Desember Terakhir Bagi Rukmini

Desember Terakhir Bagi Rukmini

Desember Terakhir Bagi Rukmini
Oleh : Siti Nuraliah

Hujan deras masih terus turun pada akhir bulan Desember. Rukmini harap-harap cemas menanti kepulangan suaminya. Dilihatnya lagi jam yang menempel pada dinding rumahnya yang terbuat dari bilik bambu yang setiap kali hujan deras terkena cipratan air hingga bilik bagian bawah rumahnya cepat lapuk.

Sudah tidak terhitung berapa kali Rukmini keluar-masuk rumah memastikan suaminya datang. Namun sampai hari sudah mulai senja, dan hujan sudah reda, ia belum mendapati ada tanda-tanda kedatangan suaminya. Melalui telepon pada tetangganya tempo hari, Ocid, suami Rukmini mengabarkan kalau dirinya akan pulang pada saat libur Natal. Rukmini masih berprasangka baik, mungkin subuh atau besok pagi baru sampai.

Pada besok paginya, Rukmini sudah bangun sejak pukul 4 subuh. Sebenarnya ia tidak bisa terlelap, hanya berusaha memejam-mejamkan mata saja sampai pagi buta. Ia menyalakan tungku, mendidihkan air untuk mengisi termos dan mengupas ubi jalar yang diambilnya dari belakang untuk dikukus—seperti yang sering dilakukannya saat Ocid masih belum nekat merantau ke ibu kota lantaran tekanan orangtua. Saat Rukmini dan Ocid masih seirama meski keuangan pas-pasan. Rukmini tidak pernah mengeluh, ia berbakti dengan sempurna kepada suaminya. Menyiapkan bekal nasi yang dibungkus daun pisang, meski terkadang hanya garam dan cabai sebagai lauknya untuk dibawa ke sawah.

Rukmini, ia perempuan sederhana yang kecantikannya alami khas kembang desa. Perangai yang baik, kalem, dan santun. Membuat setiap pemuda kampung terpikat kepadanya. Ocid hanya salah satu dari para pemuda itu. Ia beruntung menikahi Rukmini lantaran bantuan pamannya yang saat itu masih menjadi lurah di kampungnya. Ocid tak punya apa-apa, selain keberanian untuk mendatangi kedua orangtua Rukmini. Memang tidak mudah, bapaknya Rukmini seorang tetua kampung dan sangat disegani, juga merupakan tempat bertanya persoalan agama bagi masyarakat di kampungnya. Ketika bapak Rukmini telah meninggal, ibunya menyusul satu tahun kemudian tepat di bulan Desember tahun ke dua pernikahan Rukmini dan Ocid.

Kabar pernikahan Rukmini dan Ocid cepat sekali menyebar. Pemuda-pemuda yang tak cukup keberanian itu patah hari bersamaan. Ada yang berlapang dada, apa pula yang mengeluarkan sumpah serapah.

Tahun-tahun berganti, Rukmini tak kunjung dikaruniai buah hati. Hari-harinya mulai terasa sepi, ditambah lagi Ocid yang hampir setiap hari ditekan ibunya untuk mencari penghasilan lebih.

“Kamu tidak bisa hanya pergi ke sawah orang untuk menjadi kuli, Cid. Rukmini akan lebih cantik dan tubuhnya berisi kalau kamu beri uang banyak. Mungkin rahimnya juga akan lebih subur!”

Rukmini meneteskan air mata mendengar ucapan mertuanya. Ia tahu mertuanya tidak bermaksud menyakiti hatinya. Rukmini menantu kesayangan. Terbukti, mertuanya selalu datang mengantar makanan hampir setiap minggu. Namun, setiap itu juga penekanan kepada Ocid tak pernah alfa.

Saat itu, Ocid baru pulang dari warung kopi Bi Sarni. Ia mengabarkan pada istrinya kalau di warung kopi tadi, orang-orang ramai membicarakan tentang kabar perekrutan pegawai untuk bekerja di salah satu tambang emas ilegal. Masih kata bapak-bapak di warung kopi tadi, gajinya cukup menjanjikan. Karena ini ilegal, jadi minggu depan semua orang yang sudah mendaftar sebagai calon pekerja akan dijemput pada sore hari supaya sampai di sana tengah malam. Mulanya Rukmini tidak meridai kepergian Ocid, biar bagaimana pun Rukmini tahu nasib para pekerja ilegal tidaklah semanis iming-iming gajinya.

Sampai mertuanya akhirnya ikut menenangkan Rukmini. “Kamu tenang saja, Min. Biarlah Ocid pergi merantau. Biar bisa memperbaiki keuangan kalian. Lagi pula ini semua untuk masa depan keluarga kalian.”

Rukmini dengan berat hati melepas kepergian Ocid pada sore hari itu. Satu tas berisi penuh pakaian ganti yang telah disiapkan Rukmini bertengger di punggung Ocid yang cekatan melompat ke atas mobil colt diesel. Beberapa orang yang lain menyusul setelahnya. Kemudian mobil berjalan pelan lantas menghilang di ujung pandangan.

***

Malam kembali datang, hari ini sudah tanggal 27 Desember. Ubi kukus di dalam wadah besek—yang disiapkan untuk menyambut Ocid—teronggok begitu saja tak disentuh Rukmini sedikit pun. Matanya mulai berkaca-kaca, lagi dan lagi ia menatap ke luar pintu dan masih berharap hari ini Ocid datang. Namun jarum jam sudah bergeser ke angka delapan. Angin pun berembus sangat dingin. Rukmini berniat untuk menutup pintu. Namun seseorang tiba-tiba telah ada di hadapannya.

“Leman? Kamu mau ngapain?” Rukmini mundur beberapa langkah.

“Kudengar, Ocid tidak pernah pulang … Kamu pasti kesepian. Kamu tahu Rukmini, kamu membuatku tidak bisa tidur setiap kali melihat kalian berdua berjalan bergandengan, dan sesekali kamu mengangkat kain rokmu saat tanah becek hingga betis putihmu kelihatan. Aku selalu gelisah.”

Rukmini terus berjalan mundur, sementara Leman terus mendekat. Pintu ditutup dengan cara ditendang kasar ke belakang oleh Leman. Rukmini pucat pasi, ia tahu, Leman salah satu bujang lapuk yang menginginkan menikah dengannya. Leman tak pernah mendapat respon dari Rukmini lantaran pekerjaannya hanya nongkrong dan main remi di warung kopi.

“Aku datang untuk menemanimu, Rukmini. Si Ocid mandul itu sudah tidak pantas lagi untuk perempuan aduhai sepertimu. Aku tahu rahimmu pasti hangat kalau aku yang membuahi, Rukmini.” Leman menyeringai, napasnya memburu membuat Rukmini ingin muntah.

Air mata Rukmini telah tumpah-ruah, suara lembutnya tidak bisa berteriak lebih kencang. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sambil memohon-mohon. Sebab ia tidak makan selama hampir dua hari, tenaganya lemah. Rukmini semakin terpojok.

“Tidurlah denganku, Rukmini!”

Leman telah berhasil memeluk Rukmini. Mengendus-endus pipi Rukmini dengan sorot mata yang buas. Sementara air mata Rukmini terus menderas, meminta tolong dengan suara parau. Meski ia tahu suaranya tidak akan terdengar keluar. Sebab jarak rumah di kampungnya berselang-seling dengan kebun.

Rukmini berhasil menggigit tangan Leman, dan mencabut golok dari pinggang Leman. Dengan gemetar diacungkannya golok itu sambil berjalan mundur. Rukmini telah sampai dapur, Leman terkekek-kekeh sambil terus menghujani Rukmini dengan pujian dan kata-kata mesum. Ia tidak sabar, dipeluknya kembali tubuh Rukmini. Rukmini meronta-ronta, sebelah tangan Leman tergores golok. Ia mulai murka. Membekap mulut Rukmini dengan mulutnya. Menarik paksa kerudung Rukmini hingga terlepas. Rukmini ambruk, tenaganya hampir habis. Ditebas-tebaskannya golok itu dengan sembarang ke arah Leman. Satu tangan Leman berhasil menepis gerakan Rukmini membuat golok itu jatuh.

Rukmini menggeser tubuhnya, ia sudah tidak bisa melawan lagi, Leman telah hilang waras. Di cekiknya leher Rukmini sampai kehabisan napas. Rukmini telah rebah di lantai kayu rumahnya.

Pagi-pagi sekali, mertuanya kembali datang mengantar keripik pisang. Ia menjerit histeris melihat menantunya bersimbah darah di bagian alat vital dengan tubuh polos yang tidak tertutup kain sehelai pun.[]

Banjarsari, 10 Januari 2021

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana. Kadang suka menulis kadang suka membaca.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker kata

 

Leave a Reply