Derai Maya (Episode 4)
Mobil Innova hitam meluncur di jalan aspal, tak bisa menghindari lubang-lubang kecil yang tercetak di sepanjang perjalanan menuju rumah Syita.
Rombongan itu disambut keluarga Syita dengan senyum terbaik. Ustaz Haqi dan istrinya turun. Disusul dengan Aris dan mamanya yang membawa beberapa bingkisan. Mereka duduk lesehan di atas tikar. Angin persawahan luas di depan rumah Syita berembus mendinginkan suasana.
Syita duduk bersama keluarganya. Dia nampak cantik dengan jilbab warna navy. Sementara Aris duduk bersama Mama dan Ustaz Haqi beserta istrinya. Berhadap-hadapan, dipisahkan oleh deretan hidangan memanjang.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ustaz Haqi berbicara. Suara yang tenang membuatnya menjadi pusat perhatian.
“Saya dan Istri sengaja menemani Aris untuk menemui keluarga Mbak Syita. Sekaligus berkenalan dengan Bapak dan Ibu. Kebetulan Syita itu karyawan kesayangan istri saya.”
Tawa renyah bergema. Syita malu-malu melirik Ustazah Zulfa.
“Jadi panjenengan bosnya Syita, nggih? Terima kasih telah membimbing putri saya sehingga menjadi baik seperti ini,” Gatot mengeluarkan suara.
“Syita pengasuh yang baik, Pak. Anak-anak sayang sama dia.” Ustazah Zulfa tersenyum.
“Baiklah, kami ke sini dengan tujuan mulia. Ingin menanyakan apakah Syita sudah punya calon suami? Kalau belum, saya ingin melamarkan Syita untuk menjadi istrinya Aris, murid ngaji saya.” Ustaz Haqi menunjuk Aris dengan jempolnya, tanda penghormatan.
“Kebetulan Syita belum ada yang punya.” Gatot melirik putrinya yang kian menunduk.
“Bismillahirrohmaanirrohiim. Kalau begitu, bolehkah saya melamarkan Syita untuk Aris?”
“Bagaimana, Syita? Kamu mau, kan?” Gatot bertanya kepada putrinya yang masih menunduk, “kata orang, diam itu berarti iya. Kami menerima lamaran ….”
Belum sempat lelaki berpeci hitam itu menyelesaikan ucapannya, datanglah seorang nenek tua bersama lelaki muda. Wanita berusia senja itu adalah Mbok Tinem. Tempo hari, sawahnya diminta paksa oleh Marini karena tak bisa membayar hutang.
Mbok Tinem meringsek masuk bersama anak lelakinya. Wanita itu mengangkat jarik batik kumal, wajah keriputnya memerah, siap memuntahkan amarah.
“Marini! Kamu harus bertanggung jawab!” Mbok Tinem terengah-engah. Dia memegang dada, kebaya broklat hijau berkibar tertiup angin.
Marini bangkit dari tempat duduknya. Berdiri menantang Mbok Tinem. Kedua wanita itu saling berkacak pinggang dengan jarak yang cukup jauh.
“Mas Karto baru saja meninggal, itu semua gara-gara kamu!” Mbok Tinem terhuyung, Yatno memegang lengan ibunya.
“Kenapa yang bertanggung jawab harus aku? Aku manusia, bukan malaikat pencabut nyawa,” ketus Marini.
“Gara-gara kamu mengambil sawah kami, suamiku yang sudah sakit semakin sakit akhirnya meninggal karena ngenes! Hanya itu harta satu-satunya yang kami miliki, tega sekali kamu melakukan itu, Marini … dasar perampok!” Mbok Tinem menunjuk-nunjuk wajah Marini, air mata berderai jatuh membasahi pipinya.
“Mbok Tinem, pertama kali njenengan pinjam uang, sudah saya jelaskan risiko bila tak bisa mengembalikan. Njenengan waktu itu setuju, kan? Jadi kenapa sekarang menyalahkan saya? Dan lagi, apa Mbok tidak melihat kami ada tamu dari kota?” Marini tidak mau kalah, hati wanita itu sama sekali tidak tersentuh melihat wanita tua yang putus asa itu.
Syita menggigit bibir, merasa malu dengan tingkah ibunya. Ia mendekati Marini dan berbisik pelan.
“Sudahlah, Bu. Kita selesaikan nanti saja. Malu sama tamu, Bu.”
Marini menatap tajam Mbok Tinem. “Mbok, nanti malam kita bahas lagi. Surat perjanjian dengan cap jempol njenengan masih ada. Sekarang monggo njenengan pergi saja. Saya sibuk.”
“Ayo, Mak. Kita pergi saja.” Yatno menyeret ibunya yang masih menangis. Pemuda berwajah bersih itu memeluk bahu ibunya.
Kedua orang itu pergi, meninggalkan berjuta tanya pada rombongan dari kota.
“Maaf atas kejadian yang tidak berkenan tadi. Mari kita lanjutkan acaranya.” Marini duduk kembali, menebar senyum manis ke seluruh orang yang ada di ruangan.
“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi?” Yuli, mama Aris bertanya.
Aris meremas tangan mamanya, menyalurkan ketenangan.
“Ijinkan saya berbicara sebentar,” Syita berdehem. “Sebelumnya saya minta maaf kepada keluarga Mas Aris dan rombongan, karena belum sempat bicara tentang kondisi keluarga saya. Pekerjaan orang tua saya adalah rentenir.”
Yuli terkesiap, ia memandang calon menantu dan orang tuanya bergantian. Alisnya berkerut dalam.
“Saya pasrah dengan semua keputusan. Jangan segan. Maaf Ustaz, Ustazah, saya tidak pernah bercerita kepada kalian,” lirih Syita dengan suara bergetar.
Marini dan Gatot saling berpandangan. Mereka mengirimkan sinyal keresahan lewat tatapan. Gatot menghembuskan napas berat, lalu mulai berbicara pelan.
“Saya yang bersalah. Tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai seorang kepala keluarga. Syita tidak salah apa-apa. Dia hanya korban ketidakbecusan bapaknya ini. Semua kesalahan saya sepenuhnya, saya hanya ingin melihat Syita bahagia.”
Getaran itu menerobos setiap telinga yang mendengar. Mata Gatot memerah dan berkaca-kaca.
“Bapak ….” Syita menghapus tetesan hangat yang mengalir di pipinya.
Suasana benar-benar canggung, di luar kendali.
Ustaz Haqi memijit pelipisnya. “Alhamdulillah, Allah telah menunjukkan sendiri rahasia yang akan membuat perseteruan apabila tak terungkap secepatnya. Mengenai kondisi keluarga Mbak Syita, saya tidak bisa berkomentar apa-apa. Yang perlu ditegaskan di sini adalah tujuan awal kemari untuk melamar Mbak Syita. Insya Allah, atas ijin Allah, kalau berjodoh, mereka akan membangun sendiri keluarga seperti apa yang diinginkan. Kita sebagai orang tua hanya mengarahkan, memberi nasihat bila melihat kesalahan. Bukan begitu, Bu Yuli?”
Ustaz Haqi mencairkan suasana. Yuli yang merasa disebut namanya tersenyum simpul.
“Kalau saya terserah pilihan Aris, dia yang akan menjalani hidupnya. Bagaimana, Le?”
“Insya Allah, saya akan menerima Syita apa pun kondisi keluarganya. Mohon bimbingannya, Ustaz, Ustazah ….”
Marini dan Gatot menghembuskan napas lega. Mereka nampak mengagumi calon menantunya yang berjiwa besar.
“Kalau begitu, kami menerima lamaran Mas Aris untuk dinikahkan dengan anak kami, Syita Larasati.” Gatot berkata penuh penghayatan.
Ucapan hamdalah menggema. Senyum tipis tersungging di bibir semua orang yang ada di sana.
“Sebagai pengingat, sebaiknya acara pernikahan segera dilangsungkan. Kalaupun tidak bisa bermewah-mewah, bisa dengan acara sederhana saja. Kalau ditunda-tunda, takutnya ada setan yang menyusup.” Ustaz Haqi tertawa renyah.
“Mengenai tanggal pernikahan, monggo dibicarakan sendiri. Hanya satu pesan saya, semua hari itu baik, tak ada hari yang sial. Jadi, kapan pun Mas Aris dan Mbak Syita menikah, itulah hari malaikat akan turun ke bumi menyaksikan perjanjian dan mendoakan mempelai.”
Gatot dan istrinya mengangguk-angguk setuju. Sementara Yuli masih memulihkan kekagetannya. Dia tidak pernah bermimpi mempunyai besan seorang lintah darat.
Acara ditutup dengan doa dan makan opor ayam istimewa. Menurut rencana, awal bulan depan keluarga Syita akan mengembalikan lamaran dan menentukan tanggal pernikahan.
***
Syita dan keluarganya memandang mobil dari kejauhan. Rombongan Aris sudah pergi, kepulan debu bergulung tertiup angin. Marini masuk ke rumah, tinggal Gatot yang masih terpekur tak percaya. Putri kesayangannya sudah resmi dilamar.
“Syita, Bapak doakan kamu bahagia, Nduk. Aris sepertinya lelaki yang bertanggung jawab. Pekerjaannya juga baik, bapak rela melepaskanmu bersamanya. Awalnya, Bapak takut sekali kamu akan mempunyai suami berkelakuan buruk seperti Bapak. Alhamdulillah, Nduk. Bapak sangat bersyukur.”
Tatapan Gatot lurus ke depan, memandang hamparan padi menguning. Burung-burung bergerombol, berterbangan dan hinggap pada bulir padi. Menikmati makanan.
“Terima kasih, Bapak. Mas Aris terlalu sempurna buat Syita.”
“Kamu juga sempurna di mata Bapak, Nduk. Anak Bapak yang paling cantik.” Gatot menyenggol lengan putrinya.
Syita terkekeh geli. Dia membalas mendorong bapaknya. Mereka tertawa, menikmati kebahagiaan yang nyaris sempurna.
Gadis itu meraih ponselnya, berfoto selfie sebentar dan menulis sesuatu di FB. Jarinya bergerak lincah.
Semoga semuanya berjalan lancar, menuju separuh dien.
Status terkirim. Beberapa like dan comment bermunculan. Syita tersenyum membalas comment satu per satu. Senyumnya hilang ketika membaca komentar paling bawah.
Kamu Syita? Astaga, sekarang berhijab. Aku sampai pangling. Kangen kamu.
Jantung Syita seakan meledak melihat profilnya. Seorang gadis berambut sebahu model sasak. Syita tak akan pernah lupa wajah itu. Wajah yang selama ini diam-diam menyeruak di dalam mimpi.
“Rere ….”
Ponsel terlepas dari genggaman, terjatuh di atas keramik. Terpental sekali lalu layarnya padam.
***
(POV Aris)
Manusia hanya bisa berusaha, namun ada kekuatan Sang Maha Kuasa yang menentukan segalanya. Siapa sangka ketika melamar Syita ada kejadian yang membuat Mama resah. Dia terlihat murung beberapa hari ini. Aku belum berani bertanya, biarlah Mama sendiri yang bercerita.
Kumatikan laptop, menutup layar hitam itu dan berjalan menuju dapur yang berada di sisi kiri rumah. Perutku terasa perih setelah beberapa jam menyelesaikan laporan untuk yayasan. Besok pagi juga akan ada wawancara kerja. Kantor butuh petugas OB baru.
Pintu kulkas kubuka, ada dua apel merah menggoda. Kuambil satu dan langsung menggigitnya setelah duduk menghadap meja makan.
“Belum tidur, Le? Sudah hampir tengah malam.”
Suara Mama mengagetkanku. Wanita itu duduk di sebelahku.
“Belum, Ma. Barusan selesai membuat laporan.”
“Pekerjaan kok, dibawa pulang, Le? Kasihan istrimu nanti kalau kalah dengan pekerjaan.”
Apel yang kugigit menyangkut di tenggorokan. Susah payah aku menelannya.
“Bedalah, Ma. Kalau sudah punya istri mana mungkin bekerja di rumah. Mumpung masih lajang, aku puas-puasin memandang layar laptop.”
Mama tersenyum tipis. “Tapi, Ris. Apa kamu nggak malu mempunyai mertua seorang rentenir? Lintah darah itu kan pekerjaan yang memalukan, dosa.”
Mama mulai mengeluarkan uneg-unegnya. Aku meletakkan apel dan memandang wajahnya yang keriput.
“Apa Mama malu?”
Mama mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
“Mama kaget, kecewa. Kukira orang desa itu pekerjaannya bertani. Tapi tak kusangka rentenir. Ah, apa nanti kata teman-teman Mama kalau mereka tahu, Le. Bisa di-bully Mama sama mereka.”
“Mama ini seperti anak kecil saja. Kalau begitu ya jangan bercerita pekerjaan orang tuanya Syita, beres, kan?”
“Iya, sih. Tapi kalau ada yang bertanya, Mama jawab apa?”
“Jawab aja bekerja seperti orang desa pada umumnya. Ma, nggak usah terlalu mendengarkan apa kata orang. Nanti Mama yang repot sendiri.”
Mama memajukan bibir bawah. “Ris, kalau sudah menikah, kamu menetap di sini, kan? Jangan tinggalkan Mama, Le.”
“Tenang saja, Ma. Aku akan sering-sering berkunjung.”
“Ck!”
Mama memasang raut wajah melas, ia berdiri dan meninggalkan aku sendirian. Tinggal di sini bersama Mama? Tak pernah terlintas dalam pikiran.
Bukannya tak berbakti kepada orang tua, namun hanya ingin menjaga rahasia hitam ini. Aku yakin, cepat atau lambat istriku kelak akan mengetahui kekurangan. Bisa jadi ledakan amarah akan mewarnai. Saat itu terjadi, aku ingin menyimpan untuk diriku sendiri. Biarlah Mama berbahagia dengan masa senja, tanpa memikirkan anak lelakinya yang menyimpan duka.
Aku juga ingin gadis yang kusunting nyaman, sebab perangai Mama mudah marah, sedikit kasar dan keras kepala. Apa jadinya bila dua wanita itu dikumpulkan. Pasti akan melukai salah satunya.
Jalan yang terbaik adalah berpisah dengan Mama. Aku sudah mulai mencari rumah kontrakan dekat kantor. Ada beberapa yang cocok. Tinggal menunggu kepastian tanggal pernikahan.
Menikah … bisakah aku menjalaninya? Kenapa keraguan begitu cepat mendera.
Kadang ketakutan tentang hal yang belum terjadi bisa menjadi gerbang masuk bisikan nurani jahat. Menggerogoti kepercayaan, mencari kesempatan untuk menang. Saat-saat menjelang pernikahan, masa-masa iblis menyerang.
Bersambung.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita