Derai Maya (Episode 3)
(POV Aris)
“Ma, aku ingin menikah dengan gadis ini. Bagaimana menurut Mama?” Aku memberikan biodata Syita kepada satu-satunya orang tuaku yang masih hidup.
Wanita berdaster hijau itu sedikit membelakakkan mata. Ia merebut kertas putih itu dari genggamanku. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum ketika melihat calon menantunya.
“Dia gadis yang manis, Ris. Mama setuju seratus persen.”
“Namanya Syita, Ma. Dia hanya seorang pengasuh di sebuah tempat penitipan anak. Apakah Mama tidak keberatan?”
“Tidak, Le. Asal kamu sudah sreg sama dia. Pintu hatimu sudah terbuka untuk menikah, Mama sudah sangat bersyukur.”
Mama kembali meneliti foto Syita, beliau meraba gambar gadis yang tersenyum tipis itu. Mata tuanya berkaca-kaca, Mama memandangku penuh arti.
“Aris, maafkan Mama bila selama ini terlalu menekanmu untuk menikah. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Le. Putra Mama satu-satunya. Setelah adikmu meninggal karena terkena demam berdarah, hanya kamu sandaran Mama.”
Aku mendekati wanita tangguh dan penyabar itu. Menghapus cairan bening pada pipi keriputnya.
“Aris juga minta maaf telah merepotkan Mama selama ini. Bila Syita jodohku, tolong doakan segala yang terbaik untuk kami, Ma.”
Mama mengacak rambutku.
“Tentu saja, Le. Mama selalu mendoakan kebahagiaanmu.”
Nyaman sekali belaian Mama. Aku beruntung punya ibu sepertinya. Ketika aku masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, Papa pergi naik haji dan tak pernah kembali. Aku baru tahu artinya saat lulus sekolah, ternyata papaku meninggal dunia.
Sosok Papa yang selalu menemaniku bermain bola, menggendongku di atas punggungnya, memarahiku ketika menangis keras karena terjatuh. Aku sangat merindukan kehadirannya.
Sementara Mama terlalu sibuk mencari nafkah, aku dititipkan pada tetangga sepulang sekolah. Setiap sore Mak Rika menyuruh mengaji, katanya suaraku bagus jadi aku juga dipaksa ikut qiroah. Mama tidak tahu menahu tentang pendidikanku, ia hanya sibuk mencari uang. Berangkat saat matahari memancarkan biasnya, pulang ketika sudah gulita. Sering aku dan almarhum adik menginap di rumah Mak Rika.
Aku tumbuh besar tanpa figur orang tua. Entah sejak kapan, aku selalu nyaman bila berada di antara lelaki yang lebih tua. Guru olahraga yang pernah membelikanku bakso ketika remaja suatu malam menyelinap masuk ke dalam mimpiku.
Guru itu membuatku melayang, merasakan nikmatnya sentuhan, hingga cairan kental membasahi celanaku pada pagi hari.
Saat semua teman lelaki menceritakan mimpi basah pertamanya dengan seorang perempuan, aku hanya bisa terdiam karena memimpikan guru olah raga. Akhirnya terciptalah kebohongan. Aku mengaku bermimpi dengan gadis paling cantik di kelas.
Perlahan, perasaan menyukai lelaki tumbuh, namun tak ada satu pun yang tahu. Rahasia ini kusimpan rapat-rapat seorang diri.
Tak ada yang mengetahuinya karena aku termasuk anak yang aktif ikut organisasi sekolah, selalu menyabet tiga besar ranking kelas dan tentu saja, pandai mengaji. Mama sangat bangga dengan semua prestasiku. Siapa sangka ternyata aku berbeda.
Setelah lulus kuliah, aku sempat galau dengan orientasi seksual. Tak ada seorang gadis pun yang menarik perhatian. Sambil mencari kerja, aku mencari jati diri jauh di luar kota. Tak mau kalau sampai Mama mengetahui borok anak yang sangat dibanggakannya.
Ternyata Allah masih sayang padaku, komunitas yang mengagungkan hubungan sejenis itu tidak cocok dengan suara hati terdalam. Didikan Mak Rika menancap erat, penderitaan Mama yang membesarkan selalu terbayang ketika kaki ini hendak terpeleset.
Akhirnya, aku diterima bekerja di sebuah lembaga amil zakat, di situlah titik balik kehidupanku. Mama kupaksa berhenti bekerja, usianya sudah diambang senja. Saatnya anak bujangnya ini sedikit membalas jasa.
Aku terpukau dengan ilmu dan kebijakan Ustaz Haqi, pembimbing rubrik agama pada majalah bulanan tempatku bekerja. Dengan bimbingannya, aku menjalani hidup menuju normal.
Hampir normal seperti lelaki straight pada umumnya.
“Manusia hidup pasti diuji dan dicoba sesuai kemampuannya. Ada yang diuji harta, tahta, wanita dan anak-anak. Percayalah, Aris, bila Allah menguji hambanya berarti Allah ingin hamba-Nya itu mendekat dan akan memberinya kedudukan yang mulia. Asal bisa melaluinya dengan penuh kesabaran.”
Aku memutuskan untuk menganggap keanehan orientasiku ini adalah sekadar ujian. Bukan berkah, yang akan membuatku terlena dan mencari pembenaran atas kesalahan dan dosa.
***
“Ris, kapan kita bisa berkunjung ke rumah calon istrimu?” Mama duduk di sebelahku. Merebut remote televisi yang kupegang. Mematikannya.
“Ah, Mama. Beritanya sedang seru. Penggrebekan pesta gay di sebuah ruko yang bermodus tempat fitness.”
“Buat apa melihat berita ngeri seperti itu, Ris? Jaman sekarang ada-ada saja ulah manusia. Memang kiamat makin dekat sehingga bermunculan kaum biadab seperti itu. Masa terong ketemu terong.”
“Mama jangan asal menyalahkan mereka, mungkin saja itu akibat salah asuhan ketika kecil. Siapa tahu, Ma.”
“Orang tua itu tidak pernah salah mengasuh anak, Ris. Yang ada, para manusia dewasa itu yang salah jalan. Lha wong sudah tahu ada jalan benderang kok malah memilih berliku-liku. Itu namanya menyusahkan diri sendiri.”
“Iya, iya. Mama selalu benar.”
“Jadi kapan kita ke rumah Syita, Le? Mama tidak sabar ingin melamarnya.”
“Aku belum menghubunginya lagi, Ma.”
Mama melotot.
“Aris! Kalau ada perempuan yang sudah setuju untuk menikah, jangan diulur-ulur. Kasihan dia pasti menunggu. Kamu sebagai laki-laki harus tegas, sigap mengambil keputusan. Jangan sampai dia digondol pria lain.”
“Iya, iya, ini mau WA Ustaz Haqi, Ma.”
“Lho, kenapa tidak langsung ke Syita saja, Le?”
Aku tersenyum menjelaskan.
“Ini namanya taaruf, Ma. Syita dan aku berkenalan lewat perantara Ustaz Haqi dan istrinya. Jadi sebelum resmi mengkhitbah, melamar Syita, segala komunikasi lewat perantara itu. Supaya jikalau kemudian hari tidak berjodoh maka tidak akan meninggalkan aib.”
Mama menggaruk-garuk rambut pendeknya, “Ribet amat, Le. Terserahlah yang penting cepetan kita lamar Syita.”
“Oke, Mama.”
Aku meraih ponsel di saku celana, mengirimkan pesan kepada Ustaz Haqi.
Assalamualaikum, Ustaz. Alhamdulillah Mama sudah setuju dengan calon istri. Beliau menanyakan kapan bisa bersilaturahim ke rumah Syita sekaligus melamarnya.
Beberapa saat kemudian, gawaiku bergetar.
Waalaikumussalam, Alhamdulillah. Biar kutanya istri dulu ya. Semoga dimudahkan segala urusanmu.
Mama menunggu pesan balasan lagi, namun tak kunjung datang. Satu jam kemudian, ketika aku sedang berada di kamar mengerjakan laporan untuk besok, benda pipih itu kembali bergetar.
Hari Minggu depan keluarga Syita siap menyambutmu. Datanglah ke rumahnya, jangan lupa banyak berdoa dan pasrah. Apa pun bisa terjadi.
Seketika semangatku terjun bebas. Aku seperti berada di dalam air, sesak! Ketakutan menguasai. Bayangan hitam berbisik, ‘Kamu tidak aka mampu memberinya nafkah batin, kamu hanya akan menyakitinya, Aris. Rumah tanggamu akan hancur! Kamu orang yang dikutuk. Dikutuk!’
Tidak! Enyahlah pikiran jahat, aku hanya ingin hidup normal, mempunyai keluarga dan keturunan, membahagiakan orang tua dan menempuh hidup sesuai ajaran Rasulullah. Bukankah itu alasan yang cukup?
Bila saat seperti ini mendera, hanya satu yang bisa kulakukan. Memejamkan mata rapat-rapat, menyebut Asma Allah. Memohon pertolongan agar jeritan jahat itu menghilang.
Astaghfirullah.
Astaghfirullah.
***
Sejak hari Sabtu sore, Syita sudah meminta ijin kepada Ustazah Zulfa—kepala staf penitipan anak tempatnya bekerja. Gadis itu menyiapkan suguhan untuk tamu yang akan datang esok. Jajanan tradisional sudah tertata rapi di atas meja makan. Ibunya membeli dari Mbah Tumijan tetangga sebelah rumah. Ada tetel, jenang, lemper dan segala aneka kue terbuat dari ketan. Pisang kepok dua sisir, semangka, dan kelengkeng. Tinggal memasak opor ayam yang akan disuguhkan besok. Ibunya sedang membeli perlengkapannya di Pasar Kandangan.
Syita memandang hidangan itu, pikirannya meloncat pada tiga tahun ke belakang. Saat dirinya terlunta-lunta sendirian di tengah kota.
Hari itu, club malam tempatnya bekerja membuat pesta rahasia. Tanpa ijin dinas terkait, hanya beberapa oknum yang diberi salam tempel oleh bosnya, orang keturunan asing yang mempunyai banyak usaha sejenis. Malam itu, seluruh karyawan club harus menyuguhkan tarian. Syita dan kelompoknya sudah berlatih selama dua minggu. Bersiap untuk tampil di atas panggung berhentuk bulan sabit yang dilengkapi tiang besi kecil untuk atraksi. Di bawahnya, tersedia tempat duduk khusus member.
Saat itu, Syita mempunyai pasangan sejenis, dialah Rere, butchie-nya. Seorang gadis tomboy berdada rata berambut cepak dicat pirang. Sementara Syita tetap gadis feminin, lembut. Dia femme, pasangan butchie.
Pasangan itu sudah mengumumkan statusnya. Tak ada yang mencibir, karena hal itu sudah lumrah terjadi. Syita tinggal di apartemen Rere. Jabatan butchie itu lebih tinggi dari Syita. Rere seorang public relation, tipnya dalam sehari bisa untuk membeli emas beberapa gram. Rere sering mengajak Syita berpesta dan berakhir dengan pergumulan liar.
Sebenarnya Syita gadis lugu yang mengadu nasib ke kota dua tahun setelah lulus SMA. Ia merasa tertekan dengan ulah kedua orang tuanya. Marini ibunya, rentenir yang terkenal kejam. Sementara Gatot, bapaknya, hanya seorang pengangguran juga pemabuk.
Nyatanya, Syita susah dapat kerja. Karena terjepit, ia memutuskan melamar pada sebuah club malam yang membutuhkan waitress secepatnya. Ia membaca pada iklan lowongan pekerjaan di sebuah koran lokal. Di sanalah ia bertemu Rere. Gadis itu mengenalkannya pada kehidupan malam dan memenjarakannya dalam hubungan terlarang.
Malam itu, terakhir Syita melihat Rere. Setelah tampil, Syita beradu mulut dengan Rere. Gadis tomboy itu berciuman panas tepat di bawah panggung ketika Syita sedang meliukkan tubuh bersama teamnya. Setelah itu, Rere menghilang bersama seorang wanita bule, selingkuhannya, pelanggan VIP club.
Ketika jam kerja berakhir, Syita pulang naik taksi menuju apartemen. Namun pintu apartemen tertutup rapat. Syita bingung mau ke mana dini hari itu. Beberapa teman yang dihubungi menolak kehadirannya.
Syita keluar dari apartemen. Berjam-jam ia terlunta, berjalan tanpa tujuan. Kegelapan malam menemani langkahnya yang terseok, menyembunyikan hujan air mata yang membasahi kemeja tipisnya.
Ia tak habis pikir, kenapa tega sekali Rere menghianatinya demi seorang bule yang belum jelas asal-usulnya. Syita sudah menyerahkan seluruh kehormatan pada gadis berambut cepak itu. Jalan raya cukup lengang, hanya ada beberapa mobil lalu-lalang. Mengagetkannya dengan klakson kencang.
Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid yang lampunya masih menyala. Ada beberapa orang pria sedang membaca Alquran, beberapa lagi salat dan ada seorang yang tertidur bersandar tembok. Syita menggigil, ia melirik arloji perak yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul tiga lebih lima menit.
Saat itulah Syita merasa ditinggalkan, sendirian dan terkubur dosa. Kelebatan maksiat mendera. Gadis itu memeluk lutut, terisak-isak menangisi kebodohannya.
Seorang pria mendekat. Mengucap salam yang hanya dibalas oleh isakan.
“Apakah kamu ingin pulang?”
Syita hanya menggeleng pelan. Bahunya naik turun, rambut hitamnya meriap, menutupi wajah.
“Apa kamu mau menginap di rumah saya? Kalau mau, istri saya akan menjemputmu.”
Entah kenapa, Syita hanya menganggukkan kepala. Lelaki itu menghilang sebentar, dia kembali lagi bersama wanita bergamis lebar.
Ustazah Zulfa duduk di samping Syita, menemani isakannya hingga ia tenang. Lalu membimbing gadis itu berjalan ke dalam perumahan samping masjid.
“Nduk, Syita. Ayamnya dicuci dulu, sana. Ibu capek sekali habis dari pasar,” suara Marini mengagetkan Syita, membawanya kembali ke dunia nyata.
“Inggih, Ibu.” Syita menolong ibunya membawakan belanjaan ke dapur.
Mereka segera tenggelam dengan kesibukan yang tak kunjung habis.
“Bapakmu di mana, Nduk?” tanya Marini di sela-sela menghaluskan bumbu.
“Katanya tadi mau ke rumah Pak Haji Dirman, mau minta doa, Bu.”
“Syita, Bapakmu sudah berjanji pada Ibu, dia akan menghentikan kebiasaan minumnya setelah menikahkanmu, Nduk. Makanya pernikahan ini sangat Ibu tunggu-tunggu.”
“Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Maaf, kalau Ibu sendiri kapan akan mulai usaha jualan beras di pasar? Jangan jadi rentenir lagi, Bu,” gadis itu berkata dengan sangat berhati-hati.
Wanita berlipstik merah menyala itu menghentikan pekerjaannya. Matanya tajam menatap putrinya.
“Sudah kubilang, Ibu butuh banyak uang untuk menebus kakakmu, Nduk. Setelah Dika keluar penjara, Ibu akan mulai jualan di pasar. Apa kamu malu mempunyai Ibu seorang rentenir, Nduk?”
Syita bingung harus berkata apa. “Apa pun pekerjaan Ibu, Ibu tetaplah ibuku. Dan akan tetap menjadi ibuku.”
“Syita, anakku ….”
Wanita tua itu mengelap tangannya dengan rok. Dia menubruk anak perempuannya yang sedang mencuci ayam. Syita menepuk bahu perempuan yang melahirkannya itu. Untuk pertama kali, ia merasakan hangatnya pelukan seorang ibu.
Hangat. Melebihi hangatnya sentuhan pasangan sejenisnya.
“Maafkan Syita, Ibu. Maafkan semua kesalahan Syita ….”
Gadis itu mengeratkan pelukan. Ia menangis dalam rengkuhan ibunya. Dari balik pintu, Gatot melihat mereka. Matanya memerah. Lelaki tua itu menghapus setetes cairan dari sudut mata. Ia merasa sangat berdosa kepada istri dan anak-anaknya. Karena ketidakberdayaan, keluarga kecilnya tak terurus.
“Terima kasih telah tumbuh menjadi putri yang baik, Syita,” lirih lelaki itu sambil meninggalkan tempat.
Ia menuju kamar, mengambil sarung pemberian Syita lebaran lalu. Untuk pertama kalinya, Gatot salat di Masjid dengan kesadaran. Lelaki itu tersungkur, sujud panjang berurai air mata dalam salat taubatnya. Ia berjanji pada Allah dan diri, akan mencoba memulai hidup baru. Menjadi seorang ayah dan suami yang baik.
Sekuat tenaga.
Ia berjanji akan meninggalkan kebiasaan buruk dan akan mencari pekerjaan.
Kesabaran dan kelembutan yang berasal dari hati terdalam akan mudah mencapai hati lainnya, sebab kelembutan akan memancarkan cahaya dan menerangi gulita jiwa.
Bersambung.
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita