Derai Maya Episode 5

Derai Maya Episode 5

Derai Maya Episode 5

“Ma, nanti aku mau lembur. Sekalian makan malam bersama teman-teman di kantor. Jadi nggak usah ditunggu. Mama langsung istirahat saja.”

Aku mencium punggung tangan mama, lalu menaiki motor bebek hitam menuju kantor yang ada di tengah kota.

Udara pagi ini sejuk, belum banyak kendaraan yang memuntahkan asap. Aku paling suka suasana pagi hari, begitu tenang dan damai. Setibanya di kantor, sudah banyak teman yang datang. Para wanita memakai baju potongan longgar dan jilbab lebar menutupi pinggul. Pegawai pria berseragam hem lengan panjang dan celana semata kaki. Kami akan melakukan kegiatan rutin pagi hari, menyimak dan membaca Alquran selama tiga puluh menit.

Kami semua yakin, bila hari dibuka dengan Kalam Ilahi, kesulitan dan tantangan dalam pekerjaan akan diberikan solusi. Buktinya, setelah menerapkan itu, donatur lembaga ini semakin melonjak. Artinya, bisa membantu lebih banyak orang yang membutuhkan.

Hal lain yang harus dilakukan adalah salat dhuha. Bisa berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Dengan harapan rejeki hari ini dibuka lebar-lebar dan bisa memenuhi kebutuhan. Setelah itu, barulah karyawan melakukan pekerjaannya masing-masing. Hatiku benar-benar terjaga dengan lingkungan kantor. Tak pernah terbesit untuk menitipkan rasa pada lelaki saleh yang rela bekerja demi kemanusiaan.

Terlalu keji bila sampai itu terjadi.

Namun, dalam sekejap, kedamaian mulai terusik. Saat seorang pemuda mengetuk pintu kantor untuk wawancara. Dia lelaki berwajah bersih yang tempo hari mengantarkan ibunya ke rumah Syita.

“Silahkan duduk, Bapak Yatno.” Aku memberi tanda agar dia duduk sambil memegang berkas lamaran pekerjaannya.

“Terimakasih, Pak.”

Tak disangka, Yatno menjabat erat tanganku. Mengirimkan kejutan listrik yang membuat seluruh indraku beku.

Aku tahu, Yatno adalah jurang menganga. Siap untuk menangkap, ketika kaki ini terpeleset.

“Sepertinya saya pernah melihat Anda,” ujar Yatno tanpa melepaskan jabatan. Aku gelisah, otot di bawah sana menegang.

“Saya calon suami Syita, tempo hari kita pernah berjumpa sekilas.” Aku lega karena Yatno melepaskan genggaman. Lelaki rupawan itu menepuk kepala.

“O, iya. Makanya saya kok pernah melihat entah di mana.”

Yatno duduk tegak, siap diwawancara. Aku mulai dengan pertanyaan standar mengenai data pribadi, keahlian yang dipunyai dan alasan kenapa melamar di tempat ini.

“Saya harus bekerja, Pak. Ibu saya sakit-sakitan setelah ditinggal Bapak. Juga untuk membayar hutang. Sepetak sawah peninggalan almarhum Bapak tidak jadi diambil Bu Marini. Tapi saya harus menebusnya dengan bunga yang sangat tinggi. Tolong terimalah saya ….”

Pemuda yang berusia enam tahun di bawahku itu menunduk. Ia meremas-remas tangannya. Entah kenapa aku merasa sangat kasihan dan ingin menolongnya.

“Baiklah, Bapak Yatno. Kalau sampean diterima, dalam waktu tiga hari akan ada yang menghubungi. Sekarang, saya akan wawancara pelamar berikutnya.”

“Baik, terimakasih, Pak. Saya undur diri dulu.”

Kembali Yatno meraih tanganku. Menekannya erat. Kehangatan itu menyapa lagi, mengirimkan sinyal-sinyal kerinduan. Mendadak aku ingin merengkuh sosok itu dalam dekapan.

“Permisi, Pak. Assalamualaikum.” Yanto undur diri, dia tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Waalaikumussalam.”

Lesung di kedua pipinya menenggelamkanku. Gelombang hasrat liar menari-nari di atas kepala. Segera kuucap istighfar, menepis jauh-jauh bayangan semu.

Namun, debaran itu masih tertinggal. Di sini, di rongga dada ini. Wawancara kerja terpaksa kuhentikan selama dua puluh menit. Aku butuh waktu menenangkan diri. Menghentikan dentuman yang mendobrak pertahanan.

Aku harus bisa. Aku pasti bisa. Aku bisa!!!

Yaa Allah, tolonglah hamba-Mu ini.

***

(POV Syita)

Kami masuk ke dalam rumah modern minimalis bernuansa abu-abu. Sofa empuk berwarna gading menyambut pandangan. Meja kayu jati bulat penuh ukiran menambah elegan ruang tamu rumah itu. Aku seperti masuk dalam dunia lain, mungkinkah anak orang berada ini memilihku menjadi pendampingnya? Mimpi apa aku semalam?

Buah tangan keluargaku mencerminkan status sosial. Pisang ambon luar biasa besar dua sisir, segala macam jajan pasar dan beberapa botol jamu kunyit asem diserahkan pada Bu Yuli. Wanita itu tersenyum ramah, tapi aku tahu sebenarnya calon ibu mertuaku hanya memaksakan diri. Entahlah, apa hanya perasaanku saja? Tapi orang tua mana yang bangga merajut hubungan dengan keluarga rentenir?

Aku harus tahu diri. Paling tidak menunjukkan bahwa diri ini berbeda dari orang tua. Mereka mempunyai garis sendiri, aku berjalan sesuai takdir yang telah diputuskan.

Mas Aris duduk di sebelah mamanya. Baju koko putih merk ternama membungkus tubuh sedangnya. Wajahnya seperti yang kuingat, selalu datar dan kalem.

“Jadi bagaimana? Apakah sudah menentukan tanggal pernikahan?” Bu Yuli langsung membahas inti pertemuan.

“Tanggal 9, pukul 09.00 WIB. Dua bulan lagi, bertepatan dengan hari Jumat. Kami rasa itu waktu yang tepat. Hari Sabtunya langsung resepsi.” Pak Gatot menjawab sekali napas.

Bu Yuli manggut-manggut. “Baiklah, saya setuju. Kalau begitu, hari Minggu pagi mereka langsung ke sini saja, rencana saya akan mengadakan syukuran kecil-kecilan mengundang teman dan tetangga. Biar capeknya sekalian.”

“Baiklah kalau begitu. Saya setuju.”

“Lalu bagaimana dengan mahar dan bantuan untuk resepsi?” lanjut Bu Yuli.

Bapak menatapku, dia mengangguk, memberikan waktu untukku bicara.

“Tentang mahar dan bantuan, saya tidak menentukan harus sekian. Berapa pun itu, saya menerimanya,” suaraku kecil.

Bukankah sebaik-baik wanita adalah yang ringan maharnya? Aku ingin berusaha menjadi golongan wanita itu.

“Saya akan memberikan mahar sesuai kemampuan,” Mas Aris berbicara. “Insya Allah maharnya sekitar lima juta dan bantuan sepuluh juta. Saya akan membawa rombongan tiga mobil saja. Bagaimana? Apakah itu cukup?”

Bapak dan Ibu manggut-manggut. Mereka melempar senyum satu sama lain.

“Itu lebih dari cukup, Nak,” Ibu menyahut. “Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, kami undur diri dulu.”

“Sebentar, nikmatilah hidangan yang sudah saya siapakan. Ayo, Le. Bantu mama mengambil di dapur.”

Mas Aris dan mamanya beranjak, mereka menuju ruangan berpintu di sisi kanan ruang tamu. Tak lama, muncul kembali dengan piring-piring besar. Dalam sekejap, meja itu penuh dengan makanan yang membuat liur menetes. Udang balado, empal daging, ayam goreng krispi, capcay dan hidangan lain yang mungkin jarang dinikmati kedua orang tuaku.

“Monggo dihabiskan, saya membuatnya sendiri, lho.” Bu Yuli mempersilakan untuk menyantap.

Tanpa ragu, Ibu dan Bapak langsung menaruh makanan di atas piring. Mereka makan dengan lahap, tak memedulikan tatapan geli Mas Aris. Rupanya calon mertuaku pandai memasak, sedangkan aku paling banter hanya bisa menggoreng telur dadar. Itupun gosong sana-sini. Alangkah kasihan lidah Mas Aris apabila makan hasil karyaku di dapur kelak.

“O iya, saya ingin menyampaikan satu hal lagi.” Mas Aris memecah keheningan setelah acara makan-makan selesai.

“Saya ingin nantinya Syita menjadi ibu rumah tangga. Kalaupun ingin bekerja, bisa melakukannya dari rumah. Saya punya beberapa kenalan toko online, Syita bisa belajar berjualan di sana.”

Kata-kata Mas Aris bukanlah pemberitahuan, tapi perintah. “Saya juga akan mulai mencari kontrakan. Setelah acara di rumah ini, bisa langsung menempatinya. Setelah ini saya akan mengurus berkas yang diperlukan untuk syarat pernikahan, mohon kerjasamanya.”

Senyum Bapak dan Ibu semakin mengembang. Mereka memandang calon menantunya dengan tatapan memuja.

Aku semakin merasa rendah diri. Mampukah mendampingi sosok baik dan saleh ini? Bagaimana bila dia tahu rahasiaku? Apakah dia akan setia? Aku akan tetap menyimpan rahasia rapat-rapat. Tak ada yang boleh terungkap.

***

Ustazah Zulfa mengunjungi tempatku bekerja keesokan harinya. Biasanya dia datang seminggu dua kali untuk evaluasi kerja. Wanita berhijab lebar itu turun dari motor, langsung duduk bersimpuh di depanku. Buku-buku berserakan. Anak-anak penitipan banyak yang masih sekolah pagi hari. Kebanyakan mereka TK, hanya ada beberapa batita yang sedang bermain lego dengan pengasuh yang lain.

“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Syita. Kudoakan tidak ada halangan apa-apa sampai pernikahan.”

“Aamiin, semua berkat doa Ustazah. Insya Allah setelah menikah saya tidak bisa bekerja lagi di sini. Mas Aris minta saya jadi ibu rumah tangga saja.”

“Alhamdulillah, memang sebenarnya tugas wanita itu di rumah, merawat dan menjaga harta benda suaminya di rumah.”

“Harta benda apaan, Ustazah? Kami bukan orang kaya.”

“Syita, harta benda itu tak melulu kekayaan yang bisa disentuh. Itu juga mencakup menjaga kehormatan dan harga diri keluarga. Kalaupun wanita harus keluar rumah untuk bekerja, itu semata-mata karena keadaan darurat dan atas restu suami. Atau karena umat sangat membutuhkan.”

“Inggih, Ustazah. Saya mengerti. Masa lalu saya memalukan, pernah bekerja di club malam. Apa Ustazah ingat saat pertama kali kita bertemu? Apakah itu juga harus diceritakan pada Mas Aris?”

Ustazah Zulfa menyentuh tanganku. “Suamimu perlu tahu semua latar belakangmu, Nduk. Tapi tidak harus kamu ceritakan langsung. Bisa bertahap sesuai kesanggupan dan kesiapan suami menerima keadaanmu di masa lalu. Pelan-pelan saja, tak perlu terburu-buru. Cari saat yang tepat untuk menyampaikannya.”

“Baik, Ustazah.”

“Aku akan mengecek peralatan yang perlu ditambah dan diperbaiki dulu, Syita. Teruskanlah pekerjaanmu.”

Aku mengangguk pelan, kembali memilah buku-buku bacaan anak yang sudah rusak. Merekatkannya kembali dengan lakban bening.

Sosok Ustazah Zulfa menghilang di balik tembok, bahkan sang penolongku tak tahu aib yang akan melekat sepanjang hidup. Bagaimanapun aku mencoba melupakannya, tak pernah bisa. Bayangan Rere selalu menemani kesendirian. Bahkan setelah dua tahun, aku belum bisa melupakan hangatnya sentuhan.

Centung!

Getaran mengagetkanku, pertanda ada pesan masuk. Kubuka ponsel dan membaca WA dari nomor tak dikenal.

Syita, apa kabar?

Maaf, ini siapa?

Aku teman lama. Bisa kita bertemu?

Siapa, ya?

Aku Nadin, temanmu di club dulu.

Aku mengingat-ingat lagi. Nadin? Oh, dia kasir club tempatku bekerja dulu. Aku tidak terlalu dekat denganya. Dulu, hanya Rere yang terpenting dalam hidupku.

Halo, Syita? Kamu sudah ingat?

Iya, tapi kamu tahu nomerku dari mana?

Dari ibumu. Aku sekarang berada di rumahmu.

Deg!

Mau apa dia ke rumahku? Aku merasa ada yang janggal. Firasatku tidak enak.

Maaf, sebaiknya kamu pergi saja. Aku sudah tidak di Kediri lagi.

Bisakah kita bertemu? Aku ada urusan penting denganmu.

Aku tidak bisa, maaf, aku harus bekerja lagi.

Aku ingin mematikan ponsel ketika getaran itu datang lagi. Penasaran kubuka pesan dari Nadin.

Ini menyangkut tentang Rere, Syita. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Tolong temui Rere sekali saja.

Sudah kuduga. Ini pasti ada hubungannya dengan Rere. Aku sampai meninggalkan dunia facebook gara-gara dia. Kukira masalah akan selesai, tapi nyatanya datang lagi masalah baru.

Aku nggak ada urusan dengan Rere. Selamat tinggal.

Aku segera mematikan ponsel. Memasukkan ke dalam tas dan kembali menekuni buku-buku dengan gemetar. Mencari kesibukan untuk melupakan serangan mantan.

Gawai kunyalakan menjelang tidur. Sebuah poto terunduh secara otomatis pada nomer Nadin yang akan kublokir.

Mataku tak bisa lepas dari gambar yang membuat isi perut naik ke tenggorokan. Rere terbaring pucat dengan selang infus. Perban putih membalut pergelangan tangan kirinya. Sebuah kalimat di bawah gambar membuatku menganga.

Rere hampir mati karena kamu, Syita.

Aku menutup mulut, menahan jeritan. Air mata bodoh ini tiba-tiba mengalir. Sebenci apa pun aku pada Rere, namun tidak tega melihatnya sepucat kapas. Badannya begitu kecil dan kurus. Tulang pipinya tirus.

Rere, apa yang terjadi padamu?

Bersambung ….

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita