Dengan Simbok Saja
Oleh: Fitri Hana
Aku tidak tahu ucapan yang mana yang membuat Mamak menangis. Mamak mulai menangis saat Boboiboy baru mulai. Padahal film Boboiboy sudah selesai, dan Mamak tidak juga berhenti menangis.
“Aku tidak mau ke mana-mana, Mak. Aku cuma mau sama Simbok saja. Aku sayang Simbok.”
Aku cuma bilang begitu saat Mamak mengajakku ikut ke Jakarta dengannya. Dulu Mamak juga pergi ke Jakarta dan aku yang menangis ia tinggalkan.
“Aku ingin ikut Mamak. Aku ingin naik bus juga,” rengekku kala itu.
Aku meronta-ronta dalam gendongan Simbok. Tanganku menggapai-gapai, berusaha meraih Mamak. Tapi Mamak tetap berjalan, lalu naik ke boncengan Pakdhe Ojek meninggalkanku bersama Simbok. Simbok lalu menggendongku ke warung Budhe Mar, membelikanku permen berbentuk telapak kaki berwarna merah. Aku tidak menangis lagi setelah itu. Aku berumur dua saat itu, begitu cerita Simbok setiap aku memintanya bercerita tentang Mamak.
“Tangismu itu selalu berhenti saat kedua tanganmu sudah menggenggam dua permen, Le.” Simbok pasti tertawa setelah itu. “Lihat gigimu, gigis1 gara-gara ngemuti permen terus.” Setelah itu Simbok akan tertawa lebih keras sambil menarik kedua pipiku, memaksaku memperlihatkan gigi depan yang memang sudah habis.
“Sudah, Mbok. Sudah.”
Pipiku menghangat. Aku malu setiap Simbok bercerita tentang itu.
Aku baru kelas satu MI. Saat TK kemarin aku dan teman-teman juga Bu Guru pergi ke kebun binatang naik bus. Teman-temanku diantar ibunya. Hanya aku yang diantar Simbok. Di kebun binatang, temanku membeli topi Boboiboy. Aku juga ingin topi seperti itu. Tapi kata Simbok, besok saja kalau Mamak sudah pulang, aku akan dibelikan oleh Mamak. Aku pun tidak jadi membeli topi.
Setiap sekolah aku selalu diantar Simbok dengan sepeda jengkinya. Ketika jalannya naik, Simbok turun. Lalu menuntun sepeda dengan aku yang duduk di boncengan. Setelah jalannya tidak naik, Simbok akan naik lagi. Lalu mengayuh lagi.
“Kakinya dibuka yang lebar, Le,” begitu ucap Simbok saat aku sudah naik di boncengan.
Maka aku langsung membuka kakiku agar tidak masuk ke roda.
Simbok juga bercerita aku digendong di punggungnya saat Simbok disuruh tandur2. Kadang-kadang aku menurut, ditinggal di pinggir sawah, di bawah pohon. Aku bermain sendiri sambil melihat Simbok menanam padi di tengah sawah.
“Simbok pegal seluruh badan saat kamu rewel, Le. Disuruh di tempat teduh, nangis, ngamuk-ngamuk, minta gendong. Capek nunduk sambil nancapin pohon padi ditambah gendong kamu di punggung.”
Aku kasihan kalau Simbok bercerita seperti itu. Aku lalu memijit kedua kakinya yang diselonjorkan. Tapi mau bagaimana lagi, kadang-kadang di pinggir sawah itu banyak semutnya. Kakiku sakit semua, gatal digigit semut.
“Kadang … nggak diperhatikan tahu-tahu kamu sudah ikut masuk sawah. Main lumpur. Duduk di lumpur. Yang kelihatan cuma dada ke atas. Tanganmu itu cipak-cipak. Baju, muka, semuanya dah nggak berupa, Le.” Simbok lalu tersenyum sampai gigi depannya kelihatan.
Simbok tidak pernah marah padaku. Aku tidur dipeluk Simbok. Malam-malam kalau aku tidak berani pipis sendiri, Simbok juga yang mengantarku. Simbok juga tahu kalau aku suka makan dengan telur dan bawang goreng. Simbok selalu menggorengkannya untukku. Simbok juga pandai menangkap laron.
“Le, bangun. Banyak laron di halaman.”
Aku langsung ke luar rumah. Simbok menyapu halaman sambil menangkap laron lalu memasukkannya ke dalam plastik bening. Plastik itu kugenggam erat. Aku lalu berlari-lari, melompat-lompat, berusaha menangkap laron sendiri. Aku bisa. Dapat dua, kadang dapat banyak juga. Tapi tetap tidak sebanyak yang ditangkap Simbok.
Lalu Mamak?
Aku tidak ingat banyak hal tentang Mamak. Mamak hanya datang saat takbiran. Membawa jajan banyak. Tidak lama, Mamak akan pergi lagi, ke Jakarta, begitu katanya.
Aku tidak menangkap laron dengan Mamak. Aku tidak dibonceng sepeda oleh Mamak. Meski Mamak juga menggendongku, tapi tidak lama. Aku juga lebih suka digendong Simbok.
“Mamak kenapa menangis lama sekali? Mamak ke Jakarta saja. Aku dengan Simbok saja.”
Aku berkata begitu kepada Mamak yang masih menangis di depan TV. Aku masuk kamar lalu tidur. Simbok tidak suka kalau aku tidur malam-malam lalu paginya aku terlambat bangun.(*)
Klaten, 22 Des ’21
1Gigis: karies gigi
2Tandur: menanam padi
Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis, mengurai kepenatan pikirannya. Suka cokelat panas juga sambal.
Komentar juri, Berry Budiman:
Saya suka bagaimana cerita ini tidak memerlukan hadirnya tokoh antagonis untuk menyajikan drama dan konflik dalam cerita. Melalui sudut pandang tokoh anak-anak, kisah keluarga mereka (yang hanya terdiri dari ia, ibu, dan neneknya) bisa terbayangkan dengan jelas di benak kita tanpa perlu ditulis terang-terangan.
Si ibu tak punya pilihan kecuali bekerja di Jakarta, itu pengorbanannya yang pertama, dan kini ia harus menanggung pengorbanan yang lain ketika hubungan emosional ibu-anak itu luntur. Ketika anaknya lebih suka bersama ibunya daripada ia. Tanpa perlu dijabarkan penulisnya, konflik batin sang ibu tetap kuat kita rasakan.
Kelebihan lainnya, cerita ini menghadirkan dua sosok ibu—bukan satu—karena Simbok pun adalah seorang ibu. Bukan yang melahirkan, tetapi yang merawat. Lagi, melalui sudut pandang yang lugu dari tokoh anak-anak, cerita ini justru telah menyampaikan lebih banyak hal.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata