroma daging asap. Ruang tamu, dapur, bahkan kamar pun penuh dengan aroma daging asap dari hati Bu Jamilah. Saat aku dan suamiku hendak beranjak ke tempat tidur, aku kembali serdawa, mengeluarkan aroma daging asap yang lebih pekat.
“Kau menyajikan menu utama yang luar biasa. Biar kutunjukkan sesuatu. Hidangan penutup ini akan menjadi sesuatu yang kau sukai.” Suamiku membuka tabletnya, menunjukkan sesuatu.
“HS Grup di ujung tanduk?” Aku membaca judul berita.
Suamiku mengangguk. “Perusahaan HS Grup milik Pak Harso hampir dinyatakan pailit.”
Dia menyebut nama suami Bu Jamilah. “Tinggal menunggu waktu, merek dagang mereka akan dibeli perusahaan multinasional, dan itu berarti mereka bukan lagi pemiliknya.”
Ake serdawa lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aroma daging asap kembali menguar. Kuraih ponsel yang tergeletak di nakas, mulai mengirim sajian digital. Ah, aku memang suka berbagi! Aku tidak suka menikmati dessert ini sendirian. Saat itu juga, aku membuat semua ibu kompleks menikmati dessert yang dibawakan oleh suamiku. Astaga, kecuali Bu Tuti!
2020
Ade Trias, wanita kelahiran Pringsewu, 11 November 1991 adalah ibu rumah tangga yang menjadikan aksara sebagai ajang bersenang-senang.
Editor: Imas Hanifah N