Deril yang Lucu

Deril yang Lucu

 

Oleh: Lutfi Rosidah

 

“Bagaimana bisa, Ibu membuat keputusan sepihak seperti ini?” Masih jelas kalimat Deril dengan muka merah penuh amarah.

 

Anak itu memang emosional. Tak pandang siapa yang diajak bicara, dia selalu mengekspresikan ketidakpuasan dengan sepenuh hati. Aku tak begitu peduli. Hidup ini milikku, terserah akan kubawa ke mana. Jika harta yang dia mau, terserah mau dia habiskan di meja judi atau apalah. Memang salah ayahnya tak mendidiknya dengan benar.  

 

Sebuah kerikil terasa menusuk telapak kakiku. Aku lupa pakai sepatu. Kapan terakhir aku memakainya? Kakiku sudah tampak hitam berdebu, goresan di ujung-ujung jariku terasa perih. Aku memang sering lupa belakangan ini. 

 

Kulanjutkan perjalanan. Aku yakin tempat yang kutuju sebentar lagi akan kutemui. Kembali aku lupa kemana sebenarnya tujuanku. Sebentar biar kuingat-ingat. Suara Deril kembali bergema di dalam kepalaku. “Buang semua baju kotor itu! Tak sepantasnya rumah semegah ini dipenuhi tumpukan baju rongsokan. Dasar bau tanah!”

 

Aku mengendus bajuku. Ah! Tak ada rasa tanah. Aku masih sewangi terakhir kali mandi. Anak itu memang selalu berlebihan. Dia dulu selalu membuatku tertawa. Saat kata pertamanya yang cadel memanggil Yayah pada Arjo. Kami tertawa sampai malam, mengingat dia mengulang-ulang ucapannya. Jejak langkah pertamanya tertatih-tatih, sekali tersungkur seisi rumah penuh dengan suara tangisannya. Deril kecil jauh lebih menyenangkan. Seiring waktu berlalu, bocah kecil itu berubah jauh dari keinginanku.

 

Sekelebat sosok Arjo tampak di kejauhan. Kelakuannya masih sama seperti saat masih hidup. Dia gemar membuat kejutan untukku. Ketika aku tertidur pulas di ruang tamu, menunggunya yang tak kunjung pulang. Aku tak menyadari apa yang terjadi hingga kurasakan embusan napasnya di atas tubuhku di atas ranjang. Kecupan manis yang membuatku ingin menghabiskan malam dalam pelukannya. Dia memuji betapa cantik diriku meski tanpa riasan dan rambut sudah awut-awutan. Ah! Arjo, aku sangat merindukannya.

 

Dia semakin dekat, hatiku makin berdebar. Bajunya masih sama dengan baju yang dia kenakan malam kemarin. Aku mencoba bertanya tapi dia tak mau menjawab. Tangannya meraihku, menarikku dalam pelukannya. Dia benar-benar nyata. Aku tak akan percaya jika tak merasakan basah bibirnya dalam bibirku. Dia Arjoku.

 

Kueratkan pelukanku, dia membalas dengan sama eratnya. Aku menangis, tergugu, makin membenamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya wangi seperti biasanya. Di sini sungguh hangat. Dan aku tertidur.

 

Aku terbangun merasakan titik air mengenai wajahku. Hujan membasahi dedaunan beringin di atasku. Hari mulai petang. Aku ingat akan pergi ke suatu tempat yang jauh. Aku tak mau ditemukan oleh Deril. Sudah cukup caciannya. Aku lelah sekali.

 

Seekor kucing mengeong di dekatku. Ya Tuhan aku lupa memberi makan si Manis pagi tadi. Semoga ada sebungkus whiskas dalam tasku. Biasanya aku tak pernah lupa membawakan makanan kesukaanya. 

 

“Lihatlah Manis, aku Tuan yang baik, bukan? Aku tak lupa membawakanmu makanan. Lalu kenapa kamu yang gak patuh padaku? Kamu tak akan terluka jika tak menyeberang sembarangan kemarin. Deril memang sering gak mengindahkan permintaanku meski hanya menjaga Manis.”

 

Kemarin putraku satu-satunya menguburkan Manis di kebun belakang. Sudahlah, semua bakal baik-baik saja. Setelah ini kamu akan lebih baik. Apakah kamu bertemu Arjo? Pertanyaan yang hanya diajawab dengan meongan.

 

Kembali aku melangkah. Seharusnya aku sudah sampai seperti kata Danti, sahabatku. Dia paling pandai berias ketika SMA. Setiap ada kegiatan pentas seni dia akan berlagak bak MUA profesional. Membuat semua orang berdecak kagum melihat hasil kerjanya. Jika kami bertemu nanti dia berjanji akan membuatku kembali cantik.

 

Kerongkonganku terasa kering, kurogoh tas, kuharap masih ada air minum atau apa pun di sana. Nihil.

 

Jalanan makin ramai, suara klakson bersahutan menambah panas matahari terasa makin menyengat. Arjo bilang di kota menyenangkan: banyak gedung pencakar langit, taman-taman indah, mall yang dia gambarkan seperti pasar super besar yang rapi dan wangi, juga udaranya sejuk. Tapi kurasa dia membohongiku. Arjo jadi gemar mengada-ada belakangan ini. 

 

“Kamu bisa hilang di tengah kota. Jangan pernah sendirian ke sana,” Arjo membelai rambutku, mengecup keningku lembut. Dia memang sedikit posesif.

 

Aspal terasa panas di kakiku yang telanjang. Tapi sakitnya tak sebanding dengan sakit hatiku pada Deril. Anak itu banyak berubah.

 

Aku lupa sejak kapan anakku berubah. Mungkin sejak aku sering lupa. Atau … sejak ada perempuan lain di rumah. Sudah kukatakan, jangan bawa perempuan sembarangan ke rumah. Contoh Ayahmu, biar dia banyak uang, sering keluar kota, tak pernah sekali pun pulang membawa perempuan sembarangan. Kalau hanya gadis dengan rambut kaku berwarna merah–seperti warna rambut kanak-kanak desa yang sering slulup di sungai, dengan baju yang, ah! Seperti tak cukup bahannya. Setiap duduk, dia bingung menarik-narik roknya yang hanya sejengkal. Buat apa aku susah-susah melahirkanmu. Mengapa tak mencari istri yang baik?

 

Dua hari dia tinggal di rumah, bagiku seperti 2 bulan. Dia terus saja merengek pada Deril dengan suara mirip kucing tergencet pintu. Selalu saja ada yang kurang di rumahku. Rumah besar yang dibangun Arjo setelah 5 tahun pernikahan kami menjadi terasa sempit karena setiap saat berpapasan dengannya. Dia tak mau makan masakanku, dia tak mau memakai toilet setelahku. Dia, sungguh dia membuatku emosi. Dan Deril selalu menganggap aku yang salah.

 

Langit makin gelap, pandanganku juga bertambah gelap. Sejak dokter memberi tahu jika rabun senja bisa menyerang siapa saja, aku mulai paham maksud perkataannya. Aku tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, kakiku terasa sakit. Arjo membohongiku, sampai langkah kaki sejauh ini tak kutemukan juga kota yang sejuk. 

 

Kukeluarkan kertas dari dalam tas, percuma, aku bahkan tak bisa membaca tulisannya. “Danti, sepertinya aku tak akan pernah menemukanmu.”

 

“Nek, nenek sedang apa?” Sebuah tangan menyentuh tanganku.

 

Aku mendongak, ada wajah cantik, bersinar, tersenyum padaku. Tiba-tiba aku menjadi bisu. Kuulurkan kertas di tanganku. “Oh! Ikut saya. Luka Nenek harus diobati.”

 

Aku mencoba menjelaskan, aku baik-baik saja. Tapi tak ada kata yang keluar dari mulutku. Dia hanya menepuk-nepuk punggungku dan memapahku berjalan. Aku mencoba menolak, tangannya makin mencengkeram. “Iya, iya. Nenek jangan takut.”

 

Tanganku berusaha menepis tangan perempuan ini. Datang lagi dua orang ikut memegangi badanku. Pandanganku semakin buram, kugelengkan kepala demi menepis gelap, tapi sia-sia. Di kejauhan tampak Deril kecil berlari mendekat, memakai jas hujan kuning kesayangannya. Memainkan sepatu boots di antara genangan air hujan. “Mama, Mama,” panggilnya. Ah! Deril yang lucu.(*)

 

Lutfi Rosidah, penyuka warna coklat tapi lebih percaya diri memakai baju warna pink.














Leave a Reply