Derai Maya (Episode 1)
Aris memerhatikan tiga lembar kertas putih, berjajar rapi di atas meja tanpa alas. Ia mengambil satu, mendekatkan poto ukuran 3 x 4 yang melekat di pojok bawah sebelah kanan pada wajahnya. Tampak seorang gadis berhijab marun tersenyum tipis. Tepat di puncak hidungnya terdapat tahi lalat kecil. Aris mengenalnya, gadis dari masa lalu yang kelam. Ia mengangkat sebelah alis, mengeja sebuah nama: Syita Larasati.
Beberapa kali salat istikharah, lelaki beralis tipis itu mantap untuk lebih mengenal gadis berusia dua puluh tujuh tahun yang bekerja di sebuah tempat penitipan anak muslim.
“Assalamualaikum, Ustaz Haqi. Saya mau mencoba taaruf dengan Ukhti Syita.” Lelaki berjenggot rapi itu menempelkan ponsel pada telinganya. “Alhamdulillah, saya bisa. Hari Minggu bakda Ashar ya, di rumah Ustaz, Insya Allah. Waalaikumussalam.”
Seminggu lalu, bertubi-tubi ia menerima biodata gadis yang sudah siap menikah. Dua dari teman sekantor, dan satu dari guru ngaji yang menunjukkan padanya terangnya dunia. Mereka mendesak agar Aris segera menikah, usia tiga puluh sudah berlalu setahun lalu. Apalagi posisinya sekarang menjabat manager SDM di sebuah lembaga kemanusiaan.
Aris menyandarkan tubuh kurusnya pada sofa coklat. Menghela napas, dan meletakkan lembaran kertas menutupi wajahnya. Kenangan lima tahun silam berkelebat. Saat pertama kali bertemu dengan seorang gadis yang menghantui setiap jengkal ingatan.
***
Dentuman house music mengiringi gerak tubuh penuh peluh manusia-manusia berlainan jenis. Aroma minuman keras menguar memenuhi udara dingin. Vila bergaya tradisional yang berdiri megah di atas bukit menjadi saksi kebobrokan moral.
Aris berdiri di atas balkon, memandang pegunungan samar berhias kabut bersama teman lelakinya. Mereka saling berpelukan, mengirimkan kehangatan.
“Ayo ngamar,” ajak sosok kekar berbau alkohol.
“Aku belum siap.”
“Lalu apa alasanmu ikut pesta ini? Bukankah kamu mencari surga?”
“Aku takut.”
“Munafik!” Lelaki itu mendorong Aris hingga menabrak pagar hitam balkon.
Dia masuk ke vila, bergabung dengan keriuhan dan sebentar saja berjalan bergandengan bersama sosok kekar lain menuju bilik yang sudah disiapkan.
Aris mengepalkan tangan. Dari dulu ia merasa berbeda dengan teman lelakinya yang lain. Saat mereka mulai tertarik dengan wanita, ia malah suka memandang kumis tipis. Bertahun-tahun dia tersiksa, merasa berada di tempat yang salah. Sampai akhirnya bertemu dengan komunitas yang sama. Untuk pertama kalinya, ia mencoba menyelami dunia baru. Dan di sinilah akhirnya Aris berada.
Lelaki itu merasa ada yang tercabut dalam dada. Terkenang masa remajanya pernah menyabet juara satu MTQ sekota, ia malu dengan gelar itu. Salah! Ia sadar itu salah, tetapi rasa penasaran lebih kuat. Mencecap indahnya kenikmatan sejenis.
Ternyata Aris tidak siap untuk menyelaminya. Terlalu bejat! Nuraninya masih berfungsi.
Kaki kurus itu melangkah keluar vila, bertekad pulang, menghindar dari kubangan. Kepalanya menoleh pada sebuah kursi kayu di sisi kiri pintu. Nampak dua wanita sedang bergumul. Salah satunya memiliki tahi lalat di ujung hidung.
***
Rumah Ustaz Baqi nampak asri dengan berbagai tanaman hias yang memenuhi pot-pot hitam bermacam-macam ukuran. Namun kali ini, bangunan bergaya modern minimalis berlantai dua itu tampak sepi. Tak ada suara jeritan keempat anaknya yang masih SD. Aris memarkir motor tepat di sebelah kendaraan roda dua berwarna merah.
Lelaki berjenggot lebat menyambut. Dia memeluk hangat, menepuk bahu dan mempersilahkan masuk. Ruang depan tempat biasanya kelompok kecil yang terdiri dari lima sampai sepuluh orang mengaji kini disekat kayu ornamen sebatas dada. Cukup untuk menyembunyikan dua orang wanita yang sedang duduk bersila.
Ustaz Haqi membuka dengan membaca basmalah, bersyukur kepada Allah dan memuji Nabi Muhammad. Dia menerangkan secara singkat maksud dan tujuan pertemuan lalu dilanjutkan dengan tanya jawab seputar hal-hal yang ingin diketahui calon pasangan itu.
“Bila kita memang ditakdirkan berjodoh, bisakah Ukhti memenuh satu syarat?” Aris memberikan pertanyaan terakhir.
“Insya Allah.”
“Syaratku hanya satu, yaitu jujur. Tak ada rahasia sekecil apa pun di antara kita. Apakah Ukhti bisa menerimanya?”
Terdengar helaan napas, sekitar sepuluh detik suasana hening.
“Ya, Ana akan berusaha.”
Aris tersenyum, ceruk di pipi kanannya tampak dalam. Dia penasaran, apakah Syita benar-benar bisa jujur atau hanya pemanis bibir saja.
“Taaruf ini hanya usaha. Ingat, kalian belum tentu berjodoh. Pasrahkan harapan hanya kepada Allah. Setelah ini masih ada tugas berat yaitu meyakinkan hati orang tua kalian masing-masing. Banyak yang gagal dalam tahap ini. Jadi banyak-banyaklah berdoa supaya semua dilancarkan.”
Ustaz Haqi menutup pertemuan dengan doa dan mengantarkan Aris keluar rumah. Dia tidak tahu sisi gelap binaannya itu. Begitu pula dengan Syita, binaan istrinya.
Mereka menyembunyikannya dengan sangat baik. Teramat rapi.
Terkadang, rahasia lebih baik tetap menempati kotak rapat dalam ruang hati. Bila diumbar hanya akan menghalangi cahaya kesadaran. Namun, cepat atau lambat semua pasti terkuak.
Hanya soal waktu.
Bersambung….
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita