Derai Maya (Episode 2)

Derai Maya (Episode 2)

Derai Maya (Episode 2)

(POV Syita)

Allahu Robbi. Akhirnya aku bisa! Semoga pilihan ini yang terbaik untuk hamba-Mu ini, Ya Allah. Tolong selalu terangi jalanku. Ampuni segala dosaku. Hanya Engkau tempat bergantung, Yaa Rahmaan.

Jantungku berdegup kencang ketika proses taaruf. Hampir tak keluar suara ini bila Ustazah Zulfa tidak mencubit lembut pahaku. Aku menyukai semua yang tertulis di lembaran kertas biodata. Namanya, prestasinya, pekerjaannya dan terutama visi misi pernikahan: ‘Membentuk keluarga tangguh, yang tak mudah tergelincir arus’.

Kalimat itu memukau, ada benang-benang emas yang saat itu juga merasuk ke dalam jiwa. Ya, aku ingin menjadi seorang ibu tangguh untuk anak-anakku kelak. Supaya mereka tak terjerumus seperti aku.

Saat ini, cinta fisik tak terlalu berarti lagi. Dulu, aku pernah mencicipinya sampai tak kuat lagi menahan beban. Melayang ke surga lalu terempas ke jahannam. Sangat berat. Setiap inci tubuh ini bergelimang dosa. Aliran darah ini sudah menjadi hitam berjelaga. Namun, uluran tangan Ustazah Zulfa menyelamatkanku. Perlahan menarik tubuh dan jiwaku meninggalkan jilatan dosa. Menuju cahaya-Nya.

“Bagaimana menurutmu, Syita? Bukankah Aris itu calon yang tepat untukmu?” Ustazah Zulfa menggenggam tanganku yang terasa membeku.

Sesaat lalu, Aris berpamitan pulang.

“I—iya. Meskipun tak terlalu tampan, Ustazah. Hihi.”

“Dalam kehidupan rumah tangga, biasanya rupa dan fisik tak akan terlalu penting. Apalagi bila sudah lima tahun pernikahan. Yang paling penting itu akhlak dan pengertian. Ingat-ingat itu, Syita.”

“Inggih, Ustazah. Akan saya lakban dalam otak ini nasihat njenengan.”

“Bagaimana dengan keluargamu? Apakah butuh bantuanku untuk meyakinkan orang tuamu?”

“Tidak perlu, Ustazah. Saya akan mencoba meyakinkan mereka dulu. Kalau ada kendala, baru saya akan meminta bantuan. Insya Allah minggu depan saya akan pulang ke Kediri. Doakan supaya lancar, nggih.”

“Aamiin. Insya Allah semua akan lancar, dengan ijin Allah.”

Kami tersenyum, mengikat hati dengan sedekah yang paling mudah itu. Dalam sosok Ustazah Zulfa, aku menemukan sosok ibu dan ayah sekaligus. Aku begitu mengaguminya. Tanpa embel-embel rasa ingin memiliki.

“Kalau begitu, saya permisi dulu Ustazah. Hari ini teman-teman mau rujakan di kontrakan. Saya yang kebagian membuat bumbunya.”

“Iya, salam buat semuanya, ya. Sampai jumpa hari Sabtu depan. Jangan lupa setor hapalan dan bedah buku Rumah Tangga Rasulullah. Giliran kamu ya, Syita.”

“Siap, laksanakan!”

Aku berpamitan, kami bersalaman dan mencium pipi kanan dan kiri. Inilah yang membuatku jatuh cinta pada jalan ini. Tali persaudaraan yang tak mengenal masa lalu. Yang ada hanya sekarang, bersama berlomba dalam kebaikan. Saling mengingatkan bila ada salah satu teman yang mulai terseok, segera merengkuhnya dengan doa dan perkataan mulia.

Dunia yang sangat berbeda. Sebuah miniatur kesempurnaan, paling tidak mendekati itu. Aku bahagia berada di sini, sangat bahagia.

Namun dunia kecilku akan segera berguncang. Hampir-hampir aku terjerembab lagi dalam kubangan hitam masa silam.

***

Kabut putih masih menyelimuti area persawahan. Embun pagi berkilau di atas dedaunan. Embusan angin menusuk di balik jaket tebal. Aku terguncang di belakang tukang ojek yang mengantar ke rumah, beberapa kilometer dari pasar Kandangan.

Sudah lama kaki ini tidak menjejak kampung halaman, terakhir pulang lebaran Idul Fitri lima bulan lalu. Jujur saja aku malas pulang ke rumah, menemui Ibu dan Bapak yang tak layak menjadi orang tua. Bagaimanapun juga, mereka tetap orang tuaku, bukankah surga berada di bawah telapak kaki ibu? Aku harus memperlakukan mereka sebaik-baiknya.

Motor berhenti tepat di depan rumah. Aku turun dan membayar ongkosnya. Rumah berkeramik biru muda itu menyambut dingin. Seorang wanita tua berjarik coklat keluar dari sana dengan wajah pucat. Mata itu berkaca-kaca, menatapku sekilas lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Dari dalam terdengar omelan Ibu, “Dasar! Sudah dibantu banyak, giliran membayar tidak punya uang. Pak, kalau sampai bulan depan Mbok Tinem ra iso membayar hutangnya, kita ambil sepetak sawahnya yang sudah digadaikan.”

Tak terdengar sahutan. Mungkin Bapak masih tertidur seperti biasanya.

Aku mengetuk pintu tiga kali, mengucapkan salam dengan ragu.

Ibu mendongak, meletakkan pulpen di atas buku catatan hutang. Wanita berbaju you can see itu berdiri, menyambutku.

“Loh, Syita. Kapan datang, Nduk? Ayo masuk. Pak, Syita datang. Anak kesayanganmu,” Ibu berteriak lagi.

Aku meraih tangan Ibu, mengecupnya lama.

“Bapak mana, Bu?”

“Biasa, ngorok di kamarnya. Subuh tadi barusan pulang dari rumah Pak Joko. Kebiasaan minumnya tak pernah berubah. Bapakmu itu bisanya hanya menghabiskan uang saja.”

Bibir Ibu yang diolesi gincu merah menyala maju mundur dengan cepat. Ibu juga belum berubah, masih sama seperti dulu. Bagaimana mau berubah kalau uang yang dimakan sehari-hari berasal dari keringat warga desa miskin yang memeras darahnya untuk mengembalikan uang pinjaman dengan bunga mencekik leher. Ibuku seorang rentenir, dia melakukan pekerjaan itu puluhan tahun lalu ketika Bapak tiba-tiba menggila tak mau bekerja lagi. Dia hanya minum dan minum terus bersama teman-temannya. Sesekali ikut togel, namun tidak pernah menang.

“Kalau mau makan ambil sendiri. Ibu tadi masak telur goreng.”

“Iya, Bu. Ini ada hadiah buat Ibu.”

Aku mengambil sebuah bungkusan dari dalam tas ranselku, “Bukalah, Bu.”

Dengan ragu Ibu menerimanya. Jemarinya yang sudah keriput itu menyobek kertas kado motif pisang dengan hati-hati. Baju lengan panjang coklat muda menyembul. Ibu mengambilnya dan mengepaskannya di depan dada.

“Bagus, Syita. Bisa kugunakan untuk Yasinan. Terimakasih, ya.”

Ibu tersenyum, sebercak lipstik menempel pada gigi depannya.

“Kamu sekarang sudah jadi anak baik, Syita. Tidak seperti kakakmu si Dika yang mendekam di penjara karena narkoba.”

Aku merengkuh bahu Ibu. “Ayo, Bu, menjadi baik bersama Syita.”

“Ibu membutuhkan banyak uang untuk menebus kakakmu, Nduk. Seratus juta untuk masa potong tahanan tiga tahun. Kasihan Dika kalau terlalu lama dalam penjara. Kamu tahu bapakmu tak bisa diandalkan. Hanya ini yang bisa Ibu lakukan.”

Bahu Ibu lunglai. Wanita itu menanggung beban yang sangat berat. Sayang sekali aku belum bisa membantu banyak. Gaji sebagai pengasuh anak hanya cukup untuk makan sebulan. Bila tersisa, jumlahnya sangat sedikit.

“Maaf, Bu. Aku tak bisa lagi membantu Ibu.”

“Semenjak kamu berjilbab dan keluar dari pekerjaanmu di club malam, memangnya pernah memberi Ibu uang lagi? Dulu tip dan gajimu banyak, Syita. Uang yang kau berikan bisa untuk membeli perhiasan. Tapi sekarang ludes untuk biaya sidang Dika. Ah, anak dan bapak sama saja. Menyusahkan!”

Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar celoteh Ibu. Dia tak peduli asal uang-uang itu, yang penting ada dan masa bodoh dengan bagaimana cara mendapatkannya.

Sejak kecil, aliran darahku sudah dipenuhi makanan yang berasal dari sumpah serapah. Sekarang aku tahu, hal itulah yang membuatku dengan mudah melakukan perbuatan tercela. Bila memungkinkan, ingin aku meluluh lantakkan tulang dan daging penuh lumpur ini.

Tapi itu tidak mungkin. Masa lalu akan tetap melekat erat. Aku hanya harus bisa menerimanya. Tapi itu sangat sulit.

Bersambung.

Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita