Derita Ayara
Oleh: Lilik Eka
“Aaa! Ampun, Bang! Ampun!” jeritan seorang perempuan terdengar mendekat dari arah tangga.
Dua pria kekar menyeret seorang gadis dengan kasar. Sesekali salah satu di antara pria itu menampar wajah gadis malang tersebut. “Diam! Ini balasan karen kamu sudah berani mencoba kabur! Menyusahkan saja!” Gadis yang diseret terlihat menyedihkan. Luka lebam di tangan dan kaki, baju yang robek sana sini, dengan wajahnya seperti badut karena make up-nya yang luntur.
Dengan kasar, dua pria itu mendorong sang gadis masuk kamar dan menutup pintu. Saking kerasnya, suara dentuman pintu itu menggema, mengejutkan sekaligus membuat takut semua penghuni rumah besar tersebut.
Di balik pintu kamar lainnya, seorang gadis mengintip dengan takut-takut. Dia adalah Ayara. Gadis yang seminggu lalu juga mendapat perlakuan yang sama ketika mencoba kabur. Segera, Ayara beringsut dan menutup pintu kamarnya dengan rapat. Untuk mengurangi rasa takut, Ayara hanya mengintip dari balik tirai jendela.
Di bawah jendela kamarnya, terdapat lapangan kecil yang setiap sore dipenuhi ibu-ibu dan balitanya. Ada yang menyuapi, ada juga yang hanya duduk sambil menyusui. Gelak tawa mereka terdengar dan itu membuat iri, juga menambah kesedihannya. Ayara senang melihat mereka, tetapi dia begitu malu untuk memperlihatkan diri. Karena yakin semua orang di komplek itu mengetahui apa yang dia lakukan setiap malam.
Ayara menarik napas panjang kala mengingat bagaimana dia bisa sampai di rumah dan tinggal bersama orang-orang kejam itu. Dia pun menyesal telah percaya begitu saja pada teman SMP-nya yang menawarkan pekerjaan. Akan tetapi, keadaan keluarga memang mendorongnya mengambil keputusan dengan cepat. Dia ingin membantu membiayai kedua adiknya dan meringankan beban sang ibu.
Nyatanya pekerjaan yang dia dapat tidak sesuai janji sebelumnya. Ayara bukannya bekerja di warung Padang, akan tetapi, dipekerjakan sebagai pemandu karaoke dan harus siap menemani tamu sepanjang malam. Tak jarang dia berakhir di salah satu kamar yang telah disediakan. Adalah Nyonya Sela, pemilik tempat itu. Dengan menggunakan uangnya, segalanya berjalan sesuai kemauannya. Mengurung semua pegawainya dalam rumah besar berpagar tinggi dan dalam pengawasan pengawal yang kejam.
Gadis desa seperti Ayara dengan mudah tertipu dan menjadi korban. Melayani pria-pria yang berbeda setiap malam, mendapatkan “lukisan” di sekujur tubuhnya yang tak mudah dihapus serta tulang terasa remuk di pagi hari karena harus memberikan pelayanan sempurna. Jika tidak memberi kepuasan, kemudian pelanggan kecewa dan melapor pada Nyonya Sela, maka tangan dan kaki pengawal Nyonya Sela yang akan singgah di tubuh Ayara juga teman-temannya.
“Ayara! Cepat keluar!” Panggilan itu membuat Ayara terhenti dari lamunannya. Ketakutan yang sempat menipis karena melihat aktivitas ibu-ibu komplek seketika datang lagi.
Tanpa menjawab, Ayara melangkah ke arah pintu kamar dan membukanya. Dilihatnya Nyonya Sela sudah duduk di sofa ruang tamu dengan gaya yang angkuh. Memakai dress merah menyala, make up tebal dengan rambut dikonde dan di sana tersemat pula hiasan rambut dengan warna senada. Tatapan tajam yang diberikan Nyonya Sela, semakin menciutkan nyali Ayara.
Ayara berjalan, menunduk dan kemudian duduk di sofa seberang tempat duduk Nyonya Sela. Ayara, seorang wanita dua puluh dua tahun dengan kulit kuning langsat, rambut ikal, wajahnya sungguh manis, bibirnya tipis, meskipun hidungnya kecil, tetapi sangat pas dengan mata indahnya yang dihiasi bulu lentik itu duduk dengan takut.
Ayara sedikit gemetar. Dia hapal betul jika Nyonya Sela memanggil, berarti ada sesuatu atau dia telah melakukan kesalahan dan harus siap menerima hukuman. Hanya kali ini, Ayara sungguh tidak tahu apa kesalahannya.
“Kau, tahu kenapa aku panggil?” tanya Nyonya Sela dengan nada penuh penekanan. Sementara dua orang pengawal yang berdiri tak jauh darinya ikut menatap tajam pada Ayara.
Mendengar itu, Ayara mendongak, lalu menggeleng dan menunduk kembali. Kedua telapak tangannya saling menggenggam, seolah tangannya itu berusaha menguatkan satu sama lain.
Nyonya Sela mencebik kemudian mengambil handphone dari dalam tas kecil warna merah yang ada di pangkuannya. “Halo … anak gadisku sangat berharga dan laris manis, jadi aku minta lebih dari biasanya jika Anda ingin membawanya beberapa hari. Apa Anda sanggup?” ucap Nyonya Sela dengan tegas. Hanya sesaat, percakapan Nyonya Sela dengan entah siapa itu. Setelah itu, dia masukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
“Bersiaplah, Ayara! Satu jam lagi Tuan Cris akan menjemputmu. Temani dia di rumahnya. Istrinya pulang ke negaranya selama satu minggu. Tapi ingat! Layani dia dengan sebaik-baiknya! Jika tidak …..”
Nyonya Sela tidak melanjutkan perkataannya. Dia yakin Ayara sudah mengerti apa yang dia maksud. “Satu lagi! Jangan coba-coba lari lagi! Kalau tidak ingin kakimu patah!” lanjut Nyonya Sela.
Mendengar ancaman itu, Ayara hanya bisa mengangguk pasrah. Dia berdiri dan kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Dia juga tak ingin lebih lama lagi bertatap muka dengan orang yang sangat dia benci itu.
Di dalam kamar, Ayara membuka lemari dan mengambil baju, serta tas warna merah yang akan dia gunakan membawa keperluannya selama tinggal di rumah Tuan Cris. Saat membuka tas merah, Ayara mendapati foto ibunya yang tengah menggendong adik bungsunya. Foto itu diambil saat ada hajatan tetangganya.
Ayara menatap foto itu dengan tatapan penuh rindu. Tanpa terasa, air matanya menetes. “Maafkan Ayara, Mak,” ucapnya lirih sambil terisak.
Beruntung foto itu tidak diambil Nyonya Sela, seperti KTP dan ijazahnya yang sejak awal telah di ambil sebagai jaminan. Selain identitas yang diambil, Ayara tidak pernah diberi uang hasil kerjanya. Dia seperti robot yang digerakkan dengan remote. Segala kebutuhan Ayara telah disediakan. Apa yang harus dilakukan juga telah diatur termasuk kapan dia boleh telepon emaknya.
Dia juga diperbolehkan mengirimkan uang pada emaknya meskipun dengan jumlah yang ditentukan. Hal itu sudah cukup membuatnya bersyukur karena Emak dan adiknya tidak akan kelaparan.
Tak berapa lama, Ayara dikejutkan oleh suara pengawal yang telah berada di dekat pintu kamar.
“Beberapa hari ini, Kau banyak melamun. Cepat, Tuan Cris sudah datang dan menunggu di bawah!” teriak salah satu pengawal Nyonya Sela.
Dengan cepat Ayara mengambil beberapa baju dan semua keperluannya, memasukkan ke tas merah tadi dan tak lupa foto emaknya diselipkan di antara lipatan bajunya. Ayara berdiri sambil menenteng tas, kemudian berjalan keluar kamar.
Ayara melangkah dengan cepat dan sedikit menyenggol bahu pengawal. Ayara tak mempedulikan tatapan kesal pengawal itu. Dia terus melangkah menuju tangga turun sambil menenteng tas merahnya. Menuruni tangga dengan rasa tenang yang dia buat-buat, sementara di otaknya banyak rencana telah dia susun.
Langkah Ayara terhenti. Di depannya berdiri perempuan paruh baya berpakaian serba putih, membawa baki yang di atasnya terdapat piring berisi nasi dan lauknya, serta gelas berisi air. “Mau, ke mana? Ayo masuk lagi. Waktunya makan siang. Nanti saja perginya, ya,” bujuk perempuan itu.
Ayara, gadis manis yang malang itu tidak pernah sampai ke rumah Tuan Cris. Kecelakaan beruntun telah membuatnya lupa segalanya.
“Malang sekali nasibmu, Nak,” ucap perempuan itu sambil sesekali mengusap rambut indah Ayara. (*)
Balikpapan, 15 November 2021
Lilik Eka, Ibu yang ingin memberi contoh pada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata