Terbaik Ke-8 dan Naskah dengan Ide Terbaik
Genre Folklore
Desa Tanpa Pelangi
Oleh: Ars Sina
Dua tahun terakhir Ibu jadi bersikap aneh. Dia melarang keras aku masuk ke kamar tamu yang terletak dua belokan dari kamarku, padahal dulu-dulunya ruangan itu sering kujadikan ruang bermain bersama teman-temanku. Kami sering membawa boneka-boneka kami ke sana dan bergumul seharian di sana. Tapi suatu hari Ibu berkata, “Ruangan itu sekarang jadi gudang. Kotor. Tak boleh ke sana.”
Tentu saja aku kecewa, teman-temanku pun sama. Daripada main di luar, tempat yang penuh lumpur dan membuat boneka-boneka kami jadi kotor, lebih enak memang main di dalam kamar. Tapi kamarku sempit dan aku sering terantuk sudut kayu meja belajarku, sehingga ya paling enak bermain di kamar tamu. Ruangannya luas dan perabotannya minim sebab hanya ditempati oleh tamu yang sesekali datang dan pasti pergi.
Kusampaikan protes itu kepada Ibu, tapi Ibu jadi marah-marah dan mengataiku anak bandel karena tak langsung menuruti perintahnya.
“Baiklah, Bu.” Akhirnya aku menurut.
Apalagi kemudian, hujan berhenti turun di desa kami sehingga halaman rumah kami tak lagi dipenuhi tanah becek berlumpur. Boneka-boneka kami pun bebas turun menyentuh rumput yang hijau setelah kami lempar-lempar dan jatuh di sana.
Awalnya, semuanya berjalan dengan riang. Sampai Una, salah satu temanku, tak bisa datang bermain karena di rumahnya tak ada air bersih untuk mencuci baju-baju kotornya yang sudah menumpuk. Katanya lagi, keluarganya tak punya uang untuk beli baju bersih yang baru dan dia terlalu malu kalau harus main dengan tubuh telanjang. Tahun ini kami memang berumur dua belas tahun—belum dewasa, tapi sudah akil balig. Lalu Sri juga tak bisa datang bermain karena kulitnya kena koreng saking jarangnya dia mandi akhir-akhir ini. Dia juga sempat pingsan karena tak minum air sampai dua hari. Sementara Astuti sedang terpuruk bersama orang tuanya lantaran panen padi mereka gagal, ternak mereka juga mati gara-gara cuaca terik yang tak henti-henti.
Berbagai keluhan kudengar di mana-mana, dari yang sepele sampai yang menyesakkan dada. Semua karena hujan berhenti turun di desa kami selama dua tahun penuh.
***
Hari ini aku dan teman-teman memutuskan untuk menjenguk Sri. Sebenarnya, aku lumayan takut-takut—takut tertular. Tapi mau bagaimana lagi, bagaimanapun Sri adalah temanku juga.
Sesampainya di rumah Sri, kulihat kondisinya memang lumayan parah. Tangan dan kaki hingga betisnya dipenuhi koreng yang masih basah, beberapa mengandung nanah berwarna putih kekuningan, persis warna susu kental manis. Jari-jari tangannya mesti dia mekarkan lebar-lebar supaya antara luka di jari-jarinya tidak berbenturan. Kubayangkan betapa tak nyamannya berada di posisi Sri. Tapi dia cukup tabah dan tersenyum menyambut kami. Dia bahkan berjalan sendiri untuk menyuguhi kami hidangan ringan, tanpa minuman, dengan hati-hati. Sekarang air jadi langka dan mahal di desa kami.
“Besok aku dan keluargaku akan pindah ke desa sebelah. Di sana hujan masih turun dengan teratur,” ucap Una saat kami sudah selesai menanyai keadaan Sri. Una baru berani keluar rumah setelah kuberikan baju lungsuranku.
“Keluargaku sebentar lagi juga akan pindah. Kami rugi besar karena panen dan ternak kami mati,” Astuti menimpali dengan desahan berat, sikapnya jadi tampak beberapa tahun lebih dewasa dari umurnya.
“Ini gara-gara ada yang mencuri pot emas di ujung pelangi,” sentak Sri, tiba-tiba. Entah lupa atau sudah tak tahan dengan gatalnya, masing-masing jari Sri tak lagi dimekarkan. Tangan kanannya ditumpukan di atas tangan kirinya dan dia mulai menggaruk. Kulihat beberapa luka korengnya yang matang jadi meletus.
“Kamu percaya mitos itu?” tanyaku sambil mengerutkan dahi, heran sekaligus bertanya-tanya, apakah hanya aku yang mulai mencium bau amis ini di udara?
“Tentu saja. Semua orang di desa ini percaya.”
“Memangnya kamu pernah melihatnya secara langsung?” sergahku.
“Ya, memang belum. Tapi semua orang di desa ini percaya. Kalian percaya juga, ‘kan?” Kali ini Sri menatap ke arah Una dan Astuti secara bergiliran. Lalu kedua temanku itu pun mengangguk kencang.
Oh, ternyata hanya aku sendiri yang berpikiran waras di sini, sama seperti hanya aku sendiri yang terganggu dengan bau amis ini. Una dan Astuti duduk dengan nyaman saja di kursi mereka, hidung mereka juga tidak kembang kempis seperti hidungku. Lagi pula, sejak kapan Una dan Astuti kompak dengan Sri? Biasanya mereka paling dekat denganku dan lebih berpihak kepadaku.
“Katanya, selain berisi emas batangan, koin emas, kalung emas, dan segala yang berwarna emas. Pot itu juga dijaga oleh peri yang sangat kuat. Peri itulah yang menampung sisa-sisa hujan untuk kemudian ditumpahkan lagi dari langit di hari berhujan selanjutnya. Begitu seterusnya. Tapi karena pot emasnya dicuri, tentu saja tak ada yang menampung hujan di desa kita lagi. Hujan turun begitu saja ke tanah dan lenyap. Sama seperti desa ini, sebentar lagi akan lenyap. Aku dan keluargaku juga akan pindah.” Sri bercerita dengan penuh keyakinan, mengulang apa yang sering diceritakan oleh orang tua-orang tua di desa ini.
“Kira-kira siapa, ya, yang sudah menaklukkan peri itu sampai bisa membawa kabur pot emasnya?”
“Yang pasti dia orang jahat. Karena keserakahannya, desa kita jadi kekeringan.”
Aku mendengarkan saja semua celotehan itu, tak habis pikir kenapa teman-temanku ini masih menganggap serius mitos yang diceritakan oleh orang tua kami dulu. Waktu masih umur tujuh tahun, aku mungkin menganggap serius cerita itu, bahkan merencanakan perburuan pot emas bersama Ibu. Kami menggambar denah desa di atas kertas panjang dan menebak-nebak di mana kiranya ujung pelangi turun, muara berisikan pot emas itu.
Tapi itu hanyalah permainan yang diatur Ibu untuk mengalihkan kesedihanku karena ditinggal Ayah. Beberapa hari setelah kesedihanku mereda, misi perburuan pot emas sudah jadi rencana usang dan peta yang kami gambar pun terbengkalai entah di mana.
“Oh iya, bagaimana denganmu? Kamu tidak mau pindah juga? Tapi sepertinya kamu baik-baik saja. Memangnya di rumahmu tidak kekurangan air?”
Pertanyaan Sri membuat kedua teman kami menoleh kepadaku.
“Tentu saja di rumahku juga kekurangan air. Tapi untungnya, Ibu sudah memasok beberapa galon air mineral untuk jatah minum kami. Kami tinggal berhemat saja,” jawabku. Tak kukatakan bahwa aku juga mandi dan mencuci baju dengan air mineral galonan itu. Jangan sampai teman-teman membenciku karena iri.
“Beli air galonannya ke kota, ya? Pasti mahal. Air sumur saja mahal.”
“Dari mana ibumu dapat uang? Dia, kan, tidak kerja. Tidak seperti ibu-ibu kami yang kerja kasar turun ke sawah.”
Aku ternganga. Ternyata, tanpa menyebutkan soal mandi dengan air galonan pun teman-temanku sudah iri karena aku masih tetap bisa hidup enak di tengah kekeringan desa kami. Aku jelas-jelas tersinggung karena mereka berani-beraninya menuduh ibuku. Tapi tanpa memedulikan raut tersinggungku, percakapan bergulir dengan ganas begitu saja.
“Jangan-jangan apa yang dikatakan ibuku soal ibumu itu benar. Ibumu adalah—”
“Hei, sudah, jangan kelewatan.”
“Iya. Belum tentu gosip itu benar.”
“Tapi bukan cuma ibuku yang bilang, ibu-ibu yang lain juga sering bilang kalau ibunya—”
Keterlaluan. Aku langsung angkat kaki dari rumah Sri. Bahkan tanpa mengucapkannya sampai tuntas, aku tahu ke mana arah ucapan mereka. Ibuku memang sudah lama menjanda, tapi dia bukan perempuan simpanan!
***
Aku tiba di rumah dengan kondisi hati panas. Langkahku gradak-gruduk memasuki kamar, mengempaskan tubuh di ranjang, dan memeluk boneka. Ah, tidak, aku tidak mau memeluk boneka. Ini adalah sisa-sisa barang yang selalu kugunakan untuk bermain bersama mereka, teman-teman yang entah sejak kapan sudah tak jadi teman-temanku lagi. Apa selama ini mereka memang begini? Diam-diam membicarakanku dan Ibu di belakangku?
Kuhempaskan boneka itu ke lantai. Kesal-kesal-kesal. Biar saja Sri korengan sebadan, biar tahu rasa dia menanggung bau amis dan gatal.
Tapi … kalau dipikir-pikir, aku memang penasaran juga dari mana Ibu memperoleh uang. Ibu benar-benar pengangguran. Sehari-hari dia hanya tinggal di rumah dan menonton sinetron di televisi. Satu-satunya pekerjaannya hanya membereskan rumah dan membuatnya mengilap bak dipernis kembali.
Apa jangan-jangan Ibu memang seorang perempuan simpanan? Tapi Ibu jarang meninggalkan rumah. Jadi mana mungkin dia main gila dengan pria lain di luaran sana.
Kecuali … Ibu melakukannya di rumah ini. Mungkin di kamarnya sendiri atau bisa jadi di kamar tamu yang sudah jadi gudang. Jangan-jangan, sebenarnya Ibu melarangku memasuki kamar itu karena tidak ingin aku tahu bahwa alih-alih berubah fungsi jadi gudang, kamar tamu itu beralih jadi losmen tempatnya berzina?
Astaga, jahat sekali pikiranku kepada ibu sendiri.
Tapi aku tidak ingin diam saja. Aku ingin melakukan sesuatu untuk membuktikan atau paling tidak menepis bahwa tuduhan teman-temanku tidak benar. Aku ingin melihat sendiri isi kamar itu.
Seakan-akan semesta sedang mendukung rencana dadakanku, saat ini Ibu sedang tidak di rumah karena sedang membeli air galon ke kota—tadi Ibu sudah berpesan sebelum aku berangkat ke rumah Sri.
Aku berjalan ke arah bekas kamar tamu itu, berjingkat perlahan meskipun tahu Ibu tidak ada di rumah. Entah kenapa aku dibayangi perasaan bersalah karena akan melanggar perintah Ibu. Aku pun mengambil kunci yang Ibu sembunyikan di balik taplak di atas kulkas. Aku tahu selama ini Ibu menyembunyikannya di sana, tapi aku tak pernah melanggar janjiku kepada Ibu karena takut. Hari ini, aku masih takut, tapi sekaligus kesal. Semoga Ibu bisa memahami perasaanku dan memaafkanku kalau aku ketahuan.
Pintu terbuka dengan mudah setelah aku memasukkan kunci. Benar saja, ternyata Ibu berbohong soal mengubah kamar tamu ini jadi gudang. Kamar tamu ini tetap menyerupai kamar yang kuingat: dengan kasur, meja mahoni, dan sebuah lemari tempat penyimpanan selimut bersih. Tak ada yang berubah, kecuali satu hiasan kamar yang tampak mencolok yang diletakkan tepat di sebelah ranjang. Sejak kapan Ibu suka mengoleksi kendi?
Aku berjalan perlahan menghampiri kendi yang tampak sompal di beberapa tepiannya. Kendi bulukan itu lebih pantas jadi tempat menyimpan gabah daripada sebagai hiasan kamar. Entah apa alasan Ibu meletakkannya di tempat ini.
Namun, saat tiba di samping kendi dan melongok ke dalam isinya, aku terkejut sampai terlompat ke belakang. Isinya emas. Apa aku tidak salah lihat?
Aku menggeleng-geleng, berusaha menepis semua teori dalam kepalaku, terutama teori soal Ibu yang mencuri emas dan mengumpulkannya di kendi ini. Masa iya ibuku pencuri?
Aku kembali berjalan mendekati kendi itu, lalu kembali dibuat terpana oleh kilau kuning yang sebelumnya tak kulihat—atau tak kusadari.
Ini benar-benar emas?
Aku memungut beberapa benda itu. Ada emas batangan, koin emas, kalung emas, dan bermacam bentuk emas yang lain. Tunggu, kenapa ini terasa familier?
Aku pun teringat kata-kata Sri tadi .
Sayangnya, semuanya sudah terlambat. Dari dalam pot emas yang kusalahpahami sebagai kendi itu, menguar asap pekat yang membubung ke udara, kemudian dalam bunyi meletup yang keras, muncullah seorang peri.
Tak ada yang mengatakan bahwa peri penjaga pot emas adalah peri jantan. Terutama tak ada yang memperingatkan bahwa peri jantan itu amat berahi.
“Sumarni,” dia menyebut nama ibuku dengan parau, kemudian menyergapku.***
Dini hari, 25 Maret 2023
Ars Sina, menulis baginya adalah sebuah perjuangan.
Komentar juri:
Tantangan Lokit kali ini mengusung genre folklore dan peserta bisa saja membuat sebuah dongeng ciptaannya sendiri. Dan penulis “Desa Tanpa Pelangi” berhasil membuatnya. Terlebih lagi bagian ending-nya mengejutkan sekaligus ngeri. Penulis menyebutkan tentang peri penjaga pelangi, yang mana secara tidak langsung, kita akan membayangkan seorang peri yang cantik, baik, dan hal-hal positif lainnya seputar peri. Namun, di dongeng ini penulis menjungkirbalikkan imajinasi kita. Tak ayal, tim juri sepakat bahwa cerpen ini berhak mendapat kategori naskah dengan ide terbaik. Selamat!
—Hassanah